The Wedding
Oleh: Lily Rosella
Denisa tampak cantik hari ini dengan balutan gaun putih brukat. Rambut panjangnya yang biasa lurus kini dibentuk ikal, menjuntai hingga ke pinggang dan separuhnya dibuat serupa kembang yang diberi jepitan motif bunga azalea. Seharusnya ini menjadi pernikahan yang dia idam-idamkan bersama Ghani, seorang pria berkacamata yang berdiri di sampingnya.
Tamu undangan sudah berdatangan memenuhi ruangan yang didominasi warna putih dengan paduan merah jambu, begitu juga dengan mempelai pria yang baru dikenal Denisa sebulan sebelum pernikahan. Di atas meja tamu, hidangan ringan sudah tertata. Sedangkan di meja panjang tak jauh dari tempat pengantin terdapat mangkuk besar berisi minuman dengan es batu besar berbentuk sepasang angsa dan kue pernikahan tiga tingkat.
Alunan musik romantis mengalun memenuhi aula dan terdengar sampai ke ruangan rias Denisa. Nada-nada lembutnya ternyata tak mampu membuat Denisa hanyut dalam ketenangan apalagi kebahagiaan. Di pikirannya masih bergelayut sebuah pernyataan, andai saja Ghani bersedia diajak kabur, mungkin pernikahan ini tidak akan pernah terjadi, atau barangkali posisi mempelai pria tentu akan diisi oleh Ghani. Tapi belum apa-apa pria berkacamata itu telah menyerah. Sangat pasrah.
“Mungkin terdengar menyakitkan, tapi nasib ratusan orang bergantung padamu,” ucap Ghani saat Denisa mengajaknya kabur seminggu lalu.
“Lalu bagaimana dengan kita?”
“Tidak ada kata kita lagi, De. Semua sudah berakhir. Aku tidak punya apa-apa untuk menyelamatkan orang-orang itu.”
“Jadi kita—”
“De, dengarkan aku. Ini untuk masa depanmu, masa depan perusahaan orangtuamu. Jika kita kabur dan pernikahan ini batal, lalu bagaimana dengan seluruh karyawan?”
Denisa menghela napas mengingat hasil perbincangan tentang hubungan mereka. Matanya yang sipit melirik Ghani yang kini sibuk memasang mahkota kecil di kepalanya.
“Sudah selesai,” ucap Ghani sembari tersenyum.
Tak ada balasan sedikit pun dari Denisa. Jangan untuk tersenyum, wanita blasteran Tionghoa itu malah membuang muka. Denisa tidak pernah tahu kalau mempersiapkan gaun pernikahan buatnya sangatlah menyiksa perasaan Ghani. Bagaimana tidak, wanita yang sejak SMA diam-diam disukai pria berkacamata itu kini harus terlepas ke pelukan pria lain.
“Om percayakan Denisa kepada kamu.” Ghani berusaha tersenyum lebar saat kalimat itu kembali berputar di kepalanya. Tugasnya kini sudah selesai.
“Sempurna. Mau didandani seperti apa pun, kamu selalu terlihat cantik,” puji Ghani atas kerja kerasnya sendiri, “dan nanti jangan lupa untuk tersenyum.”
Denisa tidak menjawab. Dia memilih keluar menuju aula pernikahan. Meninggalkan kekasih hatinya yang kini terduduk di bangku kecil depan meja rias sembari mengepal sapu tangan putih. Menyisakan hening yang sesekali diselingi embusan angin yang menyapu rambut hitam Ghani.
***
Waktu baru berlalu tiga bulan setelah pesta pernikahan berlangsung. Entah datang dari mana kabar burung yang kini membuat jantung Denisa melemah. Detaknya tak seteratur biasanya, bahkan terasa dua kali lebih lambat setelah sebelumnya hampir saja Denisa merasa jantungnya akan copot.
Dia keluar menuju halaman belakang, membiarkan kertas yang tadi sempat dipegangnya berpindah alih ke tangan suaminya. Pikirannya kosong. Denisa hanya ingin duduk di ayunan di pohon besar belakang rumahnya sembari menunggu matahari terbenam.
Lagi, untuk kedua kalinya Tuhan bermain dengan perasaannya yang sudah susah payah dia sederhanakan.
“Dia sudah tenang sekarang.” Denisa tak melirik suaminya yang sudah berdiri di belakangnya sembari memegang lembut bahunya. Tangannya terulur pelan ketika menerima kertas milik Ghani, tidak, itu kertas miliknya. Kertas yang terlambat menjadi miliknya.
“Aku ingin bersamanya,” ucapnya lirih seperti sedang berbisik kepada angin untuk disampaikan hingga ke surga.
***
Dear, Denisa
Maaf karena kita harus berpisah dengan cara seperti ini. Sungguh, tiada yang lebih sakit daripada mengantarkanmu datang ke pelukanku, lantas meninggalkanmu berkubang sendu. Aku tahu ini kejam, tapi aku lebih rela merajut luka satu per satu untuk membuatmu bahagia sebelum benar-benar hilang.
Kekasihmu,
Ghani
Jakarta, 21 Oktober 2018
Lily Rosella, atau biasa disapa Lily. Penulis amatir asal Jakarta yang menyukai warna-warna pastel.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata