Toko Kata-Kata

Toko Kata-Kata

Toko Kata-Kata
Oleh: Fitri Fatimah

“Selamat siang. Apakah benar ini toko kata-kata? Saya mau beli kata-kata manis. Kalau ada tolong bungkuskan satu. Saya sedang ingin merayu seorang perempuan, hanya saja sejak seminggu lalu saya sudah mencoba menguntainya tapi yang keluar malah kata-kata pahit, sepat, asam, kecut. Sungguh yang tak enak dicicipi. Aneh. Saya juga tidak mengerti. Apa mungkin karena sebenarnya saya memang tak sungguh-sungguh tulus pada perempuan itu, ya? Tapi, ah, sudahlah. Kata-kata manisnya ada? Kalau iya tolong bungkuskan satu. Segera,” ucap seorang pria berdasi yang baru saja tiba di toko kata-kata. Sang pemilik toko menggangguk mengiyakan. Ia kemudian mempersilakan si pria berdasi untuk duduk dulu di kursi tunggu.

Setelah sekitar sepuluh menit kemudian, sang pemilik toko berjalan menghampiri si pria berdasi. Ia menjulurkan secarik kertas padanya, sebuah resep.

“Resep apa?” bingung si pria berdasi.

“Resep untuk meracik kata-kata manis,” sang pemilik toko menjawab simpul. Senyumnya ramah, yang tentu dibuat-buat, khas penjual.

Si pria berdasi membaca daftar resepnya. Cuka apel, minyak kelapa, biji adas, parutan jahe, mint, dan masih banyak lagi. Tapi dahinya jadi berkerut saat sampai pada daftar paling bawah. “Jantung? Jantung binatang maksudnya? Jantung angsa? Tapi saya tidak mau bikin foie gras,” selorohnya sungguh heran.

“Bukan, Tuan. Jantung manusia. Jantung Anda, persisnya.”

Si pria berdasi mengerutkan dahinya makin dalam, matanya mengerjap-ngerjap. Ragu-ragu ia mengembalikan kertas resep itu. “Tapi saya hanya punya satu jantung. Kalau saya berikan, saya bisa cepat mati.”

Mendengar itu sang pemilik toko hanya tersenyum maklum. Ekspresinya kentara seolah berkata, “Tidak apa-apa. Ini sudah sering terjadi. Banyak memang pelanggan yang setelah melihat banderol harga, lalu dengan alasan yang macam-macam tahu-tahu beringsut pergi.”

Si pria berdasi bisa menebak pikiran sang pemilik toko. Hatinya tidak terima. “Sungguh. Saya tidak beralasan. Kalau soal uang kantong saya tebal. Masalahnya saya memang hanya punya satu jantung, tak ada cadangan.”

“Kalau begitu lebih baik Tuan simpan saja jantung itu untuk orang yang nanti Tuan akan benar-benar rela memberikannya. Terima kasih. Permisi,” ucapnya sopan mengakhiri. Senyumnya ramah, sangat dibuat-buat.

Si pria berdasi akhirnya pulang. Kerutan di dahinya belum selesai. Tapi lalu ia mencoba menghibur diri sendiri dengan berpikir,  ya sudahlah, toh memang dirinya tidak benar-benar menyukai perempuan itu. Perempuan itu tak sepadan dengan jantungnya yang cuma satu, tak ada cadangan.

**

Beberapa bulan kemudian si pria berdasi kembali ke toko kata-kata. Kali ini ia tidak begitu beruntung karena masih harus mengantre. Ada beberapa orang di depannya yang juga sedang memesan kata-kata. Si pria berdasi tidak bermaksud menguping, tapi karena orang-orang di depannya memesan dengan suara nyaring, mau tidak mau dia mendengarkan.

“Tolong bikinkan saya kata-kata pedas, pacar saya selingkuh, tapi saya tak berani memarahinya.”

“Tolong bikinkan saya kata-kata mutiara, sepertinya saya banyak dosa.”

Dan lain-lain. Si pria berdasi mengetuk-ngetukkan kakinya di lantai, tak sabar.

“Selamat siang, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?” sapa sang pemilik toko—masih dengan senyum ramahnya yang dibuat-buat—saat giliran si pria berdasi tiba.

“Tolong bikinkan saya kata-kata manis.”

Sang pemilik toko menelengkan kepalanya sedikit, tampak berpikir.

“Tuan yang pernah datang kemari itu, ‘kan? Tuan tentu tidak lupa dengan apa saja resepnya?” ia bertanya dengan agak sangsi.

Si pria berdasi mengangguk.

“Saya sudah menemukan perempuan yang padanya saya rela memberikan jantung saya. Saya ingin mengungkapkan perasaan. Tapi bahkan meski kali ini tiap mencoba menguntai kata, yang keluar bukan lagi kata-kata pahit, sepat, asam, kecut, tapi saya malah terlalu gugup sampai jadi gagu. Padahal saya butuh kata-kata manis itu. Jadi ….” Ia mengeluarkan pisau lipat dari saku celananya, sudah ia persiapkan dari rumah, lalu mulai membelah dadanya sendiri. Jantung itu kemudian ia sentak hingga lepas dari rongganya.

Sang pemilik toko tampak agak terkejut, tapi dengan sigap ia mengambil baskom. Si pria berdasi melemparkan jantungnya ke sana. Benda itu masih terasa hangat dan berdenyut-denyut.

“Baik. Akan saya racikkan segera. Tuan silakan menunggu dulu,” ucapnya sambil menunjuk kursi tunggu.

Si pria berdasi menurut. Ia mengelap tangannya yang berlepotan darah pada ujung dasinya, mengabaikan fakta bahwa itu berbahan sutra.

Setelah sekitar sepuluh menit kemudian, sang pemilik toko datang dengan memegang botol kecil yang ujungnya tersumbat rapat.

“Ini, Tuan. Anda tinggal menenggak ramuan ini tepat ketika berada di depan perempuan itu, maka Tuan dengan sendirinya akan mengeluarkan kata-kata manis.”

Si pria berdasi menerima botol itu lalu mengantonginya baik-baik.

“Anda tidak khawatir bagaimana keadaan Anda setelah ini?”

Si pria berdasi menaikkan alis. “Saya tidak begitu peduli.”

“Selamat, Tuan. Bahkan meski Anda akan segera mati, saya yakin itu adalah kematian yang setimpal.”

“Terima kasih.”

Dan memang benar, bahkan saat ini meski dirinya tanpa jantung, meski dirinya akan segera mati, ia tak pernah merasa sehidup ini. (*)

 

Sumenep, 20 April 2019

Fitri Fatimah, suka membaca dan mencoba menulis. FB: Fitri Pei.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata