Tidak Ada yang Benar-benar Hidup
Oleh : Ning Kurniati
Tidak ada yang benar-benar hidup di Kota A. Tadi malam Mama berkata begitu sebelum saya tidur. Kenapa? tanya saya, dan Mama menjawab, “Karena kematian selalu mengintili setiap orang, ke mana pun.”
Saya jadi kepikiran kalimat itu. Tidak ada yang benar-benar hidup di Kota A. Kata Mama, Papa pergi ke sana. Berarti Papa tidak benar-benar hidup.
“Papa mati, Ma?”
“Belum.”
“Kenapa belum?”
“Karena papamu masih hidup. Tak ada yang benar-benar hidup bukan berarti mati. Papamu berkelana bebas di luar sana.”
Wah, beruntungnya Papa. Dia bisa bebas berkelana, tidak seperti kami yang tidak boleh sering-sering ke luar rumah. Karena kalau kami keluar, tetangga akan seperti sarang nyamuk—Mama yang bilang begitu—suara mereka berdengung-dengung membuatnya sesak dan segera pulang ke rumah.
Mama akan menangis, di pintu, di dapur, lebih sering di meja makan, berlama-lama di sana. Lalu, Mama akan mengangkat saya, mendudukkan saya di kursi dan mengatakan suatu hari, suatu hari nanti kita akan bebas ke luar.
“Bebas itu ketika kita bisa keluar, Ma?”
“Yah.”
“Dan tidak lagi mendengar dengung nyamuk?”
“Yah.”
“Kalau begitu kita ke Kota A saja meninggalkan para tetangga di sini. Papa ada di sana, ‘kan?”
Mama tersenyum, lalu mengecup jidat saya.
***
Saya tak ingat wajah Papa, tak ingat setinggi apa dia, bagaimana badannya, lebih besar dari Mama atau lebih kecil, saya tidak tahu dan mau tahu, tetapi Mama selalu menolak menunjukkan fotonya. Kata Mama, wajah saya mirip dengan Papa. Jadi, tak boleh lagi bertanya-tanya, kalau mau lihat Papa, cukup saya bercermin dan itulah Papa.
Aneh. Mana mungkin saya bisa melihat Papa hanya dengan bercermin? Itu adalah diri saya dan saya tak mau sama dengan Papa, karena Papa meninggalkan Mama, dan karena kepergian Papa, Mama sering menangis.
Saya makin ingin melihat Papa dan memarahinya. Apa boleh anak kecil memarahi papanya?
***
Satu-satunya yang sering mengajak Mama bicara adalah Bu Na. Rumahnya berhadapan dengan rumah kami. Dia sering datang dengan membawa makanan, kemarin kue lapis, hari ini donat, tapi pernah juga Bu Na hanya datang membawa diri, duduk di teras ditemani Mama dan mereka bicara lama sekali.
Setelah Bu Na pulang, kadang Mama tampak lebih baik—maksud saya, ada sedikit senyuman di wajahnya—tapi kadang juga matanya sembap seperti habis menangis. Kata Mama, hidup kami seperti di penjara.
“Penjara itu apa, Ma?”
“Kurungan.”
“Seperti tempat tinggal burung milik Pak RT?”
“Yah, itu kurungan. Kurungan berarti penjara.”
“Kenapa hidup kita seperti di penjara?” Kata seperti berarti mirip, tapi tak berarti sama.
“Karena kita tidak bebas keluar.”
Saya paham, jadi tidak meneruskan pembicaraan kami. Tidak bebas keluar, karena Mama selalu pulang bila tetangga berdengung. Itu sama artinya dengan kami terpenjara.
***
Saya berumur lima belas tahun sekarang, apa yang ditakutkan Mama selama ini masih kadang terjadi, meski tak sesering dulu. Kebebasan yang kami sebut, perlahan-lahan bisa juga dirasakan, meski gosip—nada dengung tetangga—masih terdengar di telinga kami.
Kota A, Mama tak lagi menyebutnya, bersama dengan hilangnya pembicaraan tentang Papa di antara kami. Saya juga tidak lagi penasaran seperti apa dia, karena apa yang dikatakan Mama benar adanya. Wajah saya seperti Papa, hanya saja saya perempuan dan dia laki-laki, kata Bu Na.
Saya juga sudah mengerti terkait dengung-dengung itu, tetangga mengatakan saya adalah anak haram, Mama adalah pelacur yang tobat karena melahirkan seorang anak, meski begitu—bagi masyarakat—sekali pelacur tetaplah pelacur. Itulah hal yang membuat Mama sesak dan selalu bergegas pulang.
Mereka tidak percaya dengan tobatnya seorang pelacur—sekali pelacur tetaplah pelacur—yang selama ini kontan didatangi oleh pria yang berbeda-beda. Atau mungkin, mereka cemburu karena tahu suaminya pernah mendatangi Mama. Atau mungkin juga mereka takut suaminya mendatangi rumah kami, menjadi suami Mama, menjadi papa saya, dan meninggalkan mereka.
Namun, selama ingatan saya, sekali pun Mama tak pernah bertemu dengan lelaki asing, apalagi sampai masuk ke rumah kami. Dia benar-benar menjadi mama bagi saya, berusaha tanpa cela mendidik, meski masa lalunya terus membayanginya.
Memang tak pernah ada yang sampai tega mendatangi rumah kami dan mengusir seperti yang ditakutkan Mama, sehingga dia enggan keluar, dan hanya bepergian bila berangkat kerja ke toko baju milik temannya—yang juga pensiun dari melacur—atau untuk memenuhi kebutuhan kami di rumah. Namun, gosip itu tak pernah selesai pembahasannya, terus ada dan itu menyakitkan bagi Mama, juga bagi saya.
Mama bilang, perbuatannya dahulu bukanlah karena semata-mata desakan ekonomi untuk makan dan hidup seperti orang-orang, melainkan karena Nenek yang sakit keras di kampung, sehingga keharusan bagi dirinya untuk mengirim uang demi melihat mamanya bertahan hidup, meski dokter sudah mengatakan umur Nenek tidak lama lagi. Mama juga memiliki tiga orang adik yang harus dia biayai sekolahnya.
“Mama kan bisa mencari pekerjaan lain.”
“Tidak semudah itu. Saya dapat pekerjaan yang baik, tapi gajinya tak pernah bisa menutupi semuanya.”
“Selalu ada pilihan dan jalan lain, ‘kan?”
“Kamu menyesal memiliki mama seperti Mama, Nak?”
“Tidak. Bukan begitu maksud saya.”
“Lalu, apa maksudmu?”
Saya tidak bisa menjawab dan meninggalkan Mama di meja makan hari itu.
***
Di malam setelah Mama mengatakan semuanya, diam-diam saya meninggalkan rumah.
Seperti yang dikatakan Mama, selama ini kami terkurung dan saya merasa butuh kebebasan. Meninggalkan rumah, cara terbaik yang bisa saya lakukan untuk mencerna semuanya. Kebebasan itu sebenarnya seperti apa?
***
Wajar bila orang-orang menggunjing, karena perbuatan Mama memang salah. Salah secara moral, secara agama, secara kemanusiaan. Manusia hidup untuk diuji sejauh mana keimanan yang dimilikinya, tetapi bukan berarti di sini saya bisa mengecap Mama bahwa imannya lemah. Meski saya merasa memang begitu karena dia tidak bisa melewati ujian kehidupannya dengan pantas, justru membuat dirinya jatuh pada perbuatan tercela. Akan tetapi, dia adalah Mama dan saya tidak sanggup mengatainya begitu.
Kenapa Mama tidak minta tolong pada temannya, pada keluarga kami, atau pada tetangga, atau masyarakat luas? Saya tidak bisa membayangkan semengerikan apa kehidupan di masa lalu, sehingga dia rela menjajalkan diri, ketimbang meminta tolong pada manusia lainnya.
Akankah ada orang-orang yang mau menolong, ketika seseorang berdiri di pinggir jalan dengan memohon bantuan uang? Adakah orang yang akan berhenti sejenak, bertanya apakah itu benar atau kebohongan belaka dan tidak menganggapnya pengemis? Atau justru pengguna jalan itu akan bergegas pulang menemui keluarga atau temannya, karena zaman itu bukanlah zaman internet di mana dengan mudah orang akan tertarik pada hal-hal yang tidak wajar. Salah-salah, Mama dianggap gila ketimbang seorang pengemis.
Saya tidak lagi mau menyalahkan Mama. Itu adalah masa lalunya dan saya tidak bisa meminta pada Tuhan untuk dipilihkan mama yang memiliki masa lalu yang gemilang. Biarlah semuanya menjadi hal yang benar-benar lalu dengan tidak mengingatnya, seperti keberadaan Papa. Tak ada yang benar-benar hidup di Kota A.
Teringat Papa sama dengan teringat perkataan Mama. Satu paket hal yang harus saya ketahui. Apa maksud dari perkataan Mama itu? Maksudnya tak bisa ditebak sama sekali. Keesokan harinya saya pulang.
Bendera kuning berkibar. Lalu, di depan rumah orang-orang berkerumun. Semua pandangan mengarah ke saya.
“Mamamu meninggal!” Bu Na menepuk pundak saya di depan pintu.
Tak mendapat respons apa-apa, Bu Na bicara lagi. “Dia mengantung diri.”
***
Saya mau menyalahkan diri karena meninggalkan Mama. Saya salah, tetapi ada yang lebih salah, mereka, mereka yang diam, tidak peduli dengan Mama di masa lalu lebih salah. Tidak, semuanya salah. Orang-orang, saya, Mama, kami semua bersalah dengan porsinya masing-masing.
Tidak ada yang benar-benar hidup.
Makassar, 25 Januari 2020
Ning Kurniati, Perempuan dengan mimpi yang terus bertambah-tambah. Dapat dihubungi melalui link bit.ly/AkunNing
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata