Tomat dalam Tongseng

Tomat dalam Tongseng

Tomat dalam Tongseng
Oleh : Ray Eurus

Pada tengah-tengah tubuh rapuh itu ada patah yang menjeda aliran makanan sampai ke ujung daun dan bunga, sekaligus buah-buah yang sudah mulai membulat indah. Kau tak bisa menyalahkan alam, pun makhluk lain yang mungkin saja bersinggungan dengan pokok tomat kecil yang agak merambat itu. Mereka semua–pokok kecil dan atau angin dan atau kucing dan atau burung dan atau juga anak tetangga yang bermain di sekitar situ, telah berada pada ujung batas usaha masing-masing. Mereka tak sedikit pun mendustai takdir. Ya, serupa daun yang terlepas dari rimbunnya pokok besar yang tak pernah membenci angin. Semua sudah tertulis dan tak dapat dihindari. Mereka hanya menjalankan hidupnya.

Kau menghela napas, sebelum akhirnya memutuskan masuk ke dalam rumah dengan niat bulat di dalam dada. Tak berselang lama, kau kembali menghadap pokok kecil yang daun-daunnya mulai menggantung malas, macam hidup enggan mati tak mau. Kau mengeluarkan gunting. Bukan, bukan untuk memangkas batang rapuh pohon tomat yang hampir setiap saat dirawat oleh seseorang yang membuatmu bersusah payah seperti ini.

“Maafkan aku. Kamu kuat, ya. Kamu bertahan, ya. Kita sama-sama bertahan,” ucapmu sambil menambal patah pada tengah-tengah batang pokok tersebut dengan isolasi transparan yang baru saja kau ambil dari dalam rumah.

Setelah selesai, kau yang masih berjongkok di muka pokok kecil dengan tiga buah tomat yang diameternya berbeda-beda; ya, mereka tumbuh sendiri-sendiri bergantian, menengadah menantang mentari pagi hari ini. “Semoga tak ada badai lagi. Teruslah bersinar, kumohon,” lirihmu dengan sungguh-sungguh.

Suara dering telepon nirkabel dari dalam rumah menyadarkanmu yang masih menengadah sambil memejamkan mata, bercumbu dengan siraman matahari. Kau bergegas masuk ke dalam rumah sembari mengusap ekor matamu yang agak membasah, kanan dulu lalu kiri. Nama ibumu terpampang pada layar panggilan yang masuk. Kau sengaja berdeham sebelum menerima panggilan tersebut.

“Bunda!” Suara yang kau rindukan sahut-menyahut dari balik saluran yang kau terima.

Lagi, kau pejamkan mata dan menghela napas berat, sebelum kembali berdeham. “Ya, sayang-sayangnya Bunda. Sudah makan?”

Sebisa mungkin kau bersuara riang demi meningkahi semua celoteh kedua anakmu yang harus mengungsi sementara waktu di rumah masa kecilmu. Setidaknya berondongan pertanyaan mereka, bahkan pertengkaran kecil yang mereka sajikan dari balik panggilan tersebut berhasil menjadi penghiburan yang berarti buatmu saat ini dan selama sisa hidupmu kelak.

“Bunda cepat sehat, ya. Nanda rindu sekali sama Bunda.”

“Dinda juga, Bun!” timpal suara yang lebih melengking, anak bungsumu—gadis berusia lima tahun.

“Iya, Sayang. Doakan Bunda selalu, ya. Jangan pernah malas buat sholat dan kirim doa juga buat Ayah.”

“Iya, Bunda. Mulai sekarang, Nanda gak akan pernah tinggalin sholat sekali pun. Nanda akan selalu kirim doa buat Ayah dan Bunda. Nanda rindu Ayah, Bund.” Suara bocah sembilan tahun itu melemah.

“Sama, Bunda juga rindu kalian semua,” ucapmu masih dengan nada riang, “Eh, tadi sarapan apa?” imbuhmu mengalihkan perhatian si penelepon.

“Dinda mau ngomong!” Cempreng suara bungsumu yang agaknya merebut ponsel neneknya di seberang panggilan.

“Bunda, Bundaaa!” serunya bersemangat, “Kapan jemput Dinda? Nana maksa Dinda makan sayur terus, Bun. Nana lebih galak dari Bunda. Dinda mau sama Bunda aja. Dinda pengen makan piza sama spageti kayak biasa pas kita main ke mol, Bun. Kapan jemput Dinda?” sosor gadis kecil yang memang senang sekali makan itu.

Kau mengulas senyum termanis setelah mendengar kata-kata anak itu, seolah-olah mereka bisa melihatnya saja sebelum meminta gadis kecil itu untuk melangitkan pinta agar kalian bisa kembali bersama. “Nurut sama Nana, ya. Waktu kecil Bunda juga sering dipaksa Nana makan sayur, dan Bunda jadi bisa tumbuh sehat seperti sekarang karena rajin makan sayur dan buah dari Nana.”

Mereka berdua berjanji akan menuruti semua nasihatmu. Mereka berdua anak-anak yang manis. Kau selalu bangga memiliki mereka berdua dalam hidupmu. Kau selalu bangga karena keduanya begitu mirip dengannya yang kini membebankan urusan menjaga pokok-pokok tomat serta cabai di halaman kecil depan rumah ini. Kau tak lepas bersyukur dengan segenap hidup yang kau tanggung.

Belum genap dua pekan, saat secarik kertas menyatakan kau terinfeksi besertanya berlalu. Kontan menjadi penyebab dititipkannya kedua buah hatimu kepada ibumu yang berada di kota yang sama dengan tempat tinggalmu. Kau dan dia bersepakat melakukan perawatan mandiri di rumah, mengingat pasien membludak di rumah sakit- rumah sakit di kotamu ini. Sayangnya, memasuki hari kesembilan kau meminta bantuan para medis untuk menjemputnya. Tabung oksigen pinjaman dari kerabat terdekat yang menopang pernapasannya tak memberikan bantuan signifikan. Kau panik, kau makin tertekan, dan itu buruk buatnya terlebih buatmu sendiri. Akhirnya, kau pasrahkan pada orang-orang yang kompeten untuk merawatnya. Kau sempat mengecup takzim punggung tangannya sebelum dia dibawa ke luar rumah, disusul isak tangis kala pintu depan rumah tertutup rapat.

Baru tiga hari tanpanya bersamamu, keadaanmu ikut menurun. Ditambah kabar yang disembunyikan oleh pihak rumah sakit, bahwa dia tak bertahan dalam semalam di sana—hanya kerabat darinya saja yang diberitahukan mengenai hal itu, yang kemudian kau ketahui dari kelalaian salah seorang teman dekatnya yang tulus mengucapkan turut berbelasungkawa—berhasil memperburuk kondisimu kala itu.

***

“Bunda masak apa?” selidik gadis kecil berkepang dua yang memelukmu dari belakang.

“Tongseng, Sayang.”

“Pake daging yang dikasih kemaren dari masjid, ya, Bun?” Kau mengangguk kepada gadis yang masih tak hendak melerai dekapannya di pinggulmu.

“Ada sayurnya juga?”

“Kol sama tomat. Astaga, Bunda lupa beli tomat tadi di tukang sayur.” Kau agak panik dan bungsumu akhirnya mundur perlahan sambil mengamatimu.

“Pakai tomat di depan aja, Bun.” Gadis itu memberikan usul.

Kau tersenyum sambil mengangguk menyetujui masukan tersebut. Kau dan pokok kecil itu sama-sama bertahan. Kini, tiga buah tomat yang sudah ada bisa dibubuhkan ke dalam tongseng yang masih kau masak.(*)

 

Balikpapan, 21 Juli 2021

Ray Eurus, petani amatiran yang sudah berhasil membuat satu pohon tomat dan satu pohon cabai meranggas. Penulis yang memaksakan diri hendak bercocok tanam ini dapat disapa pada akun Facebook, Ray Eurus.

Editor : Inu Yana

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan Kontributor
Mengirim/Menjadi Penulis Tetap di Loker Kata

Leave a Reply