Tiga Mimpi Einstein yang Diceritakan Kepada Seorang Perempuan

Tiga Mimpi Einstein yang Diceritakan Kepada Seorang Perempuan

Tiga Mimpi Einstein yang Diceritakan Kepada Seorang Perempuan

/1/

Di dunia di mana “waktu adalah suatu lingkaran yang mengitari dirinya sendiri. Dunia mengulang-ulang dirinya sendiri, setepat-tepatnya dan selama-lamanya.”

Setiap kejadian, peristiwa, setiap kata-kata akan berulang persis. “Dan karena segala sesuatu akan berulang kembali ke masa depan, maka yang terjadi saat ini telah terjadi pula jutaan kali sebelumnya.”

Seorang perempuan yang sedang membaca sebuah buku, tidak sadar telah puluhan kali membaca buku yang sama dan masih akan membacanya lagi di masa depan. Ia mengulang-ulang perasaan yang sama ketika ia membaca buku tersebut, ia mengingat-ingat sepotong dirinya yang tersimpan di tiap-tiap kalimat pada halaman dan bab-bab. Barangkali itu semacam keberuntungan atau ketidakberuntungan sekaligus. Antara mengapresiasi atau menerjebakkan dirinya sendiri di masa lalu seperti seekor kucing yang terus menerus berlari mengejar ekornya sendiri.

/2/

“Di dunia di mana waktu adalah indera, seperti pemandangan atau rasa, satu episode bisa berjalan lambat atau cepat, redup atau terang, asin atau manis, bersebab atau tanpa sebab, teratur atau acak, bergantung pada latar belakang sejarah masing-masing.”

Seorang perempuan yang sedang berjalan-jalan, melamunkan hari-harinya yang terkadang berlari mendahuluinya atau malah tertinggal di belakangnya.

Suatu hari, pagi-pagi sekali ia merasa semua adalah gula, setiap yang ditemui memberinya sensasi gula di lidah. Wajahnya bersemu merah jambu, membalas pesan selamat pagi dari yang terkasih. Jam dinding berhenti berdetak dalam pikirannya. Dunia seperti kehilangan waktu, tidak dengan dirinya, pikirannya. Ia menunggu-nunggu dengan tidak sabar matahari yang sebentar lagi menyembul di timur langit. Ia hendak mengirimkannya pada seseorang. Tetapi saat itu seperti tidak pernah datang.

Di lain hari, semua seperti jeruk purut yang begitu kecut dicecap. Ia sendirian mengenang orang-orang yang telah meninggalkannya. Jam dinding berdetak terburu-buru meninggalkannya di sebuah ruangan. Ketika sadar, matahari sudah terbenam beberapa jam yang lalu.

Ia memperhatikan sekeliling, jalan-jalan yang dilaluinya dan otomatis memberikan justifikasi atas apa pun yang di temuinya saat itu.

Sementara itu dari puluhan pasang mata yang lain, ia bukannya tidak sadar bahwa setiap justifikasi justru akan ditujukan padanya.

Demikian pula hal-hal lain. Semisal pohon-pohon, aliran air, dan langit yang mendung, mereka punya sejuta tafsir pada jutaan kepala.

Dan “perbedaan tafsir ini berulang di mana saja.”

/3/

Suatu hari tiba-tiba saja perempuan itu ingin membaca setiap buku yang digenggamnya dari halaman terakhir dan membayangkan orang-orang yang bangkit dari kematian, berakhir dengan kelahiran.

Tahu berakhir dengan ketidaktahuan. Tidak ada kenangan. Tidak ada penyesalan. Kebahagiaan-kebahagiaan dan kesialan-kesialan menjadi ketiadaan. Balita mengajari orang-orang dewasa tentang cara melupakan. Orang-orang tahu kapan akan dikirimkan ke rahim ibu, menjadi benih dan hilang.

Keterangan:

*Puisi di atas terinspirasi dari tulisan Alan Lightman yang dikutip dan diinterpretasi ulang dari bukunya, Einstein’s Dreams (KPG, 2015)

Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita