The Queen
By: Reza Agustin
Mereka bilang, ia tak bisa disentuh. Jangankan untuk menyentuh, menatapnya saja akan membuatmu membeku, tidak secara harfiah. Tatapannya benar-benar melemahkan saraf tubuh. Kendati memiliki perawakan yang rapuh, ia adalah seorang wanita yang penuh kharisma. Tubuhnya tinggi, langsing, kulitnya pucat, dan satu lagi daya tariknya. Sepasang netra biru yang membius sejak pertama kali Hans melihat sang ratu. Penguasa Arendelle, Ratu Elsa yang baru saja merayakan penobatannya.
Maka dari itu, ia lebih memilih untuk mendekati adik perempuan sang Ratu. Gadis lugu yang terlalu mudah dibutakan oleh cinta, bahkan dengan kata-kata manisnya yang seperti racun. Perempuan itu begitu mudah, sedikit pujian dan rayuan, maka ia akan tunduk padanya. Berbeda dengan sang Ratu, wanita itu bahkan tak sudi berbalas tatap dengannya. Ia tahu bahwa sejak awal ia takkan pernah bisa mendekati sang Ratu. Maka ia lebih memilih untuk mundur. Hans Westergaard.
Hans tahu sejak awal ia takkan pernah bisa berada di puncak. Menjadi anak bungsu dari tiga belas bersaudara seperti hidup menjadi anak tangga. Terinjak-injak sejak awal. Ia bukan alat yang bisa kakak-kakaknya gunakan untuk mencapai puncak impian mereka. Ia bahkan tak masuk hitungan mana pun. Tak ada sisa untuknya.
Hanya kepada putri naif ini ia bisa berharap, Putri Anna. Dengan menikahinya, mungkin harapan untuk menguasai sebuah negara bisa terwujud. Dalam sekali pandang saja, ia sudah tahu bahwa sang Ratu takkan pernah membiarkan hatinya jatuh pada orang lain. Ratu Elsa, terlalu rapuh untuk mencintai atau pun sebaliknya. Ia bisa mengambil kesempatan untuk meracuni wanita itu saat sudah bebas berkeliaran di istana. Dengan begitu secara otomatis tahta sebagai raja berpindah kepadanya.
Ia memang kejam. Tak ada yang menyangka di balik wajahnya yang selalu nampak tenang, berwibawa, dan kelihatan seperti orang baik-baik, ia menyimpan rencana busuk di dalam. Tak ada seorang pun yang tahu, bahkan ayahnya selaku raja dari Southern Isles tak mengetahuinya, apalagi kedua belas saudaranya yang ”baik hati”. Mereka terlalu baik hati, sehingga memberikan beberapa kenangan kepadanya melalui pedang-pedang tajam mereka. Menggores kulit-kulit tubuhnya secara perlahan dan membiarkannya meraung dalam diam. Ia tak bisa mengatakan apa pun pada ayahnya, mereka akan lebih kejam menyiksanya, lagi dan lagi. Jika ia bisa membawa Arendelle dalam genggamannya, maka mereka takkan pernah memandangnya secara sama.
“Tidak ada pernikahan, Anna.” Sang Ratu sudah berkehendak, meruntuhkan harapan Hans untuk membawa Arendelle dalam genggaman. Namun, wanita dingin itu kini menatapnya dalam.
“Kau, Pangeran Hans dari Southern Isles?” Ratu Elsa menunjuk Hans dengan tatapannya.
“Iya, Yang Mulia,” jawab Hans sambil memberikan hormat. Ia tak yakin apa yang akan selanjutnya wanita itu perbuat padanya.
“Bisa kita bicara empat mata?” Entah itu undangan atau sebuah eksekusi kematian, Hans tetap mengekori sang Ratu. Gaunnya yang bertabur berlian berkilauan tertimpa cahaya purnama. Semakin membuat wajah wanita itu bersinar, menampilkan kecantikan yang tampak tak nyata. Seperti peri dalam dongeng-dongeng masa kecil yang pernah Hans baca.
“Apa yang ingin Anda bicarakan dengan hamba, Yang Mulia?” tanya Hans sopan setelah wanita itu menemukan tempat bagi mereka untuk berhenti. Sebuah lorong yang dihiasi dengan jendela besar bertabur mozaik kaca beraneka warna. Cahaya purnama tak mampu menembusnya, justru menciptakan bayangan warna-warni pada lantai yang tertutupi karpet.
“Sebenarnya ini bukan sebuah hal lazim yang diucapkan oleh wanita. Kau tahu, wanita tak punya hak dalam menentukan segalanya dalam hidup mereka. Mereka selalu diberikan pilihan tanpa persetujuan. Kau tahu itu, bukan?” Elsa nampak gagap pada beberapa kata. Segera menepis anggapan Hans tentang Elsa sebagai wanita penuh kharisma. Sebelah alis nya terangkat sebagai respons.
“Aku tahu kau pasti kebingungan ketika aku membawamu ke sini tanpa mengatakan apa pun. Mereka juga memutuskannya tanpa persetujuanku,” ujar Elsa yang lantas menghela napas lelah. Ia balik menatap Hans pasrah.
“Siapa maksud Anda, Yang Mulia?” tanya Hans setelah mengerti maksud tatapan Elsa. Sebuah tatapan agar Hans bertanya lebih jauh. Agar Hans menggali lebih banyak. Sehingga Elsa tak perlu banyak bicara dan atau mungkin agar Elsa tak menjatuhkan martabatnya untuk menyampaikan sesuatu yang sedang ia coba bicarakan.
“Dewan kerajaan, mereka memintaku memilih … raja mereka.” Suhu di sepanjang lorong itu turun. Hans merasa seluruh tubuhnya merinding, sebagai reaksi atas rasa tidak percaya. Apakah ia sedang dilamar?
“Maksud Anda, Yang Mulia?”
Topeng tegar Elsa segera runtuh. Wanita itu segera meringkuk ke lantai, ia tidak menangis. Setidaknya belum. Matanya mulai berkabut, tetapi ia masih mencoba agar tidak menumpahkan air matanya. “Seharusnya kau tahu persis apa yang sedang aku bicarakan, Pangeran.”
Sial. Ketika tadi Hans menyerah untuk mendapatkan sang Ratu, kini ia harus menghadapi kondisi di mana sang Ratu justru berusaha mendapatkannya. Namun, apa yang membuat sang Ratu berniat melabuhkan hati padanya? Pada seorang pangeran yang namanya tenggelam di antara dua belas saudaranya yang lain.
“Maafkan, hamba, Yang Mulia. Hanya saja, kenapa Anda berniat untuk melabuhkan hati Anda pada seseorang seperti saya?” Hans mensejajarkan tinggi badan mereka, agar ia bisa lebih puas memandang sepasang netra birunya.
“Dari empat pilihan, setidaknya hanya kau yang usianya tak jauh berbeda dariku. Itu akan lebih mudah, daripada menikahi pria-pria yang sudah uzur dan punya cucu.”
“Apakah itu berarti, hamba adalah kandidat terbaik?” tanya Hans dengan rasa bangga yang menyusup.
“Bukan. Setidaknya tidak seburuk ketiga pria tua itu. Fakta bahwa kau adalah anak bungsu dari tiga belas saudara semakin membuatku yakin bahwa kau akan mempertimbangkan baik-baik tawaran dariku,” terang Elsa.
“Tentu saja, Yang Mulia,” balas Hans. Ia lantas mengulurkan tangannya kepada sang Ratu. Membiarkan wanita itu menggenggam tangannya erat agar bisa bangkit dari posisi mereka saat ini.
“Jujur, sebenarnya aku tak tega mengatakan ini di depan adikku. Aku sudah melihat apa yang kalian lakukan tadi. Aku pasti sudah mematahkan hatinya sekarang,” tutur Elsa yang tak mampu menyembunyikan rasa bersalahnya.
“Dia adik yang manis, dia pasti akan mendengar penjelasan darimu, Yang Mulia.”
“Menurutmu begitu?” Elsa kembali bertanya, mencoba meyakinkan hatinya. Ia segera melingkarkan tangannya pada lengan kekar Hans. Hans bisa merasakan bahwa pelukan pada lengannya mengencang, pastilah Elsa sangat gugup.
“Tentu saja, Yang Mulia.” Hans tersenyum, tak sepenuhnya tulus. Karena ada seringaian yang tersembunyi. Mudah sekali membawa Arendelle dalam genggamannya.(*)
Cerita ini merupakan Fanfiction dari film animasi Frozen.
Wonogiri, 28 Januari 2019
Reza Agustin, kelahiran Wonogiri yang menggemari Hallyu dan pecinta kucing. Instagram: @Reza_minnie dan Wattpad: @reza_summ08.
Tantangan Lokit adalah kompetisi menulis cerpen yang diadakan di grup FB KCLK
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata