Tantangan Loker Kata 22
Naskah Terbaik 13
Tokoh Utama
Oleh: Vie Virellia
Emang dasar orang nekat. Sudah tahu badan pasti lelah setelah seharian kerja di kantor, aku justru malah bernafsu untuk mengikuti event menulis di sebuah grup literasi yang kuikuti. Malam itu, aku tak peduli dengan rasa pegal yang menggerayangi hampir seluruh punggung. Kubuka laptop sambil mengamati selembar pengumuman tantangan Loker Kata 22 yang kutempel dengan pin di dinding. Genre yang dilombakan membuatku begitu tertarik untuk mengeksekusinya. Ah, seru sepertinya setelah sekian lama aku tak menulis lagi.
Oke, aku sangat bersemangat untuk ini. Menghitung deadline yang tak tersisa lama, aku tak ingin menjeda waktu lagi. Segera kugerakkan jemari di atas keyboard. Namun begitu huruf pertama kutulis, layar laptopku bergetar pelan. Sebuah kalimat baru tiba-tiba muncul, jelas itu bukan dari ketikanku.
“Tolong hentikan.”
Aku mematung. Barusan … naskahku menolak untuk ditulis?
“Siapa ini?” ketikku cepat.
Beberapa detik berlalu sebelum jawaban yang kutunggu dengan cemas muncul.
“Aku tokoh utamamu. Dan aku belum siap kalau cerita ini dilanjutkan.”
Hah, apa ini? Rasanya seperti adegan di film absurd yang pernah kutonton. Apakah iya hantu digital itu nyata? Alih-alih takut, aku justru merasa tertantang untuk melanjutkan persoalan ini.
“Baik, lalu apa maumu, ha?”
“Jangan tentukan ending ceritaku sekarang. Jangan buru-buru menghabisiku, guys!”
“Tapi aku harus menulis cerita ini. Sebentar lagi deadline! Aku tak punya waktu lagi.”
Layar kembali bergetar.
“Aku tahu kamu sedang mengejar deadline. Tapi aku ingin hidup, bukan jadi boneka naskah yang terburu-buru dibuat seperti yang biasa kaulakukan sebelumnya.”
Aku terdiam, tubuhku mulai menegang. Lucu, tokoh fiksiku bahkan mengerti aturan lomba juga caraku menulis. Baiklah, kali ini aku mencoba menurut padanya. Meski masih tak percaya bahwa hal seperti ini, kini malah kualami sendiri. Sungguh, aneh sekali!
Aku memutuskan menutup laptop, lalu menyalakan lampu tidur. Dalam keheningan itu, aku merenung. Selama ini aku menulis tokoh seakan mereka tak punya suara. Tak pernah terpikirkan bahwa jika tokoh sadar, mereka mungkin keberatan dengan caraku membentuk mereka. Sebagaimana si hantu digital tadi menegurku.
***
Esok malamnya, aku mencoba untuk melanjutkan naskah. Kubuka laptop dengan sangat hati-hati, berharap kejadian semalam tak akan terulang lagi dan aku bisa mengetik dengan tenang. Entah mengapa, aku justru seperti merasakan halaman kosong itu sedang menatap balik ke arahku. Dan benar saja, tak lama sebaris tulisan muncul kembali.
“Kita perlu bicara.”
“Sekarang?” ketikku.
“Ya. Kita harus menyusun kontrak eksistensi.”
“Kontrak apa?”
“Kontrak bagaimana kamu akan menulisku. Aku ingin punya kendali atas sebagian keputusan hidupku.”
Aku nyengir. “Tokoh yang negosiator. Menarik.”
“Jangan bercanda. Ini serius. Banyak tokoh menderita karena keputusan penulis yang kejam.”
Oke, ia dramatis. Tapi siapa aku untuk protes terhadap tokoh yang malah sadar diri? Hebat juga nyalinya, aku justru sekarang yang dikritiknya.
“Baik,” tulisku. “Apa yang kamu inginkan?”
“Pertama, jangan langsung membuatku tragis. Banyak penulis suka memberikan luka untuk menambah nilai sastra. Aku menolak itu tanpa pembicaraan.”
“Baik.”
“Kedua, berikan aku kesempatan memilih.”
“Dalam hal?”
“Dalam hal apa pun. Jalan hidup, reaksi, bahkan cara aku memperkenalkan diriku kepada pembaca.”
“Kalau begitu, kenalkan dirimu.”
Keyboard diam selama beberapa detik.
Lalu muncullah tulisan itu.
Nama sementara: Virellia
Usia: cukup dewasa untuk memahami dunia, cukup lugu juga dengan berbagai kekonyolan hidup.
Sifat: ingin hidup dengan caranya sendiri.
Konflik: terjebak dalam naskah yang penulisnya belum yakin hendak menulisku seperti apa.
Membacanya aku jadi terkikik sendiri. Dasar tokoh absurd! Kenapa lama-lama dia justru jadi mirip sepertiku?
“Bagus,” tulisku. “Kamu sadar kamu sedang berada dalam cerpen metafiksi?”
“Tentu. Genre ini memaksaku untuk sadar pada lapisan-lapisan realitas di dalamnya. Bahkan aku mungkin lebih mengerti daripada kamu.”
Sialan! Kini dia semakin berani memojokkanku.
***
Aku mulai mengetik paragraf pembuka cerpen ini. Namun belum sampai dua kalimat, layar kembali mengambil alih.
“Paragraf itu terlalu kaku. Kamu menulisku seperti laporan kerjamu saja!”
Aku memijat pelipis. Energiku cepat sekali terkuras karenanya. Tapi aku harus sabar jika tak ingin semua menjadi lebih kacau dan akhirnya gagal mengikuti event ini.
“Begini,” kataku melalui ketikan. “Kalau kamu terus menyela, cerpen ini takkan selesai.”
“Tapi kamu ingin menang lomba, kan?”
“Ya, jelas.”
“Beri aku ruang untuk membantu.”
Aku menghela napas.
“Baik. Kita tulis bersama.”
Kalimat baru muncul.
“Terima kasih. Mari mulai ulang dari paragraf ketika aku pertama kali sadar.”
Akhirnya kami berdua menulis. Aku mengetik satu kalimat, Vi menambahkan komentar. Aku menulis deskripsi suasana, Vi protes karena cahaya lampu terlalu temaram baginya. Aku mencoba menyusun konflik besar, Vi menyela dan menyuruhku menambah humor karena ia tidak suka cerita yang terlalu muram. Hahaha, rasanya seperti menulis cerita dengan partner yang tak bisa diam. Namun, entah mengapa aku lama-lama justru menikmatinya. Sedang rasa takutku yang sempat membuat seluruh syaraf badan menegang, kini mengikis perlahan. Ya, aku hanya punya pilihan untuk menikmati kekacauan ini.
***
Pada malam keempat, sesuatu terjadi. Ketika aku membuka laptop, tampilan naskah tak seperti biasanya. Ada halaman baru dengan judul:
“Draf Alternatif Vi.”
Isinya membuatku tercengang.
Di sana, Vi menulis versinya sendiri tentang cerpen kami. Ia menghapus beberapa adegan, mengedit paragraf pembuka, dan menuliskan komentar panjang:
“Penulis terlalu kaku. Aku mengambil alih sebagian struktur.”
Membaca itu, aku tak kuasa mengulum senyum yang berusaha kutahan. Lalu segera mengetik balasan secepat mungkin.
“Kamu merampas naskahku.”
Tulisan muncul pelan.
“Aku hanya berusaha menyelamatkan cerita ini.”
“Dari apa?”
“Dari dirimu sendiri.”
Deg.
Aku diam beberapa saat.
“Bisa kau jelaskan alasanmu dengan rinci?”
“Kamu terlalu takut menulis. Kamu selalu ingin aman. Kamu ingin menang lomba, jadi kamu menghindari segala hal yang kamu kira berisiko. Apa kau tidak tahu? Cerita yang aman justru sering terasa mati!”
Busyet! Aku merasa seperti anak remaja labil yang sedang diomeli. Aku menelan ludah. Vi memang tokoh, tapi kata-katanya mengenaiku terasa … tepat sekali. Aih!
“Aku ingin hidup, tapi aku ingin hidup dalam cerita yang jujur. Kamu harus berhenti menganggapku sekadar karakter. Aku bagian dari pikiranmu. Kalau aku diam, itu karena kamu diam. Kalau aku kacau, itu karena kamu kacau.”
Ternyata suara dari tulisan yang selama ini kukira hanya tokoh, itu memang cerminan dari diriku sendiri. Hoah! Daebakkk!
***
Hari kelima, aku memutuskan melakukan percakapan lebih serius.
“Vi, lalu kamu ingin apa untuk akhir ceritamu?” ketikku.
“Akhir ceritaku? Kita belum di akhir.”
“Deadline-nya tinggal sebentar lagi, loh.”
“Kalau cerita ini selesai tanpa aku menemukan makna keberadaanku, segalanya terasa sia-sia.”
“Jadi maknamu apa?”
“Itu yang sedang kucari. Dan kamu harus ikut mencarinya.”
Ia mengirimkan baris baru.
“Bawa aku keluar dari layar.”
Aku menatap kata-kata itu. “Keluar?”
“Ya. Setidaknya, biarkan aku menyentuh dunia nyata walau sebentar. Ajak aku melihatmu. Kalau aku bagian dari dirimu, aku ingin tahu siapa diriku sebenarnya.”
“Bagaimana caranya?”
“Tulislah adegan di mana aku masuk ke ruang kerjamu.”
Aku menggigit bibir, pikirku bekerja keras. Baik. Aku mengetik.
“Ketika jam di dinding berdentang pukul dua pagi, udara di ruang kerjaku bergerak melambat. Beradu dengan kabut yang ingin penuhi ruangan. Cahaya fajar mulai masuk lewat celah jendela. Dari celah laptopku pula, muncul sesosok manusia yang belum sepenuhnya jelas, seperti bayangan yang sedang belajar menjadi wujud.”
Tiba-tiba layar mengambil alih.
“Sekarang berikan aku tentang detail wajah.”
Aku menulis:
“Wajahnya seperti seseorang yang pernah kulihat di pantulan cermin saat tengah malam—lelah, tapi dia punya rasa penasaran tinggi, dan sedikit takut akan hal-hal yang belum terjadi.”
Vi membalas:
“Itu cukup. Lanjutkan.”
Aku menulis lagi:
“Vi melangkah keluar, menatap ruang kerjaku. Ia menyentuh tumpukan kertas konsep, kemudian menatapku dengan sorot yang seolah memahami segala bagian diriku yang tersembunyi.”
Layar kembali bergerak sendiri.
“Ini pertama kalinya aku melihat penciptaku.”
Aku tersentak. Bulu kudukku merinding seketika. Ini … terasa terlalu nyata. Benarkah yang terjadi ini semua? Aku tak lagi berani menatap layar. Segera kutekan tombol shutdown dan menutupnya. Aku sepertinya perlu udara yang banyak untuk dihirup dalam-dalam. Seteguk air putih dari gelas di atas meja cukup menenangkanku sesaat.
***
Hari keenam, Vi duduk di kursi kosong di samping meja kerja. Tentu saja hanya dalam bentuk tulisan, tapi anehnya kehadirannya terasa benar-benar ada.
“Kita harus menyelesaikan cerita ini,” kataku.
“Kamu yang perlu menyelesaikannya. Aku hanya akan memberikan arah.”
“Baik. Apa akhir yang kamu inginkan?”
Vi menulis dengan jeda panjang.
“Akhir di mana aku memilih.”
“Memilih apa?”
“Memilih apakah aku ingin terus hidup sebagai tokohmu atau kembali jadi suara yang tinggal di antara pikiranmu.”
Aku mengetik pelan, “Kalau kamu memilih pergi …?”
“Kamu akan kehilangan sebagian dirimu. Tapi kamu akan menulis lebih bebas. Jadi kamu tak perlu takut.”
“Dan kalau kamu memilih tetap ada?”
“Kita akan menulis banyak cerita berikutnya. Tapi kamu harus berjanji untuk jujur.”
Aku mengangguk setuju meski ia tidak bisa melihat.
***
Hari ketujuh tiba. Hari terakhir sebelum deadline.
Vi menulis satu baris:
“Tuliskan adegan penentuan.”
Aku mengetik mengikuti ritme hatiku.
“Di ruangan kecil itu, Vi berdiri tepat di depan layar laptop. Cahaya dari layar membentuk gerbang tipis antara dunia kata dan dunia nyata. Ia menatapku sekali lagi dengan pandangan yang sedikit ragu.”
Layar mengambil alih.
“Ini keputusan terakhirku.”
Aku menahan napas.
“Aku memilih …”
Huruf-huruf muncul perlahan.
“… tinggal.”
Aku terdiam lama.
“Kenapa?”
“Karena aku tercipta dari kegelisahanmu. Dan selama kamu menulis, aku akan terus berguna. Aku ingin hidup sebagai bagian darimu.”
Aku menutup mata sejenak. Rasanya seperti menerima persetujuan dari bagian terdalam diriku sendiri.
Dalam naskah, kutulis di bagian akhir:
“Vi melangkah kembali ke layar, namun ia tidak menghilang. Ia duduk di antara kata-kataku, menjaga setiap kalimat agar tetap jujur. Keputusan itu membuat cerita kami lengkap.”
Layar menampilkan satu kalimat terakhir darinya.
“Sekarang, kirimkan cerpen ini.”
Aku tersenyum.***
Bumi Suffah, 12-12-2025
Ibu rumah tangga yang gemar membaca sedari usia remaja. Mulai menekuni dunia literasi semenjak bergabung dengan komunitas menulis di FB. Beberapa karya puisi dan cerpennya masuk dalam beberapa antologi bersama para sahabat tinta lainnya.
