Tidak Ada Kepuasan dari Membunuh
Oleh: Chan
Banyak yang bilang Maman telah menjadi seorang pengecut. Ia hanya berdiri dan menatap Sunarto dengan tatapan murka dan dada bergemuruh ketika Sunarto membuangnya ke bagian lain yang tidak ada lemburnya. Padahal saat itu, di ruang rapat, ia memiliki kesempatan untuk menghantam rahang kepala regunya itu dengan apa pun yang bisa ia raih. Sudah bukan rahasia lagi bahwa sebuah perang dingin tengah berkecamuk di antara keduanya. Bukan rahasia pula Sunarto amat ingin menyingkirkan Maman. Semua itu berpangkal pada sebuah peristiwa sebelum Sunarto diangkat menjadi kepala regu.
Dulu, keduanya merupakan sahabat. Keakraban keduanya hancur ketika hati Sunarto mulai dikuasai ambisi. Demi meraih jabatan, pria itu tega melaporkan kejelekan Maman kepada manajer mereka. Seperti yang biasa terjadi di belahan bumi mana pun dengan manajer yang hanya gemar mendengarkan nyanyian seorang penjilat, Sunarto diangkat menjadi kepala regu. Maman harus rela tersisihkan dengan memendam sakit hati. Sejak saat itu ia bersumpah akan menjadi duri dalam daging di dalam regu Sunarto. Ia juga menghasut rekan-rekan kerja yang lainnya agar tidak maksimal dalam menjalankan program yang dicanangkan Sunarto.
Akibat pemberontakan itu, regu Sunarto dan pimpinannya dinilai tidak kompeten. Sunarto pun dicap tidak layak untuk melangkah ke tingkat selanjutnya. Kariernya mandek. Ia tahu pangkal masalah dan solusinya. Maka, ketika kesempatan untuk membuang Maman datang, Sunarto tidak menyia-nyiakan kesempatan itu.
“Kalau aku jadi kau, sudah kutebas batang leher si sialan itu!” kata Togar seraya memperagakan gaya orang yang sedang menebas sesuatu yang amat ia benci dan nistakan.
“Keenakan itu mah. Gebukin dulu, terus lempar ke jurang di Cilele, biar jadi makanan anjing-anjing hutan,” tukas Ujang sambil memukulkan tangan kanan ke telapak tangan kirinya.
Maman menanggapi celoteh kedua rekan kerjanya dengan senyum getir. Bara di dadanya meletup-letup sampai ke ubun-ubunnya. Namun, letupan itu hanya memuncak menjadi gumaman. “Membunuh tidak akan memberikan kepuasan apa-apa.” Ia lantas menjabat tangan kedua orang itu sebelum mengucapkan perpisahan.
Bulan demi bulan berlalu hingga genap menjadi setahun. Riak kemurkaan di wajah Maman sudah memudar. Ia juga sudah terbiasa dengan bagian dan rutinitas barunya. Tidak ada keluhan yang keluar dari mulutnya meskipun pekerjaan barunya dua kali lebih melelahkan dan kehidupannya sedikit bertambah berat.
Di bagian yang Maman tinggalkan, keadaan sudah lama seperti sediakala. Umpatan-umpatan yang kerap terlontar di pembicaraan-pembicaraan tertutup lenyap tanpa bekas. Togar, Ujang, atau kawan-kawan Maman lainnya sudah tidak pernah mengungkit-ungkit lagi tentang kepergian Maman. Mereka bekerja dengan nyaman dan tidak memikirkan apa pun selain perut mereka sendiri.
Begitu pula Sunarto. Rasa waswas terhadap balas dendam Maman yang sempat menghinggapi dadanya turut lenyap. Ia semakin yakin bahwa Maman memang pengecut seperti yang ia duga di ruang rapat itu. Ia bisa pulang larut tanpa khawatir dicegat Maman, seperti di malam gerimis itu.
Usai lembur akhir sif, Sunarto tidak langsung pulang ke rumah. Ia mampir ke kota untuk membeli durian kesukaan Suryani, istrinya. Ia melakukannya dengan senang hati. Meskipun untuk itu ia harus pulang lebih larut dan harus melewati rute memutar.
Malam itu, rute yang Sunarto lalui sesunyi kuburan-kuburan tua yang dilupakan. Deru mesin sepeda motor Sunarto hanya ditimpali bunyi tetesan hujan yang menghunjam aspal. Licinnya jalanan membuatnya mengurangi kecepatan. Sesuatu yang besar menabrak bagian belakang motor Sunarto. Sunarto tidak bisa melihat apa itu. Ia hanya tahu sepeda motornya oleng sebelum akhirnya mencium aspal dan meluncur deras menghantam separator beton.
Gerimis kembali berubah menjadi hujan. Tetesan air terasa seperti tikaman ribuan jarum. Di bawah sorot lampu sepeda motor, jari-jari Sunarto tampak bergerak-gerak. Sambil mengerang ia menggeliat dan mencoba bangkit. Namun, dua suara tumbukan yang disusul dua nyeri hebat di tulang punggung dan ekornya membuatnya memekik, lalu pingsan.
***
Sunarto hanya bisa terbaring di kasur. Tubuhnya lumpuh dari pinggang ke bawah akibat ruas keenam tulang punggung dan tulang ekornya remuk. Tangan kirinya juga ikut lumpuh, sedangkan bagian tangan kanan yang bisa ia gerakan hanyalah telunjuk dan jari tengahnya saja.
Dokter tidak bisa menyimpulkan penyebab pastinya. Mereka berasumsi luka itu Sunarto peroleh setelah bagian belakang tubuhnya menghantam separator beton. Mereka hanya bisa melakukan segala upaya medis yang bisa mereka lakukan dan berharap keajaiban. Sunarto menolak memercayai asumsi tersebut, tapi ia juga tidak mampu mengingat rincian malam itu. Ia hanya yakin bahwa malam itu ia tidak sendirian. Ada seseorang yang muncul dari kegelapan dan orang itulah yang menjadi penyebab kemalangannya, begitu pikirnya seminggu belakangan.
Ia mulai menerka-nerka siapa kiranya sosok tersebut. Sejumlah nama muncul di dalam tempurung kepalanya. Mereka adalah daftar orang yang pernah bersinggungan dengannya setahun belakangan ini: foreman gudang yang ia laporkan karena menggelapkan stok barang perusahaan, karyawan kontrak yang ia tegur karena merokok di jam kerja, tukang ojek yang hampir bertabrakan dengannya di depan gapura kompleks perumahannya, juga sejumlah nama lainnya. Ia mulai menyortir daftar itu menjadi segelintir nama berdasarkan kuatnya motif. Masih belum cukup, pikirnya. Ia kembali menyortirnya lagi hingga mengerucut pada satu nama. Namun, ia tidak terlalu yakin. Ia juga tidak mempunyai bukti dan tidak bisa membuktikan kebenaran teorinya. Ia hanya bisa terus menduga-duga dan seluruh sore itu ia habiskan dalam dugaan.
Selepas kumandang azan Isya Sunarto menyerah. Banyak menduga-duga membuat otaknya kelelahan. Ia butuh obat sakit kepala. Ia tidak bisa minum obat sendiri dan membutuhkan bantuan Suryani–untuk apa pun ia membutuhkan bantuan Suryani. Ia memanggil istrinya dengan menekan bel pemanggil. Seingat Sunarto, Suryani tengah berada di ruang tengah sedang memilah-milah surat tagihan. Sepengetahuannya pula, Suryani adalah istri yang sigap. Jika tidak sedang sibuk, wanita itu hanya butuh tujuh detik untuk menjawab panggilan suaminya. Namun, malam ini, setelah delapan belas detik terlewati, tetap tidak ada jawaban darinya. Sunarto kembali memanggil. Delapan belas detakan jam kembali berlalu tanpa jawaban. Sunarto mulai gusar. Ia memencet belnya sekali lagi.
Kali ini pintu terbuka. Suryani masuk. Namun, wanita itu tidak melangkah dengan kakinya, seseorang bertopeng memapahnya dan ia dalam keadaan tidak sadar. Orang bertopeng itu membaringkan Suryani di samping Sunarto. Kemudian perlahan-lahan ia mulai melucuti Suryani. Mulai dari daster lengan pendeknya, lalu berlanjut ke pakaian dalamnya. Sunarto menyaksikan adegan itu dengan kecepatan dua kali lebih lambat. Setiap kali pria bertopeng itu menyentuh kulit mulus Suryani, jantung Sunarto serasa disilet-silet. Ia mengerahkan sisa-sisa tenaganya, memaksa tubuhnya bergerak. Namun, tubuhnya telah menjadi penjara baginya.
“Hentikan! Hentikan!” Sunarto berteriak hingga urat-urat kepalanya bertonjolan dan matanya basah dan memerah, tetapi suara yang keluar tak lebih lantang daripada kentut kucing.
Usai membuka celananya dan memasang kamera untuk merekam, pria bertopeng itu menatap Sunarto. Gestur dan ketajaman tatapannya setajam tatapannya di malam gerimis itu dan di ruang rapat setahun lalu.
Sunarto tertohok. Sambil terus memohon minta maaf, ia merutuki segala keputusannya dan kekurang waspadaannya.
“Membunuh tidak akan memberi kepuasan apa-apa. Balas dendam sesungguhnya adalah menyiksa perlahan-lahan. Diam dan saksikan!” Si pria bertopeng naik ke ranjang dan mulai menjamah Suryani.
Chan adalah seorang pembaca yang sedang berlajar menulis
Editor: Syifa Aimbine