Tidak Bisa Tak Bertepi
Oleh: Dhilaziya
Terbaik ke-15 TL16
Rian tidak berani mengangkat wajah untuk menatap ibunya. Getar dalam suara sang ibu saat memanggil dan mengajukan tanya, malah membuat bujang tujuh belas tahun itu tertunduk kian dalam. Tanpa menoleh pun Rian tahu, ibunya tengah menangis. Ibunya dan air mata sang ibu, adalah puncak kelemahan Rian. Dan kali ini, dialah penyebab gerimis di wajah ibunya.
Rasmi mencoba bertanya sekali lagi, mencoba menggali tahu asbab dia harus tergopoh memenuhi panggilan guru BK dari sekolah putranya. Satu-satunya anak, satu-satunya harta, satu-satunya yang dipunya.
“Mengapa kamu berkelahi, Le? Ibu kan sudah berpesan, jangan. Tidak baik.”
Rasmi menyentuh paha Rian. Berharap akan membuat pria muda itu bicara. Tapi sepertinya percuma. Sejak Rasmi datang dan menemukan Rian sedang tertunduk di hadapan guru BK, Pak Waluyo, belum sepatah kata pun keluar dari bibir Rian. Pemuda berbadan kurus tapi kukuh itu tetap diam, bungkam.
Satu jam lalu, dengan perantara ponsel sang majikan, Rasmi mendapat kabar dari sekolah bahwa Rian baru saja memukul seorang temannya sampai dua gigi depannya rontok. Karena lawan berkelahinya itu pingsan dan dibawa ke puskesmas, maka pihak sekolah memaksa Rasmi datang ke sekolah saat itu juga. Apalagi jika orang tua Bayu, seteru Rian, tidak terima dan memutuskan membawa kasus ini ke jalur hukum.
Rasmi hanya bisa mengurut dada melihat foto wajah Bayu yang bersimbah darah. Membayangkan betapa nyeri hati orang tua Bayu mendapati keadaan anaknya semengenaskan itu. Sebagai sesama ibu, Rasmi bahkan ikut menangis membayangkan perasaan ibunya Bayu, sebagaimana yang akan dia rasakan jika hal serupa terjadi pada Rian. Dan tragisnya, justru anaknya penyebab kemalangan yang dialami Bayu.
Sebelumnya, Rian tak pernah berlaku sebrutal itu. Semenjak kecil dia telah dididik Rasmi untuk selalu mengalah. Selain keadaan mereka yang tak berpunya, pekerjaan Rasmi yang seorang pembantu di rumah tetangga, juga fakta bahwa Rasmi sudah menjanda semenjak Rian masih dalam kandungan, membuat Rasmi selalu meminta Rian menekan egonya. Juga ego Rasmi sendiri.
Selama ini Rian selalu patuh. Rasmi selalu meminta Rian menghindari pertikaian, karena tak ingin membuat masalah. Sebab jika ada masalah, maka ibunya yang akhirnya harus menanggung masalah apa pun yang timbul, dan itu seringkali berarti air mata. Sudah cukup masalah yang harus ditanggung sang ibu, Rian telah dipaksa paham sedari belia.
Jika mainannya direbut kawan sepermainan, Rian akan diminta Rasmi merelakan dan membuat kembali. Jika tak seorang pun mau meminjamkan mainannya kepada Rian, maka Rasmi akan meminta Rian menyingkir dan mengatakan Ibu akan membuatkannya untukmu. Jika seseorang menyerobot antriannya dalam mengaji, bergilir mainan atau apa saja, Rasmi akan meminta Rian tunduk. Jika sesekali Rian memberontak, Rasmi akan memeluk putranya dan menangis, memohon agar Rian menyingkir, mengingatkan bahwa mereka tak punya siapa-siapa yang akan melindungi. Bahwa hanya ada mereka, untuk satu sama lain. Bahwa sabar seharusnya tak bertepi.
Guru BK yang sedari tadi ikut mencoba bertanya pada Rian, juga mengungkapkan keheranannya pada Rasmi. Rian adalah siswa yang tak pernah berbuat onar, cenderung diam dan nyaris tak terlihat. Pria dengan sorot mata teduh itu lantas mengabarkan bahwa akan segera bergabung seorang siswa lain sebagai saksi, sebab Rian benar-benar tutup mulut.
“Bayu ngejek Rian, Pak.”
Tiga pasang mata bersamaan mengarahkan tatap ke arah Rian setelah mendengar jawaban dari Zaenal. Pemuda yang menjadi sasaran tanya lewat mata malah menunduk kian dalam.
“Diejek soal apa?”
“Cuma tinggal Rian yang belum bayar iuran bikin jaket kelas, Pak. Padahal semua biaya udah ditalangin dulu sama si Bayu.”
“Jadi, Bayu nagih? Begitu?”
“Iya, Pak.”
“Berapa harga jaketnya?”
“Dua ratus rebu.”
“Benar begitu, Rian? Kamu marah karena diejek dan ditagih Bayu soal jaket kelas?”
Di bawah tatap nelangsa sang Ibu, Rian tidak mengiyakan atau menyanggah kalimat gurunya. Anak muda itu hanya mengangkat kepala, lalu menatap ibunya dan gurunya sekilas, lantas kembali menunduk.
“Kamu sudah menceritakan semua, Nal? Menurutmu itu yang membuat Rian memukul Bayu?”
“Saya kira bukan itu yang bikin Rian ngamuk, Pak. Kalo cuma Bayu ngejek kan udah biasa. Semua orang juga tau kalo Bayu sombong. Cuma ada kata-kata Bayu yang bikin Rian bener-bener marah.”
“Coba kamu ulangi kata-kata Bayu yang menurutmu membuat Rian mengambil tindakan seperti itu.”
“Bayu bilang gini, Pak, ‘Kalo makmu nggak juga punya duit buat bayar jaket, suruh ngelonthe aja. Sapa tau laku. Janda kan makmu?’ begitu Bayu ngomong gitu, Rian langsung njotos Bayu.”
Senyap. Selaksa udara lenyap dari ruangan seluas tiga kali empat meter itu. Rasmi tersentak, menebah dada. Sementara Pak Waluyo, tertegun menatap Rian.
“Rian …?”
Kali ini Rian menatap gurunya, bukan dengan sikap lemah seperti sebelumnya. Ada kobar amarah di keras wajah dan tajam tatap matanya.
“Saya bisa terima apa pun hinaan untuk saya. Tapi tidak untuk ibu saya.”
Berikutnya, hanya suara isak Rasmi yang berusaha diredam Rian lewat pelukan.
#DZ. 17082020
Dhilaziya, perempuan penyuka sunyi, bunga, buku, dan lagu.
Tantangan Lokit adalah perlombaan menulis cerpen yang diselenggarakn di grup KCLK.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata