Tolong Biarkan Aku Sendiri

Tolong Biarkan Aku Sendiri

Hari ini menjadi hari pertamaku setelah menikah dengannya, pria yang kucintai. Mulai hari ini, aku tak sendiri lagi. Aku akan menjalani hari dengan terus bersama dengannya, setiap hari, di bawah atap ini, berdua. Kamar yang dulunya hanya ada aku seorang, sekarang harus rela dipakai untuk berdua.

Sebenarnya, sejak lama sebelum menikah aku sudah memikirkan hal ini. Aku adalah pecinta kesendirian. Sangat suka mengurung diri di kamar, seolah hal itu dapat menambah energiku. Jadi, aku terpikir bahwa, bagaimana hidupku nanti setelah menikah? Yang selalu bersama dengan pasangan dan juga anak-anak. Aku tak mungkin bisa lepas dari mereka. Rasanya tak akan ada ruang untukku menikmati kesendirian. Diriku akan terikat. Tak sanggup kupikirkan.

Namun setelah satu hari kujalani, rasanya baik-baik saja. Aku bahkan sangat bahagia bisa terus berada di dekatnya. Aku tak ingin ditinggalkan sendiri. Kupikir, mungkin ini karena aku sangat mencintainya. Cintaku akan dirinya mengalahkan rasa cintaku akan kesendirian. Lagi pula, pernikahan adalah dua insan yang saling menyatu dengan tujuan untuk membangun keluarga baru yang bahagia. Diperlukan perjuangan dan kerja sama yang tinggi. Oleh karena itu, untuk apa aku memikirkan rasa egoku sendiri?

Hari-hariku berjalan dengan indah. Setiap membuka mata di pagi hari, kulihat wajahnya yang masih terlelap manis. Dengan ikhlas kuhidangkan makanan untuknya, kusiapkan segala perlengkapan kerjanya, kubantu dia menata dirinya, dan kusemangati dia dengan senyumanku yang tulus. Begitu ia pulang, kusambut ia dengan sangat baik. Kuciumi tangannya, kubantu ia membersihkan diri, dan kuhidangkan ia makanan yang lezat. Semuanya kulakukan dengan senang hati.

Namun, seiring berjalannya waktu, aku merasa bosan. Dirinya terus saja lengket dan memberikan rayuan manis padaku. Terkadang juga suka memelukku dari belakang saat sedang memasak, dan membantuku melakukan segala pekerjaan rumah tangga dengan mesra. Entah mengapa, itu malah membuatku muak. Istri macam apa aku ini? Sungguh, aku pun tak mengerti. Kehadirannya membuat energiku seakan disedot perlahan-lahan. Menurutku, melakukan pekerjaan rumah seorang diri tanpa ada yang membantu membuatku lebih nyaman. Hingga ketika dia pergi bekerja, aku lantas merasa bebas dan senang-akhirnya aku bisa menikmati waktu kesendirian.

Saat ia pulang, aku menyambutnya seperti biasa. Kurasa energiku pun sudah cukup setelah diisi ulang dengan kesendirian tadi. Aku merindukannya, bahagia rasanya melihatnya sudah pulang. Baguslah, rasa cintaku telah kembali. Untuk seterusnya, selalu begitu. Kunikmati kesendirian saat ia pergi bekerja, dan kucurahkan rasa bahagiaku saat ia pulang.

Anak pertamaku telah lahir, suamiku memberinya nama “Raffa”. Kami sekeluarga merasa berada di puncak kebahagiaan waktu itu. Kujalani tanggung jawabku sebagai seorang ibu untuk menjaga dan merawat anakku. Seperti yang telah kuperkirakan, aku jadi teramat sibuk olehnya. Tak ada waktu untukku mengurus diri sendiri. Kasih sayang terhadap anakku membuatku lupa akan keinginanku yang suka menyendiri. Aku selalu menjaganya, berada di sampingnya tanpa pamrih. Semenit tak melihatnya, aku sudah sangat khawatir.

Suamiku sudah pulang, tampaknya ia sangat lelah. Selesai makan malam, ia langsung menuju ruangan kerjanya. Tak seperti biasanya, malam ini dia tak mengucapkan kata-kata manis sama sekali, sekalipun pada Raffa. Dia bahkan berkata bahwa dia sedang tak ingin diganggu saat Raffa mengajaknya bermain.

“Ya udah, Raffa main sama Mama aja, ya? Kasihan Papa, lagi sibuk kerja,” ucapku berusaha membujuk pangeran kecilku itu. Kuajak ia bermain, hingga akhirnya tertidur. Kini perhatianku beralih pada suamiku yang masih tak juga keluar dari ruangan kerjanya. Sebelum masuk, tak sengaja kuintip wajahnya yang tampak tersenyum memandang layar monitor. Terbesit sesuatu yang membuatku heran, “Lho, katanya lagi sibuk. Terus kok senyum-senyum?”

Awalnya tak kutanyakan. Kurayu dan kuajak dia untuk beristirahat karena sudah larut. Kemudian besok paginya setelah ia pergi bekerja, kuperiksa komputernya. Ternyata, tak kusangka, ada sebuah obrolan chat suamiku dengan seorang gadis asing. Siapa gadis ini? Hatiku sakit dan terus bertanya-tanya. Obrolannya terlihat sangat akrab, tanpa basa-basi sama sekali seperti orang yang sudah lama dekat.

Pintu ruang tamu terbuka. Terdengar suara panggilan yang khas, “Sayang?” Suamiku telah pulang. Aku tak langsung keluar dan masih berada di sini. Ada sekitar beberapa lama aku menunggu, sepertinya dia sedang berusaha mencariku ke tempat-tempat lain. Hingga akhirnya dia masuk ke sini dan menatapku sembari mengerjap pelan. Kuangkat tubuhku dengan sisa tenaga ini, dengan wajah yang sudah dibasahi air mata, tanpa kutatap matanya langsung kubertanya, “Siapa itu, yang chatting-an denganmu?”

Dia kembali mengerjap, keningnya mengerut dan berusaha meraih kedua tanganku. “Begini, Sayang. Akan kujelaskan.”

Aku menarik napas sembari menggeleng. Untuk saat ini rasanya aku tak ingin melihat wajahnya. Setelah sekian lama, aku jadi ingin mengisi ulang energiku yang sudah lama terkuras. Kuputuskan untuk berkata, “Tolong biarkan aku sendiri.”

“….”

Aku berpaling meninggalkannya yang hanya diam menatapku dengan sendu. Di ruangan kosong nan gelap ini, aku duduk, menikmati suasana kesendirian yang amat kurindukan. Beban yang memenuhi pikiranku rasanya pelan-pelan mereda. Kebebasan seperti ini membuatku dapat bernapas dengan damai. Kunikmati suasana ini sampai seketika pintu ruangan ini dibuka oleh suamiku. Dia tampak terkejut. “Kamu kenapa di sini? Ini kan gudang.”

Aneh memang, tapi inilah aku yang dulu. Meski di sebuah gudang, aku nyaman menempatinya sebab aku bisa menyendiri, di sini. Dia menarikku untuk kembali ke kamar, karena waktu pun sudah sangat larut. Sebelumnya, dia mencoba menjelaskan masalahnya dengan baik. Ternyata, gadis di foto itu hanya pajangan belaka. Sementara pemilik akunnya adalah si Qorin, sahabat suamiku yang suka gaya-gaya seperti banci itu. Setelah mengetahuinya, aku jadi tertawa dan malu sendiri.

Aku tidur dengan nyenyak dan bangun besok paginya dengan aktivitas seperti biasa. Mengurus suami, mengurus anak, dan mengurus rumah. Semakin lama kesibukan ini membuat kepalaku teramat pusing. Ditambah lagi dengan kehadiran anakku yang kedua: “Ilham”. Taut usia kedua anakku tak jauh berbeda. Jadi itu tentu membuatku mudah panik dalam menghadapi mereka. Energiku benar-benar hampir habis. Setiap malam ketika semuanya telah tertidur, aku mencoba mengambil kesempatan untuk bangun, meninggalkan suamiku sebentar untuk pergi ke luar, mengisi ulang energi dengan suasana kesendirian. Rasanya lega sekali. Suamiku sempat keluar setelah menyadari aku yang tidak ada di kamar. Saat ia melihatku di luar, dia bertanya, “Belum tidur, Ma?”

“Belum. Aku akan tidur sebentar lagi.”

“Ya sudah. Jangan terlambat tidur. Nggak baik, kamu harus banyak istirahat,” katanya lalu kembali ke kamar setelah sebelumnya tersenyum dengan manis dan kubalas senyumannya. Tidak, Mas. Inilah waktu istirahat yang kubutuhkan, menyendiri.

Besok adalah hari Minggu, ibu mertuaku datang. Beliau sangat cerewet, suka komentar ini-itu terhadap semua yang ada di rumah, termasuk tentang diriku dan anak-anak. “Bagaimana kamu mengurus ini semua? Seorang ibu harusnya bla bla bla…”

Aku pusing mendengarnya, suamiku pun tampak prihatin. Tak lama setelah Ibu Mertua pulang, seketika aku merasa ingin pergi ke kamar gudang, menyendiri di sana untuk mengatur napas supaya tenang. Dan suamiku kembali mendapatiku, “Sayang, kamu kenapa suka sekali duduk di sini? Ini kan gudang, gelap, nggak baik untuk kamu.”

“Tak apa, Mas. Tolong biarkan aku sendiri, di sini,” pintaku menatapnya dalam. Ia menatapku cukup lama dengan dahi yang mengerut, sepertinya dia memikirkan sesuatu, hingga tiba-tiba ia tersenyum halus. Sepertinya dia sudah mengerti. “Baiklah. Istirahatlah dulu, tenangkan dirimu. Aku ada di depan bersama anak-anak, ya,”  ucapnya menepuk pundakku pelan, lalu pergi.

Tadi malam ibu mertuaku tiba-tiba menelepon mengatakan bahwa beliau mau memasak sesuatu yang istimewa untuk cucu-cucunya. Jadi, pagi ini kupersiapkan anak-anakku untuk segera berangkat. Suamiku sudah menunggu di luar dengan mobilnya yang sudah dipanaskan. Kedua anak lelakiku berlari sangat girang ke arahnya. Lalu berbalik melambaikan tangan ke arahku. “Dadah Mama!” Aku tersenyum sangat senang seraya membalas lambaian tangan mereka.

“Hati-hati, ya,” ucapku, juga kepada suamiku. Dengan senyuman itu, mereka pergi meninggalkanku yang hanya bisa menunggu di rumah.

Tinggal aku seorang diri. Kuembuskan napas ini, sangat bebas. Kukerjakan seluruh pekerjaan rumah dengan tenang. Damai sekali. Suasana kesendirian ini terasa sangatlah nikmat. Namun ternyata pikiran itu musnah dalam beberapa detik kemudian. Setelah sebuah telepon masuk dan aku mengangkatnya. Terdengar pernyataan dari balik sana yang membuatku syok bagai ditembak petir. “Apa?!”

Dengan kaki yang penuh dengan urat-urat yang gemetar tak tertahan, aku berlari sekuat mungkin ke arah jalan raya dan mencari taksi. Detak jantungku terasa seperti ditusuk jarum berkali-kali. Hatiku tak dapat berkata apa-apa. Panik, sangat panik. Akhirnya aku sampai ke rumah sakit ini. Dan kini, kulihat beberapa orang teman suamiku yang telah berdiri di lorong koridor menatap ke arahku dengan iba. “Mereka sudah pergi.”

Mataku membelalak keras, air mata seakan menyembur dari dalam menghantam bola mata, menjalar keluar dan memenuhi seluruh kelopak dan pupil mataku. Kakiku melemas, lalu terjatuh dengan lunglai, bersimpuh di atas lantai. Tak dapat kupercaya, tidak, aku harus melihatnya sendiri! Kupaksa untuk memasuki sebuah ruangan yang dikerumuni orang-orang itu. Meski dengan keadaan merangkak sekalipun. Dan, kulihatlah wajah tiga orang terkasihku, terlelap dengan mata tertutup, tak bernyawa lagi.

Aku kembali lemas terjatuh. Tangisku yang ingin meledak hanya bisa terisak tertahan.  Hatiku berteriak mengelak apa yang telah terjadi. Tidak, Tuhan. Bukan kesendirian ini yang kuinginkan.

“Tolong biarkan aku sendiri.”

Kalimat yang pernah kulontarkan pada suamiku itu, sungguh membuatku menyesal, sangat menyesal. Kini, mereka, suami dan anak-anakku telah pergi. Benar-benar pergi untuk selamanya, meninggalkan aku sendiri di sini, dengan kesendirian.(*)

 

Haula Luthfia Ramadhan, lahir di Aceh Utara. Mulai mendalami ilmu kepenulisan sejak usia 12 tahun. Novel pertama berjudul “Struggle In the School” yang terbit pada tahun 2017. Jika ingin menghubunginya bisa melalui akun Facebook: Haula Luthfia.

Meskipun tidak masuk nominasi, cerpen ini kami anggap layak terbit di KCLK (Kompetisi Cerpen Loker Kita) untuk minggu kedua Februari.

Selebihnya tentang KCLK, mari bergabung ke grup kami:

Grup FB KCLK (semua info penting ada di sini)
Halaman FB kami:
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan

Leave a Reply