The Servant Finds Her Family

The Servant Finds Her Family

The Servant Finds Her Family

Oleh: Auralia Sazka

Leherku terasa dingin setelah diikat oleh besi. Kedua tanganku juga diborgol seolah-olah aku tidak boleh bergerak bebas dan hanya bisa patuh pada mereka yang berjalan di depanku.

Namaku Nathalia Delaney, tiga belas tahun. Ini semua terjadi setelah kedua orang tua angkatku menandatangani surat untuk menjualku kepada orang-orang berdasi putih itu. Aku akan dilelang.

Perasaanku? Aku tidak tahu. Aku hanya bisa patuh. Bisa saja aku dijadikan istri atau bahkan pelayan mereka, tetapi aku melihat mata orang tuaku, mereka terlihat lega karena menjualku. Seolah-olah tak perlu sengsara menghidupiku lagi. Maka dari itu aku hanya bisa pasrah.

Kakiku berhenti di atas panggung teater. Disoroti lampu panggung, aku melihat orang-orang berdasi putih yang akan melelangku.

“Nathalia Delaney. Seorang Ingàlfur Alf.” Seseorang di dekatku yang membawa mik menjelaskan.

Ingàlfur Alf? Apa itu? Sejak datang ke sini, orang-orang mulai memanggilku dengan julukan aneh itu.

Tapi memang sepertinya menurut mereka aku adalah “produk” yang spesial. Aku adalah seorang elf. Makhluk mitos yang katanya sudah jarang terlihat di era modern seperti ini.

Selama hidupku, aku diasuh siapa saja. Jika mereka sudah tidak mau mengurusiku lagi, aku akan dibuang atau dijual ke orang lain. Hidupku seperti bola, dioper ke sana-sini.

Tidak ada yang mengetahui identitasku sebagai elf selain orang-orang yang pernah mengasuhku, dan yang akan membeliku. Beruntunglah diriku karena tidak pernah dibeli oleh para ilmuwan untuk dijadikan bahan penelitian dan eksperimen.

Lampu panggung semakin menyorot kepadaku, orang-orang yang sedang duduk di depanku mengamati dengan seksama.

“Dimulai dari 1.000.000,00.”

Beberapa orang mulai mengangkat suara, menawarkan harga untuk membeliku.

1.500.000,00.”

2.000.000,00.”

2.500.000,00!”

“Apakah masih ada yang mau menawar lagi?

Pintu teater terbuka, seorang lelaki tinggi yang mengenakan jas putih-abu berjalan ke arah panggung.

“Dia? Bukankah dia tidak menyukai tempat ramai?”

“Tak kusangka orang itu akan tertarik dengan perlelangan ini.”

Aku mendengar bisikan-bisikan para pengunjung di dekat panggung. Pria itu telah sampai di depanku.

7.000.000,00.”

Seisi ruangan bergeming setelah pria itu menyebutkan harga, orang yang membawa mik kemudian bersorak. “7.000.000,00, baiklah, deal!”

***

Pria itu selesai mengisi semua formulir, dan aku ditugaskan untuk mengikutinya. Kami berdua keluar dari ruangan, aku berjalan mengikutinya dari belakang.

Aku menatap tubuh pria itu dari belakang, tubuh yang gagah, rambutnya berwarna cokelat kekuningan.

Kami hanya bergeming sepanjang koridor. Hanya suara langkah kaki yang mengisi telinga, sampai akhirnya keluar dari gedung teater tersebut.

Kami disambut oleh mobil dan seorang pelayan yang membungkuk sopan sambil membukakan pintu mobil. “Silakan naik, Tuan.”

Pria itu menarik lenganku dan membawaku masuk ke dalam. Kami berdua duduk di bagian tengah, mobil mulai melaju dengan kecepatan setengah.

“Namamu?” Suara beratnya akhirnya keluar dari tenggorokan itu, membuatku sedikit bergidik ngeri.

“N-Nathalia Delaney, saya siap mematuhi perintah apa pun, Tuan,” jawabku seperti biasanya.

“Begitu. Keluargamu?”

Aku bergeming sekejap setelah mendengarnya. “Tidak punya, Tuan.”

“Kalau begitu, hari ini kau akan memilikinya.”

Aku membelalakkan mataku kebingungan, “M-maksud Tuan?”

“Kau adalah keluargaku, mulai saat ini.”

Mataku membulat, terasa seperti ada sinar yang terlihat.

Keluarga. Aku belum pernah mendengar seseorang mengatakannya kepadaku.

***

“Bukalah matamu, kita sudah sampai.”

Aku membuka mata setelah mendengar suara yang membangunkanku. Pintu mobil terbuka, aku melihat sebuah mansion yang megah berdiri.

Tuan itu menggenggam tanganku dengan lembut, menuntunku ke rumah miliknya. Kami disambut dengan hangat oleh para pelayan. Kami berjalan menuju ruang tamu milik Tuan itu.

“Duduklah,” perintahnya. Aku patuh dan segera duduk di kursi yang nyaman ini.

“Kamu pasti memiliki banyak pertanyaan di kepalamu sekarang. Aku akan jawab semampuku,” ucapnya.

“I-ini dimana?” tanyaku.

“Ini di area terpencil di sebuah desa England.”

“Ingàlfur Alf itu apa?” tanyaku penasaran.

“Itu nama untuk kekuatanmu. Kau spesial. Ingàlfur artinya dewi, Alf artinya elf.”

Aku mengangguk-angguk meski pun masih ada yang tidak kumengerti. Kenapa aku dijuluki dewi? Kekuatan? Aku memiliki kekuatan apa?

“Benda ini.” Tuan itu melirik leher dan tanganku.

“Ini tidak diperlukan.”

Ia mengepalkan telapak tangannya dan tiba-tiba saja besi yang memborgol tubuhku berubah menjadi abu. Aku terkejut.

Tuan ini memiliki kekuatan, ia menyentuh leherku. “Kau sudah lama sekali memakai benda ini sampai berbekas ke leher dan tanganmu itu.”

“I-ini pertama kalinya aku melepas borgolku selama hidupku menjadi seorang budak,” ujarku.

Tuan menarikku ke dalam pelukannya. “Kau sudah bebas.”

Aku menahan bulir-bulir air mataku yang ingin menetes, aku merasa terharu, seperti terbebas dari jeratan yang mengikatku. Tuan sangat baik.

Tuan membawaku ke sebuah kamar mandi. “Kau mungkin kelelahan, mandilah, aku akan membasuhimu.”

Aku tertegun. “T-Tuan, saya bisa sendiri.”

“Sudahlah, tidak apa-apa.”

Ia menarikku ke kamar mandi dan aku memberontak seperti kucing liar yang membenci air. Tapi ini benar-benar memalukan.

“Apakah orang-orang sebelumnya memperlakukanmu dengan buruk?” Tuan bertanya sembari menggosok punggungku.

Sepertinya Tuan menyadari bekas luka di beberapa bagian tubuhku. Aku mengangguk, sebelumnya aku memang sering dipukuli oleh orang-orang yang mengasuhku.

Ia melihat semuanya, ini terasa memalukan. Aku menutupi wajahku dengan kedua telapak tangan setelah badanku selesai dibasuhi. Aku sedang berendam dalam bak yang diisi air hangat.

“Kalau kau sudah merasa segar, keluarlah dan getarkan lonceng kecil di samping pintu ini, pelayan akan datang.” Tuan menjelaskan setelah itu keluar dari pintu.

Aku merenggangkan badan di bak, ini terlalu nyaman. Aku mendapat kenyamanan yang sangat baik di tempat ini. Sebelumnya aku hidup seperti di neraka. Kenapa Tuan mau membeliku, ya? Dan memperlakukan dengan sangat baik seperti ini.

Omong-omong, aku belum mengetahui nama Tuan itu. Siapa namanya, ya?

Aku beranjak dari bak mandi dan membunyikan lonceng kecil seperti yang diarahkan Tuan. Seorang pelayan membukakan pintu.

“Selamat siang, Nona Nathalia.”

Pelayan itu membungkus badanku dengan handuk, lalu menuntunku berjalan ke sebuah kamar. Ia menggantikan bajuku.

Ini sangat memalukan, aku belum terbiasa.

“Nona akan makan siang bersama Tuan Zeron hari ini.”

Jadi namanya Zeron, ya. Nama yang bagus.

***

Selesai bersiap aku menuruni tangga menuju ruangan makan. Di sana terdapat Tuan Zeron dan seorang anak laki-laki duduk di meja makan. Aku memang sudah mendengar dari para pelayan kalau ada seorang tuan muda di sini. Aku segera ikut duduk bersama mereka.

“Nathalia. Karena kau sudah ada di sini, kupikir kau akan kesepian karena tak ada teman sebaya, maka aku ingin memperkenalkanmu pada anakku, Raphael,” ujarnya.

“Raphael, berilah salam pada Nathalia.”

Anak laki-laki itu mengulas senyum yang manis padaku. “Salam kenal, namaku Raphael. Jangan sungkan jika kau butuh bantuanku.”

Aku mengangguk. “H-halo, saya Nathalia. Tolong jangan sungkan juga jika Tuan Raphael membutuhkan bantuan, saya akan selalu mematuhinya.”

“Tidak perlu formal begitu, Nathalia. Kau dan Raphael seumuran, bertemanlah dengan baik.”

Aku mengangguk, kemudian kami bertiga makan dengan tenang.

***

Selesai makan, Tuan Zeron pergi untuk bekerja. Raphael, anaknya mengajakku ke sebuah taman belakang rumah.

“Ayo, ikuti aku, Nathalia!” Raphael menarik lenganku, aku melihat sebuah meja di tengah-tengah rumput yang luas, sekelilingnya terdapat pohon-pohon kecil yang cantik.

Aku duduk berhadapan dengan Raphael, ia membuka tutup cangkir yang berada di meja, dan menuangkan teh.

“Minumlah, kita akan bersenang-senang hari ini.”

“B-baik.” Aku meneguk teh tersebut, manis. Jarang sekali aku bisa merasakan hangatnya teh, karena biasanya aku hanya menyuguhkannya pada tuan rumah yang membeliku.

“Hei, itu si Ingàlfur Alf itu!” Aku mendengar sebuah suara cempreng mendekati telinga.

Di dekatku terdapat dua makhluk yang berukuran mungil dan memiliki sayap, seorang peri.

“Peri?” ucapku terkejut.

“Hmmm, tolong jangan sesekali menyebut kami dengan julukan jelek yang diberikan oleh manusia itu! Panggil saja kami teman.”

Raphael tertawa kecil di dekatku. “Benar, mereka adalah para Pixie. Mereka sangat jahil dan pemaksa, hati-hati terhadap mereka.”

“Hei! Kenapa kau ingin memberikan kesan buruk pertama pada gadis ini?! Dasar tidak sopan!” seru salah satu dari Pixie tersebut.

“Namamu adalah Nathalia bukan? Oh, kau benar-benar cantik! Queen pasti akan senang menerimamu,” ujarnya.

“Kau berasal dari mana, gadis kecil?” tanya Pixie tersebut.

“Tidak tahu,” jawabku. Kulirik kedua Pixie itu, mereka tersenyum singkat.

“Kau punya keluarga?”

Aku menggeleng kecil. “T-tidak … punya.”

“Kalau begitu ikutlah dengan kami! Kami bisa memperlakukanmu lebih baik dari pada pria tua itu.”

Apa maksud mereka? Kulirik Raphael, ia terlihat tidak nyaman dengan pembicaraan para Pixie tersebut.

“T-tidak. Aku akan tetap di sini.”

“Apakah kau serius?” Kulihat mereka berdua menyeringai.

“Kau keluarga saja tidak punya. Apalagi tempat untuk ditinggali. Kau tidak memiliki semuanya, ‘kan? Maka dari itu pergilah bersama kami. Kami akan memberikan segalanya untukmu.”

“K-kau benar. Aku tidak punya apa pun ….”

Tanganku bergetar. Kulihat mereka tersenyum, berusaha meraih tanganku.

“Tapi ….”

“Tapi sekarang aku punya keluarga.”

Mereka mengangkat alis. “Apa? Kau tidak punya.”

“Aku punya. Tuan Zeron adalah keluargaku.”

“Tuan Zeron bilang aku adalah keluarganya, jadi ….”

Sebelum aku melanjutkan kata-kataku, Raphael menarik lenganku beranjak meninggalkan para Pixie.

“R-Raphael! Kita mau ke mana?”

Ia tak berhenti mengajakku untuk berlari hingga kami berhenti di bawah pohon merah muda yang menjulang tinggi.

“Ini tempat favoritku! Aku selalu beristirahat di sini.”

Mataku berbinar. “Ini, apakah ini pohon sakura?”

Raphael mengangguk. “Benar!”

Aku menganga, terkejut. Aku tidak pernah melihat pohon sakura asli sebelumnya. Aku hanya bisa menatap keindahannya di buku, dan sekarang aku bisa melihatnya langsung.

“Cantik ….”

“Seperti kamu.”

Pandanganku tertuju pada Raphael. “E-eh?”

Raphael mengambil sebuah kelopak bunga sakura yang jatuh dari pohon dan memasangkannya pada sela-sela rambutku, ia tertawa kecil. “Bukan apa-apa.”

“Nathalia, kamu adalah keluargaku.” Raphael menggenggam tanganku dengan erat.

“Iya, aku tahu itu.” Aku mengulas senyum singkat. Anak berambut cokelat itu terkekeh.

“Kupikir ini pertama kalinya melihatmu tersenyum.”

Aku menatap Raphael dengan dalam. Ini adalah awal dari kisahku, di kediaman mereka, menjadi bagian dari keluarga ini. (*)

20 Februari 2022

Auralia Sazka, seorang remaja penyuka kesendirian, menggambar, dan menulis. Baginya, menulis untuk mengekspresikan diri. Pernah menulis beberapa antologi cerpen dan novel solo pertamanya That Pale Girl. Kontak IG: @reimurinzeu. FB: Gladiora Florissa

Editor: Imas Hanifah N
Gambar: Pixabay

Leave a Reply