Thiwul yang Katanya Makanan Orang Miskin
Oleh : Reza Agustin
Pernah kudengar dari Nenek atau Mamak, bahwa thiwul selalu diidentikkan dengan makanan bagi orang miskin. Kembali ke era Nenek dan Mamak masih kecil dulu, memakan nasi putih adalah lambang kemewahan. Nasi putih hanya disajikan di acara-acara tertentu macam Lebaran, orang punya hajat, atau ketika memiliki uang berlebih untuk membeli beras. Untuk mengobati rasa kangen memakan nasi, biasanya thiwul inilah yang digunakan sebagai alternatif. Dimasak selayaknya nasi biasa, tetapi dengan takaran thiwul yang lebih banyak. Thiwul akan mantap jika dimakan dengan mlandhing atau biasa dikenal dengan sebutan lamtoro atau petai cina.
Thiwul dijadikan pengganti nasi juga membutuhkan proses yang panjang dalam pembuatannya. Singkong, dapat ditemukan dengan mudah di Indonesia, tanam saja batangnya di dalam tanah dan ia akan tumbuh sendiri tanpa memerlukan perawatan ekstra tinggi dibandingkan padi. Karena murah, mudah dalam perawatan, dan masa tanam yang tak terlalu berbeda dengan padi, maka jadilah si singkong jadi primadona. Cabut singkong dari dalam tanah, pilih umbinya yang besar-besar, lantas dibersihkan terlebih dahulu. Barulah sehabis itu dikupas kulitnya, dipotong kecil-kecil, kemudian dijemur hingga kering.
Untuk mengeringkan singkong, membutuhkan waktu yang beragam, tergantung pada musim. Di musim kemarau, tak butuh waktu satu minggu sampai singkong benar-benar kering. Namun, di musim penghujan butuh satu minggu lebih. Singkong yang sepenuhnya kering ini disebut gaplek, yang nantinya menjadi bahan utama thiwul. Singkong yang tak kering secara sempurna biasanya akan berjamur. Namun, tak serta merta dibuang. Singkong itu pun masih dapat diolah lagi menjadi camilan yang memiliki rasa khas fermentasi yang asam dan memiliki tampilan kurang menjual. Hitam dan cokelat yang biasa disebut gathot. Padahal sebutan gathot sering diplesetkan menjadi “gagal total”. Memang benar bahwa gathot adalah singkong yang gagal menjadi thiwul, tetapi ia berhasil menjadi camilan unik yang ditaburi dengan potongan kelapa muda di atasnya.
Bukan favorit saya, sih. Namun, bagi sebagian orang, rasanya unik dan terkadang bikin ketagihan.
Kembali pada gaplek yang telah sepenuhnya kering, gaplek itu harus ditumbuk menjadi butiran yang lebih halus agar nantinya dapat dikukus seperti nasi. Jika dulu gaplek ditumbuk menggunakan alat sederhana seperti alu[1] dan lumpang[2] maka di era modern seperti sekarang, orang-orang beralih menggunakan mesin penggilingan yang lebih cepat dan menghasilkan butiran-butiran lebih halus. Jadi, tak akan ada lagi kasus menemukan tulang singkong di dalam nasi thiwul jika sudah menggunakan mesin penggilingan. Bahkan sekarang, thiwul sudah dibuat versi instan dan dijadikan penganan lain, loh.
Jika gaplek telah digiling menjadi bubuk halus, maka namanya berubah menjadi tepung gaplek. Banyak yang menggunakan tepung ini sebagai campuran adonan gorengan, selain harganya lebih terjangkau daripada tepung terigu, tepung gaplek ternyata juga membuat gorengan menjadi lebih krispi. Ya, begitu kata para penjual gorengan di angkringan, tetapi tetap tak menyebutkan rahasia lain mengapa gorengan mereka lebih krispi.
Menjadi lebih modern berarti harus mengikuti perkembangan zaman, bukan? Pun dengan thiwul, karena sekarang mudah ditemui dalam bentuk brownis atau kukis. Bahan dasarnya adalah tepung gaplek itu sendiri sebagai pengganti tepung terigu yang harga lebih mahal, tetapi siapa sangka jika dengan mengubah wujudnya menjadi kue dapat meningkatkan nilai jual. Jika satu porsi nasi thiwul dihargai dua ribu rupiah, maka dalam wujud brownis atau kukis, harganya berlipat-lipat menjadi belasan sampai puluhan ribu rupiah.
Jika dahulu thiwul selalu identik sebagai makanan orang miskin, lalu bagaimana jika orang-orang bermobil juga ikut menikmati dan membelinya sebagai oleh-oleh? Dulu orang-orang bermobil itu menikmati masa kecil pilu mereka dengan seporsi sederhana nasi thiwul dan beberapa butir lamtoro, kini setelah mereka menjadi priyayi pun tak melupakan makanan masa kecil yang membuat mereka bertahan dalam kemiskinan. Thiwul adalah rasa, memori akan masa lalu pilu yang harus disyukuri, tanpa masa lalu pilu itu, tak akan ada masa depan yang indah menanti.
Sudahkah maka thiwul hari ini?
Karena rasa itu adalah sebuah memori. Tentang cinta yang bahkan belum sempat dimulai tapi sudah gugur lebih dulu.
—Jun from Thiwul Suki Desu—
[1] Alu: Alat untuk menumbuk padi, biasanya dibuat dari kayu yang diharuskan atau batu
[2] Lumpang:Perkakas yang terbuat dari batu atau kayu yang bagian tengahnya berlubang, melalui lubang itulah padi atau bahan makanan lain ditumbuk.
Reza Agustin lahir dan besar di Wonogiri sejak 20 Agustus 1997. Penggemar Webtoon dan Hallyu yang juga pecinta kucing. Kunjungi Facebook dengan nama yang sama, Instagram di @Reza_minnie, dan Wattpad di @reza_summ08.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata