Tiktiktiktik (Terbaik 11, TL 22)

Tiktiktiktik (Terbaik 11, TL 22)

Tantangan Loker Kata 22

Naskah Terbaik 11

Tiktiktiktik

Oleh: Ika Mulyani

 

Suara ketukan itu terdengar lagi! Lebih keras, tak lagi sayup-sayup seperti beberapa saat lalu. Aku menghentikan gerakan menulis dan mencoba menajamkan pendengaran. Suara itu terdengar seperti suara ketukan jari menekan keyboard komputer. Aku yakin kamu akan sependapat denganku. Sepertinya ada seseorang yang sedang mengetik kalimat-kalimat panjang dengan penuh semangat. Suara ketukannya cukup keras dan lumayan mengganggu, seakan ada mikrofon ditempatkan di dekatnya. Tetapi siapa yang sedang mengetik? Dan di mana? Mengganggu orang yang sedang ujian saja!

Diam-diam aku memandang sekeliling. Kulihat semua temanku tengah serius menekuni kertas ujian masing-masing. Sepertinya mereka sama sekali tidak terganggu dengan suara tiktiktiktik yang terus berulang itu. Kulayangkan pandangan ke depan. Dosen pengawas tengah berdiri di sudut, tatapannya yang tajam dan galak membuatku kembali menunduk, berpura-pura menulis. Sepertinya pak dosen paruh baya itu pun tidak mendengar suara yang kudengar. Aneh. Padahal suara itu jelas sekali.

Aku mencoba melanjutkan ujianku. Ini hari terakhir, aku ingin semua segera selesai, lalu aku bisa berlibur sampai semester baru dimulai nanti. Tetapi konsentrasiku benar-benar sudah buyar. Suara misterius itu terus terdengar. Tiktiktik tiktik tiktiktiktiktik. Terus berulang. Dan herannya orang lain terlihat sama sekali tidak terganggu. Apakah suara itu hanya khayalanku saja? Mungkinkah tekanan ujian selama hampir dua minggu ini membuatku mulai berhalusinasi? Tetapi suara itu terlalu nyata bagi pendengaranku, tidak mungkin hanya halusinasi, dan mengapa kelihatannya hanya aku yang bisa mendengarnya?

Ah, aku jadi pusing! Kulirik arloji, masih ada waktu lima belas menit. Kuputuskan untuk mengumpulkan saja kertas ujianku. Aku sudah tidak bisa lagi berpikir. Lagi pula, semua soal sudah kuisi. Aku sudah tak peduli lagi apakah jawabanku sudah cukup bagus atau masih perlu dilengkapi.

***

Hari ini hari Senin, Senin kedua di semester baru tahun keduaku di kampus ini. Aku bersyukur suara aneh itu tidak pernah kudengar lagi, hingga aku membatalkan niat untuk menceritakannya kepada Wida, teman yang dalam setahun ini sudah jadi karibku.

Namun, ada lagi hal aneh yang baru, atau mungkin bisa kusebut ajaib: di kelas hari Senin ini, Riza duduk lagi di sebelahku, seperti Jumat lalu.

Jumat lalu, beberapa menit sebelum kelas dimulai, laki-laki itu tiba-tiba menghampiri kursiku, tersenyum lebar, berkata “Hai, Aini!” dengan nada riang dan hangat, lalu mengenyakkan tubuhnya di kursi kosong di sebelah kananku dengan sikap santai.

Aku tertegun, sementara Wida di sebelah kiriku menyapa Riza seakan memang laki-laki itu sudah terbiasa duduk bersama kami. Aneh.

Sepanjang kuliah berlangsung saat itu—Metode Statistika yang perlu konsentrasi penuh—kami lebih banyak diam, menyimak penjelasan dosen. Tetapi begitu kelas berakhir, Riza menyentuh lembut lenganku. Aku tersentak dan menoleh, ia tersenyum dan bertanya: “Sore nanti ‘mudik’ lagi seperti biasa?”

Aku tertegun sejenak sebelum mengangguk.

Setiap Jumat sore seusai sesi praktikum, biasanya aku pulang ke rumah orang tuaku di kota sebelah, untuk kemudian kembali lagi ke rumah kost di hari Senin.

“Hati-hati, ya.” Riza tersenyum lagi. “Sorry, ya, aku harus pergi duluan. Jumatan,” lanjut laki-laki itu sambil menunjuk arlojinya. “Sampai ketemu Senin nanti, ya!” ucapnya, lagi-lagi dengan nada amat hangat, tetapi, herannya, sekaligus terdengar penuh penyesalan.

Di Jumat siang sampai sore kami memang ditempatkan di kelompok praktikum yang berbeda.

Setelah sekali lagi menepuk lembut lenganku, Riza beranjak pergi ke arah masjid besar kampus bersama serombongan mahasiswa lain.

Tercenung, aku merasakan bekas sentuhannya yang tertinggal di lenganku. Meski terhalang selapis kain kemeja lengan panjangkur, hangatnya seolah meresap sampai ke bagian kulitku yang terdalam.

Jujur saja kurasa ini aneh sekali.

Apa anehnya? Mungkin kamu akan bertanya begitu. Tapi bagiku memang aneh bin ajaib, karena biasanya laki-laki itu lebih sering bersikap sok cuek terhadapku. Entah angin apa yang membuat ia tiba-tiba berubah.

Tambahan lagi, bagaimana mungkin Riza yang begitu tampan dan populer di fakultas kami, bahkan mungkin di seantero kampus yang luar biasa besar dan luas ini, mau dekat-dekat dengan perempuan sepertiku? Ini terdengar seperti cerita yang too good to be true—terlalu bagus untuk jadi kenyataan. Seperti cerita fiksi, serupa imajinasi seorang penulis yang tidak menggunakan nalarnya.

Mungkin kamu bertanya-tanya, apa yang kumaksud dengan frasa “perempuan sepertiku” itu. Tetapi sebelumnya, kuceritakan dulu situasiku di kampus setiap Jumat dan Senin.

Hari Jumat, aku selalu datang ke kampus dengan ransel yang gembung, tidak hanya oleh laptop lama milik ayahku—yang sejak aku kuliah berpindah kepemilikan kepadaku—tetapi juga oleh dua atau tiga celana jins kotor, yang akan kucuci dengan menggunakan mesin cuci lama ibuku. Terkadang handuk, seprai, atau mukena kotor pun turut aku bawa. Mencuci benda-benda semacam itu di rumah jauh lebih hemat daripada membawanya ke tempat laundry. Apalagi terkadang ibuku dengan berbaik hati mencucikan semuanya untukku.

Setiap Senin, aku kembali ke Kota D dengan melewatkan hampir dua jam perjalanan dalam angkutan umum, merayap menembus belasan titik kemacetan yang seolah tak pernah kenal waktu. Setiap Senin, aku selalu tiba di kampus dengan punggung dan wajah bersimbah peluh, tetapi tidak punya waktu untuk membenahi penampilan sebelum memasuki kelas pertamaku. Aku juga tidak pernah sempat untuk mampir ke tempat kos, menyimpan bawaanku—termasuk aneka makanan yang dikemaskan oleh ibuku.

Meskipun mungkin penampilanku lebih mirip pengungsi yang kelelahan, aku tidak peduli. Aku tidak mau terlambat lagi masuk kelas, seperti yang kualami di minggu pertamaku. Terlambat satu menit saja, kami tidak akan diperkenankan untuk masuk. Dan sebagian besar dosen seperti sepakat untuk memberi hukuman tambahan: menulis esai tentang materi kelas hari itu, minimal lima halaman A4 spasi satu setengah, dan hanya diberi waktu dua kali 24 jam.

Aku yakin tampilanku saat ini sama dengan penampakanku di hari-hari Senin yang lalu-lalu itu, jelek dan lusuh.

Aku merasa diriku jauh dari kata menarik apalagi cantik. Kemampuan akademikku juga biasa saja. Tidak ada yang istimewa. Aku terlalu ordinary untuk Riza yang … yah, aku sudah ceritakan tadi, ‘kan?

Nah, seperti Senin-Senin yang lalu itu juga, hari ini pun aku mengambil tempat duduk terdekat dari pintu belakang kelas yang sudah nyaris penuh, menyimpan bungkusan oleh-oleh dari ibuku di bawah kursi, lalu mulai mengeluarkan buku catatan dari dalam ransel. Kulirik arloji, masih sekitar dua menit menjelang pukul delapan. Aku mengembuskan napas dengan lega, lalu memandang berkeliling, mencari Wida.

Aku nyaris terlonjak ketika mendapati seseorang telah duduk manis di kursi tepat di sebelahku. Riza, tersenyum penuh penyambutan, seolah ia sudah hafal posisi dudukku di setiap hari Senin.

“Hai,” katanya. Wajahnya terlihat senang sekaligus lega. “Selamat pagi, Aini. Tepat waktu.” Ia tersenyum lebar. Lagi. Kepadaku. Aneh. Luar biasa.

Sedikit terlambat, aku membalas sapaan dan senyumnya. Laki-laki itu terlihat hendak mengucapkan sesuatu, tetapi batal. Ibu Atiek rupanya sudah ada di depan kelas, meminta kami menutup buku catatan dan mengeluarkan secarik kertas.

“Kuis!” seru dosen sepuh yang sudah jadi profesor itu dengan suaranya yang khas, menggelegar tanpa perlu mikrofon, membuat seisi kelas, termasuk aku dan Riza, belingsatan. Tetapi tidak ada satu pun yang berani memprotes.

Sepanjang kuis selama lima belas menit dan satu setengah jam sesi kuliah, berkali-kali aku mencoba mencuri pandang ke arah sosok di sebelahku, dan berkali-kali pula pandanganku bertemu dengan sorot mata Riza yang terasa hangat dan senyumnya yang memamerkan deretan gigi putih bersih dan rapi. Sekali bahkan ia mengedipkan sebelah mata, membuatku segera memalingkan wajah dengan pipi yang terasa sedikit panas. Aneh.

Begitu Ibu Atiek mengakhiri kuliahnya dan kami harus menunggu sepuluh menit untuk kelas berikutnya, Riza membuka percakapan dengan: “Enak, ya, bisa mudik tiap minggu. Aku harus nunggu libur panjang baru bisa pulang.”

Aku hanya tersenyum, tak tahu harus bagaimana menanggapinya. Sementara itu, Wida yang ternyata duduk dua baris di depanku, batal menghampiri ketika ia melihat Riza. Entah bagaimana aku merasa seolah karibku itu memberi kesempatan kepada kami untuk berbincang tanpa gangguan.

Dengan seluruh perhatian tertuju hanya kepadaku, Riza lantas bertanya tentang banyak hal, salah satunya tentang kegiatanku di malam Minggu, yang kujawab dengan cukup percaya diri: “Di rumah, nonton film bareng Ayah sambil makan mi tektek.” Anehnya, aku merasa Riza lalu mengembuskan napas penuh kelegaan.

Obrolan kami kemudian berkembang jadi membicarakan film yang telah aku tonton untuk kesekian kalinya itu, yang ternyata—katanya—termasuk salah satu film favoritnya juga.

Di sela-sela obrolan hangat yang terus terang mengasyikkan itu, tiba-tiba suara tiktiktiktik aneh itu terdengar lagi. Jelas sekali. Seperti sebelumnya, suara itu tidak jelas datang dari arah mana, tetapi seakan memenuhi seluruh ruangan dengan gemanya. Rasanya mengganggu sekali, hingga aku menutupkan kedua tangan ke telinga.

“Eh, itu suara apa, ya?” Aku menyela Riza yang tengah membicarakan sebuah film baru yang katanya seru dan harus aku tonton.

Laki-laki itu mengernyitkan dahi. “Suara apa?”

Aku terperangah, menatap mata Riza yang terlihat bingung dan keheranan, lalu memandang berkeliling. Aneh. Seperti Riza, orang-orang tampak sama sekali tidak mendengar apa yang kudengar, apalagi terganggu olehnya.

“Suara apa, Aini?” Riza menepuk lenganku, membuat aku terperanjat. “Kamu kenapa?” Suara dan wajahnya penuh kecemasan.

Aku tak sempat menjelaskan. Dosen mata kuliah berikutnya sudah datang dan kami segera menyiapkan laptop masing-masing.

“Wah. Laptop bagus itu!”

Aku mengernyit oleh dua hal: komentar Riza untuk laptop lama ayahku, dan suara tiktiktiktik aneh itu yang makin keras dan temponya makin cepat.

“Kuat, tahan banting, baterainya juga tahan lama,” lanjut Riza. Sementara aku melihat ada yang aneh dengan laptop itu. Layarnya terang sekali; sangat menyilaukan, hingga aku memicingkan mata.

Ketika kembali membuka mata sedetik kemudian, aku terkesiap. Riza dan Wida dan orang-orang sudah tidak ada! Bahkan aku berada di dalam ruangan yang sama sekali berbeda!

Bagaimana mungkin aku sudah ada di dalam kamar kosku sendiri dalam sekejap picingan mata? Tetapi laptop jadul ayahku juga ada di sini, di “meja belajar” pendek yang disediakan pemilik kos—kamu harus duduk lesehan di lantai saat menulis di meja itu—dan ada orang lain yang sedang menggunakan laptop itu, mengetik dengan penuh semangat, menimbulkan suara titktiktiktik yang mendadak kusadari terdengar familier!

***

Saya nyaris terlonjak dengan jantung seakan berhenti berdetak, ketika mendadak terdengar seruan, “Hei! Kamu siapa?! Apa yang kamu lakukan di kamarku?!”

Konsentrasi saya benar-benar buyar. Padahal saya tengah merancang kata-kata yang akan diucapkan Riza dalam cerita yang sedang saya tulis. Dia akan mengajak Aini makan siang sama-sama, tetapi bingung bagaimana menyampaikannya pada gadis yang diam-diam dikaguminya itu, hingga dia berputar-putar dulu dengan menceritakan film baru yang dia pikir bagus dan Aini harus menontonnya juga. Barangkali bagus juga kalau saya tambahkan Riza akhirnya mengajak Aini bersama-sama menonton film itu di bioskop.

Apa tadi katanya? Kamarku? Tentu saja ini kamar saya, yang sudah saya tempati lebih dari setahun. Bagaimana mungkin gadis itu berucap sesuatu se-absurd itu? Dengan hati gemas, saya menghentikan gerakan jemari pada keyboard laptop dan menoleh sambil sedikit menggertakkan gigi, bersiap memuntahkan umpatan juga.

Saya tertegun. Terkesiap. Tergemap. Demikian juga tampaknya gadis yang baru saja berteriak marah itu.

Aini-yang-ini? Ada di sini? Bagaimana mungkin?!

“Oh, jadi suara ini yang mengganggu aku selama ini?!” Gadis itu tiba-tiba kembali berseru marah, lalu menghampiri dengan langkah lebar dan cepat.

Dalam sekejap, dia sudah ada di dekat saya, cukup dekat hingga dia akan bisa membaca deretan huruf di layar laptop keluaran lama lungsuran dari Bapak itu.

“Kamu pasti sedang nulis tentang aku, ‘kan? Makanya cuma aku yang bisa dengar.” Dia menghela napas. “Bisa tidak, kamu ngetiknya pelan dan santai saja? Suaranya mengganggu sekali!” Berkacak pinggang, gadis itu kembali berkata dengan nada keras seraya membungkukkan badan, matanya setengah terpicing memandang layar laptop. “Apa sebetulnya yang kamu tulis?”

Saya menutup laptop secepat saya bisa, tidak ingin dia membaca tulisan saya, Aini, tentang Riza. Sejak perjumpaan pertama kami di masa pengenalan kampus lebih setahun lalu hingga hari ini, laki-laki itu selalu mengisi hati saya, meskipun saya sadar, tampaknya saya bertepuk sebelah tangan.[*]

 

Ciawi, 14 Desember 2025

Ika Mulyani, emak-emak yang ketika remaja lebih senang menuangkan perasaan dengan mengarang cerita khayalan daripada menulis buku harian.