Tokoh Fiksi yang Melarikan Diri dan Berusaha Abadi

Tokoh Fiksi yang Melarikan Diri dan Berusaha Abadi

Tokoh Fiksi yang Melarikan Diri dan Berusaha Abadi
Oleh: Halimah Banani

Punggung pria tua itu merebah ke sandaran kursi. Tangannya menggenggam setumpuk kertas, kemudian menaruh kembali kertas-kertas itu ke atas meja—setelah memeriksa beberapa bagian. Dia menghela napas berat, lalu tangan kanannya terangkat, memijat-mijat pelipis. Tokoh-tokoh fiksinya hilang. Melarikan diri lebih tepatnya. Bertindak di luar nalar pria tua itu. Mereka melenggang di antara orang-orang sungguhan seraya berteriak lantang, “Saya bebas! Kita bebas! Kami bebas!”

Sebetulnya pria tua itu tidak menyadari kalau orang-orang yang berteriak—yang dia temui di pasar, toko buku tempatnya biasa melihat-lihat, halte dan jalan—adalah para tokohnya. Karena waktu itu dia lebih sibuk memperhatikan ekspresi kagum orang-orang (sungguhan) akan kegilaan di sekitar mereka. Setidaknya begitulah sampai dia melihat dengan mata kepalanya sendiri ke dalam naskahnya, kalau beberapa kisah juga tokohnya hilang. Dan di sanalah dia menyadari, orang-orang yang menciptakan kegilaan itu sama persis dengan tokoh-tokoh fiksinya.

Entahlah, pria tua itu tidak dapat berpikir jernih, apalagi memikirkan soal bagaimana dan bagaimana. Pada dua minggu lalu, saat dia memeriksa setumpuk kertas yang ada di atas meja, membaca ulang kisah-kisah yang sudah lama—sejak beberapa tahun lalu—ditulisnya, para tokoh fiksinya masih berada di dalam sana, menjalani semesta yang dibuatnya. Tetapi lihatlah, sekarang para tokoh fiksinya menghilang. Tak hanya satu, tetapi ada begitu banyak, meski beberapa lainnya tetap memilih menjalani kehidupan yang sudah pria tua itu gariskan—betapa pun mereka tidak pernah suka, entah karena kekakuan, hidup yang monoton atau lubang yang teramat dalam.

“Bukankah sudah aku bilang untuk membawa mereka menghirup udara segar, ajak sekalian ke toko buku yang biasa kau kunjungi setiap hari. Kau terlalu bodoh dengan terus bersikukuh menahan mereka lebih lama. Kalau sudah begini, kau juga yang dibuat kelimpungan,” cerocos istrinya tak henti-henti ketika membersihkan kamar kerja pria tua itu.

Pria tua itu diam saja. Tak sekali pun menoleh ke arah istrinya yang sedang mengelap rak buku kemudian memunguti kertas-kertas lecak yang berserakan di lantai untuk dimasukkan ke keranjang sampah. Tatapan bingungnya tak lepas dari kertas-kertas yang ada di atas meja. Otaknya terus berpikir, “Kenapa bisa para tokoh ini kabur?”

“Selama ini kau selalu bermulut besar. Tiga puluh tahun yang sia-sia. Bukan membanggakan tokoh-tokohmu kepada semua orang, malah hanya kau banggakan mereka kepadaku dan teman sesama pengangguranmu itu. Dan lihat hasilnya sekarang?” Lagi, istrinya masih belum selesai mencerocos, menumpahkan segala kekesalan yang bercokol di hatinya.

Pria tua itu tetap tak merespons, sibuk dengan perdebatan yang sedang berlangsung dalam otaknya ketimbang menciptakan perdebatan baru dengan istrinya yang baru saja keluar sambil membawa keranjang sampah dan membanting daun pintu. Sungguh, dia berani bersumpah atas nama almarhum bapak dan ibunya kalau semua tokohnya baik-baik saja, bahkan bahagia terkurung pada masing-masing kisah yang baginya sudah teramat sempurna.

Ya, teramat sempurna! pikirnya. Diambilnya setumpuk kertas yang sejak tadi dia pandangi, lalu dipukul-pukulkan ke kepalanya sendiri lantaran kesal. Setelahnya, pria itu bangkit, mengambil jaket dan topi, kemudian pergi ke suatu tempat yang biasa dia datangi saat menciptakan tokoh-tokoh fiksinya.

Dalam perjalanan itulah, dengan kedua tangan yang dibenamkan ke dalam saku jaket, pria tua itu tidak lagi memperhatikan ekspresi orang-orang, melainkan memperhatikan betapa bahagia tokoh-tokohnya menciptakan sebuah kegilaan. Tak butuh waktu lama, cukup beberapa hari sejak mereka melarikan diri dari semesta yang diciptakan pria tua itu, para tokohnya sudah seperti artis yang sedang naik daun. Wajah-wajah bahagia mereka menghiasi berbagai media cetak dan elektronik. Mereka tampak jauh lebih bersinar dan tak semurung saat terkurung dalam ruang kerja pria tua yang kini hanya bisa tertunduk malu menghadapi semua tokoh yang bahkan enggan menatapnya seolah-olah tak pernah saling kenal.

Ingin rasanya dia hampiri salah satu tokohnya yang cukup feminin, yang dulu pernah dia selamatkan ketika tokoh itu hampir saja bunuh diri dari tepi jurang. Namun baru saja dia mendekat, tokoh feminin itu malah mundur beberapa langkah. Senyumnya canggung dan sorot matanya memelas belas kasihan.

“Baiklah, aku tidak akan mengganggumu,” ucap pria tua itu pelan, terkesan berbisik.

Barulah setelah pria tua itu mengatakan yang demikian, tokoh femininnya tersenyum. Wajahnya tampak lebih cantik berkali-kali lipat, membuat pria tua itu ikut tersenyum, kikuk.

Dilanjutkan lagi langkah pria tua itu menuju tempat yang ingin dia tuju. Namun dalam perjalanan yang belum ada lima belas meter, dia berhenti sejenak karena teringat perbincangannya kemarin dengan salah satu tokoh fiksinya. Raut wajah tokohnya kusut, tetapi penuh kebahagiaan. Entah apa yang sedang menimpa tokohnya tersebut, pria tua itu berjalan mendekat.

“Apa kau bahagia atau tidak setelah melarikan diri?” tanya pria tua itu.

Tokoh bermuka kusut itu langsung mengernyitkan dahi. Tatapannya seolah berkata, ‘Apa hakmu menanyakan tentang kebahagiaanku?’

“Apa kau menyesal telah melarikan diri?” tanya pria tua itu lagi.

Tokoh bermuka kusut makin kusut mukanya.

“Kenapa kau tidak pulang saja?”

“Saya bahagia meski harus menjalani hidup yang tidak bahagia,” tokoh bermuka kusut akhirnya bicara setelah paham arah pertanyaan-pertanyaan penciptanya—yang tidak begitu ia anggap sebagai pencipta.

“Saya akan menciptakan semesta baru untukmu, di mana kebahagiaan diobral dengan harga yang sangat murah. Kau pasti akan menyukainya,” tawar pria tua itu.

“Saya bahagia meski harus menjalani hidup yang tidak bahagia,” ulang tokoh bermuka kusut.

Menyerah. Akhirnya pria tua itu tidak lagi mengucapkan sepatah kata pun. Dia tahu, sangat tahu tentang apa yang tumbuh di dalam otaknya: bahwa tokoh-tokohnya sudah terbiasa dengan kehidupan lama yang mereka jalani dan belum tentu bisa bersinar seindah ini jika menjalani tata cara hidup yang lain.

“Jika boleh tahu,” pria tua itu mengatur duduknya, sedikit lebih tegap, “kenapa kau dan beberapa tokoh lainnya memilih untuk melarikan diri?”

Tokoh bermuka kusut itu diam, tidak merespons, setidaknya dalam beberapa menit. Pada menit ketujuh barulah tokoh bermuka kusut itu menjawab, “Karena kami takut terkubur atau dilupakan. Kami ingin orang-orang tahu keberadaan kami dan betapa sempurna hidup yang kami jalani. Kami ingin abadi, untuk sebagian orang. Kami ingin hidup yang benar-benar hidup, bukan hidup yang dibuat agar terkesan hidup lalu dikubur dan mati tanpa ada yang tahu kalau kami pernah ada.”

Pria tua itu bungkam. Tak perlu dijelaskan betapa yang salah dalam kisah ini adalah dirinya, karena tak sekali pun berusaha barang sejengkal untuk memberikan kehidupan yang lebih dari sekadar hidup kepada para tokohnya. Selama ini dia hanya menikmati semua tokoh itu sendiri atau menunjukkan kepada satu-dua orang teman yang memiliki hobi serupa—menulis. Teman-temannya selalu berkata kalau kisah dan tokoh-tokoh ciptaannya begitu luar biasa, tetapi dia hanya tersenyum dan mengangguk kecil. Dia bahkan tak merespons saat salah seorang teman mengusulkan agar karya-karyanya dipublikasikan. Pasti akan banyak orang yang suka, begitu pendapat salah seorang temannya. Namun lagi-lagi dia hanya tersenyum dan mengangguk kecil.

“Sebenarnya kami tidak ingin menjadi pengkhianat apalagi menusuk engkau dari belakang, tetapi kami tidak bisa membohongi diri sendiri. Kami ingin orang-orang tahu keberadaan kami. Dan kami menemukan celah untuk melarikan diri dengan membujuk seseorang yang dapat memberi kami kehidupan. Lihatlah, sekarang kami mendapat kehidupan yang layak,” lanjut tokoh bermuka kusut yang mukanya masih tetap kusut meski bibirnya telah menyunggingkan sebaris senyum.

Pria tua itu tetap bungkam. Beberapa menit, meski angin seolah-olah berbisik di telinga, mengajaknya berbincang sepatah dua patah kata tentang arti menyesal, dia begitu betah untuk diam. Akhirnya, masih tanpa mengutarakan sepatah kata pun, dia bangkit, meninggalkan ingatannya tentang percakapan dengan tokoh bermuka kusut dan menyeberangi zebra cross ketika lampu pejalan kaki berwarna hijau. Dia terus berjalan karena tempat tujuannya—di mana dia biasa menciptakan tokoh-tokoh fiksinya—masih satu kilometer lagi. Dia ingin merenung seperti yang beberapa hari belakangan ini dilakukannya: duduk di bawah pohon sambil sesekali kepalanya menoleh ke kiri dan kanan, dan sesekali dia menatap ke bawah, memeriksa ponsel dalam genggamannya meski dia tahu kalau ponselnya akan tetap hening dan terus membisu. Dia berharap seseorang yang diharapkannya datang walau mungkin tidak akan pernah datang. (*)

Jakarta, Maret 2019

Halimah Banani, merupakan salah satu penulis antologi cerpen Kisah Tengah Malam: 13 Purnama dan Orang-Orang Bermata Kelam.

Tantangan Lokit adalah lomba menulis yang diadakan di grup KCLK.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata