Tiga Bersaudara

Tiga Bersaudara

Tiga Bersaudara

 

Oleh: Fitri Hana

 

Neo, Nathan, dan Ken berlari mengejar burung yang masuk ke hutan. Mata mereka awas mengamati di pohon mana burung itu hinggap. 

 

“Itu, Kak!” Neo menunjuk sebuah pohon.

 

“Jangan teriak,” perintah  Ken sambil berjalan perlahan. Sementara kedua adiknya mengekor. Mereka mengendap-endap, khawatir pijakan mereka pada daun-daun dan ranting kering membuat burung itu terbang lagi.

 

Sampai di bawah pohon yang dimaksud, Ken mengarahkan ketapelnya ke arah burung itu hinggap.

 

“Satu, dua, tiga,” hitung Ken dalam hati. Sebuah batu kecil terlempar dari ketapelnya. Tapi sayang, tembakannya meleset. Burung itu terbang lagi. Kali ini bahkan lebih tinggi.

 

“Yaahh, gitu aja meleset, Kak. Harusnya aku aja yang pegang ketapel.” Nathan, adik tengahnya bersungut-sungut.

 

Aih, cakap besar kau ini,” balas Ken dengan tatapannya yang tajam.

 

Niat Nathan untuk merebut ketapel kakaknya urung. Ia pun duduk jongkok di depan Ken yang masih memindai mangsa apa yang bisa mereka tangkap siang ini.

 

“Kak, lihat, Kak!” Neo lompat-lompat kegirangan. Tangannya menunjuk setangkai mangga yang warnanya mulai ranum. 

 

Ken dan Nathan pun berpindah menyusul Neo.  

 

“Kali ini harus kena, Kak,” ucap Nathan berusaha mengintimidasi kakaknya.

 

“Kamu aja yang mengetapelnya?” tantang Ken dengan pandangan merendahkan.

 

Nathan menggeleng lalu menunduk sambil memainkan ujung kaosnya. Lagi, ia memilih jongkok di depan kakaknya. Sesekali ia menggigiti kuku-kuku tangannya.

 

Ken mulai berhitung dalam hati, “Satu, dua, tiga,” satu batu kecil terlempar ke udara diikuti suara sesuatu yang jatuh ke tanah.

 

Tepat sasaran! Sebuah mangga terkena tembakan Ken. Neo berlari mengambilnya.

 

“Nathan, cari batu kecil!” Perintah Ken dengan suara yang sedikit meninggi.

 

Nathan mengerjakannya. 

 

Dengan batu yang diambilkan Nathan, Ken menembak lagi. Ia berhitung dalam hati. 

 

Dan … satu mangga jatuh berdebum lagi.

 

Ken terus mengetapel setangkai mangga sampai seluruhnya terjatuh ke tanah. Mereka dapat lima buah mangga.

 

“Bawa pulang, kita makan bersama Bapak!” perintah Ken kepada keduanya.

 

Neo dan Nathan menurut. Neo memegang dua mangga dengan kedua tangannya. Lalu Nathan meletakkan tiga mangga di depan perutnya. Ujung kaosnya ia tarik sedikit ke atas, memastikan semua mangganya aman di sana.

 

“Bapak pasti senang, Kak. Siang ini kita tidak makan ubi terus,” ucap Neo sambil berjalan paling depan.

 

“Bukan cuma Bapak yang senang, Neo. Dari wajahmu itu sudah kelihatan siapa yang paling senang,” ucap Ken yang kemudian tertawa.

 

“Aku bisa makan dua mangga, kan, dibagi rata sisa satu nanti. Pasti buatku itu nanti,” ucap Neo kegirangan.

 

“Eh, mana, bisa. Yang bawa banyak, kan, aku, jadi otomatis sisanya buat aku. Aku yang dapat dua,” ucap Nathan, sengit.

 

“Sudah mulai berantemnya?” Ken berhenti berjalan. Matanya menatap tajam kedua adiknya.

 

Neo dan Nathan pun urung menjawab, mereka meneruskan langkah mereka menuju rumah.

 

Neo berjalan paling depan, diikuti Nathan lalu Ken berada di paling belakang. Mereka menyusuri jalan setapak yang membelah hutan yang sudah mereka hafal ke mana saja jalanan ini menuju.

 

Di tepi hutan, Neo berjalan setengah berlari. Tiba-tiba kakinya terantuk batu. Mangga yang ia pegang terlempar mengenai batu besar. Dan … pecah. Kedua mangga yang tadi ia pegang, sudah tidak lagi bisa dimakan.

 

Neo mengaduh sambil memegang ujung jarinya yang memar dan lecet. Melihat mangganya pecah, Neo mengaduh lagi. “Kak, manggaku ….” Neo terisak sambil menunjuk-nunjuk mangga yang sudah hancur itu.

 

“Yah, makan ubi lagi siang ini kamu, Neo,” ucap Nathan sambil meledeknya.

 

Mendengar ucapan kakaknya Neo menangis kencang. 

 

“Sudah, Neo. Mangganya cukup untuk kita makan bersama. Hentikan tangismu itu.” 

 

“Ye, ye, makan ubi. Neo makan ubi lagi.” Nathan bersorak sambil mengitari Neo yang masih duduk di tanah.

 

“Nathan! Hentikan selorohmu kalau tak ingin semua mangganya kumakan sampai habis!” Ken berucap dengan mata melotot.

 

Nathan menghentikan ejekannya, tapi sesekali ia melirik ke arah Neo sambil menjulurkan lidahnya.

 

“Ayo pulang, sebelum nenek sihir penunggu hutan ini terbangun mendengar suara berisik kalian,” ucap Ken sambil berjalan lebih dulu.

 

Mendengar kata nenek sihir, Neo langsung berdiri, berjalan pincang mengekor kakaknya. Nathan mengikutinya(*)

 

Tamat.

 

Klaten, 07-10-‘12

 

Fitri Hana. Seorang ibu yang memaksakan diri untuk menulis. Ia suka kopi. Ia juga suka cokelat panas. Kadang-kadang, ia tidak suka kopi dan cokelat panas.

Editor: LutfiRose & Zuyaa

Leave a Reply