Tidak Percaya Diri

Tidak Percaya Diri

Tidak Percaya Diri
Oleh: Dyah Diputri

Akhir-akhir ini aku merasa tidak percaya diri. Malas keluar rumah, bermain dengan teman-teman, ataupun sekadar melihat pemandangan dari sisi jendela.

Anehnya lagi, aku tak bisa seceria dulu. Ibu hampir tak mendapati senyum di bibirku apalagi tawa. Aku muram, bersedih. Ada yang menggerogoti kebahagiaanku di masa remaja.

Sepanjang sore hingga malam hari kuhabiskan waktu di kolong tempat tidur. Aku meringkuk ketakutan, seolah menghindari banyak ancaman. Ketakutan akan banyak hal membuat aku merasa lebih aman dan nyaman bersembunyi di sini.

“Niru! Di mana kau, Nak?” Suara ibuku memanggil. Sejurus kemudian suara derap kakinya terdengar menaiki anak tangga, menuju kamarku. Aku memejam mata. Badanku gemetar.

“Niru! Lagi-lagi kau di sini! Ayo keluar, Nak!” Ibu melongok ke kolong tempat tidur, tangannya berusaha meraih jemariku.

Mau tak mau, siap tak siap, aku menuruti Ibu. Walau kutahu hal yang berlaku sejak lima hari belakangan akan terulang kembali. Aku takut dengan dunia luar, juga dengan Ibu.

“Cukup, Nak! Jangan bersembunyi lagi! Hadapi dunia ini! Jadi dirimu seperti biasanya!” Ibu memeluk dan membelai rambutku. Bagi anak lain akan terasa menenangkan, tapi bagiku menakutkan. Karena, detik selanjutnya dia akan berkata, “Berekspresilah senyaman dirimu, jadi dirimu sendiri. Tidak perlu takut, Nak. Ibu bersamamu.”

“Aku tidak siap, Bu. Terlalu banyak yang kutakutkan,” ungkapku pada akhirnya. Aku melepas pelukan Ibu. Berjalan ke ranjang dan meringkuk lagi. Lagi, mata kupejamkan erat. Bahkan di kamarku sendiri aku ketakutan.

“Niru, apa yang paling kau takutkan?” tanya Ibu. Ibu menyusul, membalikkan tubuhku agar kembali menatapnya.

“Banyak. Apa Ibu tak lihat? Mataku dipenuhi bayang-bayang menakutkan! Bermacam bentuk dan rupa. Mereka menyeringai, tajam menatapku.” Aku mulai terisak.

“Kau memang bisa melihat mereka. Apa salahnya? Kau harus terbiasa.”

“Tidaaak, Ibu. Aku takut,” rengekku. Aku menunjuk ke sudut kamar lalu ke kamar mandi sambil bicara gelagapan, “Mereka di sana dan di sana. Mengelilingiku! Menyeramkan, Bu!”

“Ayolah, Niru! Jangan berlebihan. Mereka tak akan mengganggumu. Begini saja, kalau kau merasa takut, mengapa kau berdiam di sini? Bukankah kau bisa keluar? Cari suasana baru di luar sana! Bertemanlah dengan baik,” cerocos ibu.

Aku membuang napas kasar. Ibu memang tak mengerti keadaanku. Apa dia pikir di luar sana tak akan ada wujud-wujud aneh? Aku tidak yakin. Pasti, di luar rumah ini penglihatanku bisa menangkap ribuan sosok yang membuat bergidik dan berdiri bulu kuduk.

Aku terpaksa ke luar. Memberanikan diri menatap dunia di luar rumahku daripada melihat Ibu mengomel semakin panjang.

Hari masih belum terlalu malam. Kuputuskan untuk berjalan-jalan ke taman terdekat. Jangan ditanya lagi, sepanjang perjalanan beberapa kali aku menutup mata, berlari kecil agar segera sampai di tujuan. Berbagai penampakan hantu seperti zombie lalu-lalang di hadapanku. Sekujur tubuh mereka dipenuhi luka dan darah. Oh, tidak! Aku jijik sekaligus takut melihatnya. Dalam hati aku terus merutuki penglihatan luar biasaku.

Begitu sampai di taman yang kudapati justru hanya kebosanan, bosan melihat muda-mudi yang sedang bermesraan tanpa malu. Tak ada yang duduk sendirian agar bisa menemaniku. Mereka asyik dengan dunia kencannya sendiri, tak ada yang menghiraukan aku.

Lama aku duduk terdiam di salah satu bangku kosong di taman ini, hingga saat akan bangkit—memutuskan untuk pulang—mataku menangkap sesosok pria tinggi besar yang pernah kukenal.

“Hedi!” Aku memanggilnya. Dari jauh dia sempat celingukan mencari sumber suara yang meneriaki namanya. Lalu saat matanya menyorot padaku, dadanya menjadi kembang-kempis, sesaat kemudian dia berlari seolah tak mengenalku.

“Hedi! Tunggu!” Aku berusaha mengejar Hedi. Aku harus bicara pada pria tampan yang kebapakan itu. Dialah sebab kemurunganku akhir-akhir ini.

Aku tak peduli, melewati para remaja yang sedang bermesraan itu dengan penampilanku yang kumal. Langkah kupercepat agar mampu menandingi langkah seribu Hedi.

Hedi berlari terlalu cepat, menyusuri rimbunnya taman bunga hingga sampai di jalan raya. Hampir-hampir ia melangkahkan kaki untuk menyeberang jalan sebelum akhirnya teriakanku menggagalkan rencananya.

“Hedi! Kemari! Jangan lari! Kau harus bertanggung jawab!”

Hedi menoleh ke belakang—tepat padaku, keringatnya membanjir, ketakutan setengah mati.

“Tidak, Niru!” Dia gemetaran. Persis seperti ketika aku melihat hantu-hantu selamat ini. Harusnya dia sadar, dialah penyebab keganjilan yang kurasakan.

“Ayolah, Hedi!” Aku menyentuh pundak pria kejam itu.

Hedi menelan ludah, wajahnya memucat. Di mundur sedikit demi sedikit, menghindariku. Namun aku tak akan melepaskannya.

Detik kemudian dia memacu tenaga untuk berlari kencang, tetapi nahas yang akhirnya dialami.

Brak!

Sebuah mobil yang melaju kencang menghantam tubuh Hedi hingga terpelanting jauh. Remuk, kepalanya pecah. Darah mengalir di mana-mana.

Aku menangkup mulut. Mataku membelalak tegang.

Tidak! Tidak! Bukan aku penyebabnya!

Aku berlari ketakutan. Bayang-bayang kematian Hedi berputar-putar di kepalaku. Mual sekaligus ngeri, itulah yang kurasakan.

“Niru? Apa yang terjadi?” Ibu bertanya begitu aku sampai di rumah—masuk dan membanting pintu.

“Pria i—Itu, Bu. Di—dia tewas. Tertabrak mobil. Karenaku ….” Tubuhku ambruk ke lantai. Lemas.

“Siapa? Siapa yang kau maksud?”

“Di—dia … pria …  pria yang membunuh kita!”

 

Malang, 15 Maret 2019.

Dyah Diputri. Pecinta diksi yang tak sempurna.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata