Tidak Berujung
Oleh : Fei Ling
[Dear Benyamin, kalau kamu bertanya kepadaku tempat mana yang mau aku kunjungi, rasanya keinginanku pergi ke Yorkshire. Mungkin karena Mommy terlalu sering menyebutkannya—jauh lebih sering dari menyebut Yerusalem, kota impian Mommy—dan menjadi dongeng pengantar tidur kami. Yorkshire itu dreamland bagiku.]
***
Tahun 2016 Papa membelikanku komputer baru yang diletakkan di atas meja cokelat besar di ruang tengah. Aku yang tak pernah memiliki teman, memutuskan mengotak-atik komputer sepanjang hari. Setelah beberapa lama, aku menjelajahi berbagai situs pencari teman, akhirnya aku menemukan teman maya. Arbaleta, namanya. Meski hanya bisa berkomunikasi melalu surat elektronik, kami sepakat untuk saling memberikan kabar secara intens.
“Apa yang kaucari di Yorkshire?” tanya seorang laki-laki yang mengenakan turban di kepalanya kepadaku.
Tanpa perlu mencari tahu, aku bisa mengenali dia sebagai orang India. Sepertinya pria itu sudah tidak sanggup lagi menahan diri untuk menyapaku saat kereta mulai berangkat tadi. Akibat pertanyaannya yang mendadak, aku tidak bisa langsung menjawab dan hanya mampu tersenyum sekenanya.
Bukannya berhenti karena aku diam, dia justru melanjutkan pertanyaan. “Apa kau ingin merayakan festival? Kau pelancong?” tanyanya.
Sepertinya benar adanya pendapat beberapa teman mengenai karakter orang India termasuk yang too friendly. Sejujurnya aku sedang tak mau banyak bicara dan ingin menikmati perjalanan, tetapi sepertinya tak elok juga mengacuhkan pertanyaan dari lelaki tua itu.
“Aku … ingin mencari seseorang.” Lelaki itu terdiam. Dari sorot matanya, dia terlihat bersimpati.
“Dia pasti orang yang sangat berharga, aku berharap kau bisa menemukannya segera,” kata laki-laki itu.
Aku tersenyum tanda mengaminkan.
Sayangnya, simpati itu tak bertahan lama. Dia mulai bercerita tentang rencana perjalanan dia dan istrinya mengunjungi anak mereka yang sedang mengambil Jurusan Arkeologi di York University. Aku baru sadar, dua orang yang duduk berhadapan denganku, sepertinya satu rombongan dengan suami istri itu. Semangatnya bercerita, sukses membuatku gagal menikmati perjalanan dan justru mengingatkanku pada satu film India yang sering ditonton kakakku dulu, Kabhi Kushi Kabhie Gham.
***
Aku terus berjalan dari The Shambles menuju ke selatan. Kadang berhenti sejenak di depan sebuah kedai teh, lalu berjalan kembali. Aktifitas itu terus aku lakukan hingga pukul sebelas siang.
Perempuan yang kutunggu tak kunjung datang. Di antara orang yang berlalu lalang, aku berharap akan ada dia. Meski aku juga sebenarnya tak yakin apakah akan mengenalinya saat dia mendekat. Adalah suatu kenekatan mencari seseorang yang berjarak ribuan kilometer hanya karena email-email lama, dan aku melakukan kegilaan ini. Karenanya, aku terima saja ketika beberapa orang mengatakan aku tidak waras saat memesan tiket menuju ke sini.
[Kalau kau pernah membaca tentang Diagon Alley, mungkin bisa membayangkan The Shambles, Ben. Namun, tentu saja ada perbedaan apabila melihatnya langsung. Berjalan di antara toko-toko dan melihat berbagai atraksi di pinggir jalan, itu sesuatu yang sangat mengasyikan. Kita bisa bermain detektif dan mencari patung kucing hitam yang tersembunyi di sana. Kata Mommy, salah seorang pamanku membuka kedai bernama The Million Cups Tea Room, Ben. Semoga suatu saat aku bisa berkunjung ke sana.]
Dalam salah satu email-nya, Arbaleta menyebut tempat ini. Kalimat-kalimat dari gadisku itu yang akhirnya membawaku ke Yorkshire demi bertemu dengannya. Jalanan bekas tempat para penjagal adalah jejak penelusuran pertamaku. Aku berdoa sepanjang jalan semoga kedai bernama The Million Cups Tea Room itu benar-benar ada, tetapi sayang, doaku tidak dikabulkan Tuhan.
Arbaleta tak ada di sini. Dia pasti ada di tempat lain.
***
Cerita-cerita Arbaleta tentang Yorkshire di masa lalu, sukses membuatku mendatanginya. Angin tak akan terkejar. Sama halnya dengan gadis blasteran Jerman-Inggris itu. Dia tiba-tiba menghilang tanpa kabar. Akan canggung kalau mengatakan aku dan dia adalah sepasang kekasih. Namun, aku akan tersinggung apabila kami disebut sekedar teman.
Ketika aku mengatakan rencanaku berlibur ke Inggris, tiga kakak perempuanku tertawa layaknya menonton acara komedi. Mereka mengataiku terlalu bodoh untuk mengejar gadis yang tak pernah aku temui. Anehnya, mama tak berpikir panjang saat menyetujui rencana “aneh” anaknya ini.
“Anak bujang hidup bukan untuk dilarang. Bahkan kalau dia mau ke Andromeda pun, Mama akan mengizinkan.” Wanita kesayanganku itu berkata dengan entengnya sambil memotong kacang panjang di dapur.
Andaikan Arbaleta tak menghilang, aku tak akan senekat itu. Arbaleta satu-satunya temanku di dunia baik maya maupun nyata. Kehilangan dia terasa hidupku tanpa arah.
[Ben, segala sesuatu berubah dengan cepat. Daddy meninggalkan kami. Sulit bagi Mommy bertahan merawat keempat anaknya seorang diri tanpa suami. Berlin terlalu keras. Kami akan ke Yorkshire, Ben. Negeri yang aku mimpikan. Mommy ingin kembali ke kampung halamannya. Entah bagaimana perasaanku saat ini. Senang dan bingung bercampur jadi satu. Jangan mengirim surat ke alamat email lama, Ben. Aku akan menghubungimu begitu tiba di Yorkshire.]
Arbaleta menghilang. Surel yang aku tunggu tak kunjung datang, hingga akhirnya membulatkan semangatku bertemu dengan Arbaleta, justru makin besar.
***
[Ben, aku ingin melanjutkan ceritaku. Semoga kamu tak bosan. Ada sebuah tempat bernama Hull di Yorkshire. Orang-orang menyebutnya Kota Puisi. Kamu mungkin tidak mengenal Philip Larkin, tetapi aku menyukai syair-syairnya. Tahukah kamu kalau aku menyukai puisi sejak lama dan apakah kamu ingin membaca satu puisiku, Ben? Aku akan marah kalau kau menilai hasil karyaku jelek nanti. Kata Mommy, dia punya satu tempat favorit di Hull, namanya The Hull Truck Theater. Mommy ingin sekali menonton pertunjukan opera di sana. Meski tak menyukai opera, tak ada salahnya aku mencoba berkunjung.]
Aku sudah memesan satu tiket di gedung teater yang dia sebutkan. Sejujurnya aku tak menikmati sama sekali pertunjukan itu. Mungkin karena aku tak terbiasa menonton opera. Aku hanya ke sana untuk menemuinya, tetapi dia tetap tidak ada. Alhasil, aku keluar gedung tanpa mendapatkan kesan apa pun.
Malamku berakhir dengan duduk di sebuah bangku di depan bangunan tinggi tadi. Lagi-lagi melihat orang berlalu lalang dan berharap menemukan seseorang yang mirip dengannya. Foto yang dia kirimkan pun terlalu buram. Aku heran mengapa Arbaleta gemar sekali mengirimkan foto sephia. Susahnya, gadis Inggris terlihat berwajah sama satu sama lain. Aku jadi makin sulit mengenali.
Jika dia tak ada juga di tempat ini, maka aku harus ke mana lagi?
Kelelahan membawaku berhenti di kedai kopi. Aku mulai merasa sia-sia melakukan perjalanan ke sini. Satu demi satu, aku mencoret daftar tempat yang sudah kukunjungi dan hasilnya nihil. Sejenak aku menghela napas melihat beberapa lokasi yang harus kudatangi hanya untuk menemukan Arbaleta.
Tanpa sadar seorang perempuan mendekatiku.
“Ben, apakah itu kamu?” Aku terkaget dan spontan menyemburkan kopi yang sudah masuk di mulutku.(*)
Surabaya, 30 Mei 2021
Bagi Fei Ling, menuangkan kata menjadi sebuah tulisan adalah caranya menjaga jiwa tetap waras.
Editor : Uzwah Anna
Grub FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim atau menjadi penulis tetap di Loker Kata