The Plan

The Plan

The Plan
Oleh: Lily Rosella

Apa yang manusia bayangkan tentang para makhluk luar angkasa. Mereka semua tentu membayangkan tentang sosok buruk rupa yang penuh lendir juga memiliki perangai jahat. Aku sudah tahu itu!

Beberapa waktu lalu aku pernah menjatuhkan diri dari UFO, kemudian mendarat tidak mulus di laut lepas. Sial memang, tapi mau bagaimana lagi. Aku salah perhitungan kala itu. Hampir saja tenggelam karena selaput di kakiku tak dapat terbuka.

“Cepat angkat aku!”

“Apa?”

“Cepat angkat aku! Cepatlah!” seruku melalui penyeranta.

“Bagimana ini? Bagaimana ini?” Suara-suara itu terdengar saling bersahut-sahutan, membuatku hanya bisa menepuk jidat sebelum pasrah untuk mati.

Wush! Cahaya dari UFO menarikku masuk bersama sebagian kecil air laut. Aku terbatuk, berusaha berdiri meski sempat jatuh karena lantai yang basah.

“Kenapa tidak menekan tombolnya lebih cepat? Kau ingin aku mati?”

“Maaf, Bos. Aku lupa tombol mana yang harus ditekan. Bagaimana jika tadi aku tiba-tiba menekan tombol penghancur?” Aku memukul keras kepala Seku.

“Cepat bersihkan ruangan ini! Aku akan melakukan pendaratan dua puluh kilometer dari sini.” Aku berjalan sambil menopang pinggulku yang terasa nyeri, merebahkan diri sebelum bersiap untuk kembali mendarat.

***

Kali ini aku berhasil mendarat dengan selamat di sebuah kebun yang berjarak tak jauh dari pantai. Beberapa puluh meter dari sana terdapat rumah dengan cerobong yang tidak mengepulkan asap. Aku menyelinap masuk dari sana, mengangkang dan merayap-rayap di cerobong agar bisa turun secara perlahan.

Buk!

Aku menyapu sekitar. Untungnya tidak ada orang di sini. Tadi aku terjatuh karena tidak sengaja menginjak laba-laba, kehilangan keseimbangan.

“Kau sudah sampai?” tanya Lop melalui penyerantanya.

“Sudah.”

“Bagaimana keadaan di sana?”

“Aman.”

“Kau ingin aku jemput sekarang?”

“Tidak perlu, aku belum menemukan apa pun di sini,” bentakku. “Jika sudah, nanti aku akan menghubungi kalian.”

Setelah dirasa aman, aku langsung melancarkan aksiku, mencari tahu tentang kehidupan manusia. Berjalan ke sana-sini, memeriksa seluruh ruangan dan parabotan. Aku tercengang begitu melihat sebuah kamar dengan pakaian kotor di mana-mana, kaus kaki yang tergeletak begitu saja di kasur, bau busuknya sudah tercium saat aku membuka pintu. Ah, ternyata manusia memang jorok.

Rasanya aku harus memeriksa tempat lain. Di sini tidak ada yang sesuatu yang berguna untuk mengancam kaum kami selain senapan murahan. Baru saja aku hendak bergegas pergi, tapi suara deru mesin tiba-tiba terdengar semakin dekat. Sepertinya pemilik rumah ini sudah pulang.

Klik! Aku menekan tombol di pinggiran jamku guna melakukan teleportasi, berusaha memperkirakan jarak yang tepat agar tidak salah mendarat.

Klik! Klik! Klik!

Aku menekannya beberapa kali, tapi tidak ada yang berubah, aku masih tetap berada di ruangan yang berantakan ini, mungkin jamku rusak karena pendaratan pertama yang tidak mulus itu. Dan kini keringat mulai mengalir sedikit demi sedikit saat suara langkah terdengar menuju kemari, pun ketika gagang pintu mulai ditekan turun. Aku memutar otak karena sudah kehabisan waktu. Tadi aku sudah mencari tempat melarikan diri, tapi nihil. Hanya ada jendela kecil yang bahkan tak bisa dibuka.

“Ayah, pintunya tidak bisa dibuka!” teriak seseorang saat aku menahan gagang pintu dari dalam.

“Mungkin kau menguncinya sebelum pergi tadi.”

Ia mencoba memasukkan kunci ke lubang tempatku mengintip. Pemuda berkacamata besar itu berusaha memutar-mutar kunci sambil menggerak-gerakkan gagang pintu. Tubuhnya sedikit memberi tekanan hingga kakiku mulai terasa pegal menahannya.

“Tetap tidak bisa!” serunya lagi.

“Coba sekali lagi, jika tidak bisa juga, nanti Ayah akan ke sana.”

Deg! Dua manusia? Sepertinya aku harus bersembunyi sebelum semakin banyak manusia yang datang ke ruangan ini dan melihatku.

Tak ada pilihan lain, saat gagang pintu ditekan ke bawah, pintu mulai terbuka. Aku hanya bisa menahan napas, bersembunyi di baliknya dengan posisi tangan terangkat dan kaki berjinjit.

“Ayah …!”

Aku langsung membelalakkan mata dan salah tingkah saat dia melihatku. Sepertinya aku sudah melakukan teknik transparansi, tapi bagaimana dia bisa …?

“Aku menemukannya!”

“Apa?”

Pemuda berkacamata besar itu mendekat ke arahku, berjongkok guna menyejajarkan tubuh gemuknya yang agak pendek. Tangannya terulur, berusaha menyentuh kakiku yang berjinjit semakin tinggi.

“Maaf, begini … sebenarnya,” aku berusaha menjelaskan meski terbata-bata, “aku—”

“Ternyata selama ini gelangku ada di balik pintu.”

“A—apa?” seruku ternganga.

Setelah mengambil gelang berwarna merah yang tergeletak di samping kaki kananku, pemuda itu lantas pergi meninggalkan ruangan ini. Meninggalkanku yang terus memegangi dada karena merasa jantungku hampir copot.

***

Ini sudah hari kelima aku berada di Bumi dan melakukan pengintaian. Beberapa tempat telah aku kunjungi seperti kantor polisi, restoran ayam bakar, taman kanak-kanak, juga rumah-rumah termasuk rumah seorang wanita tua yang secara tidak sengaja melihatku sedang memeriksa gudang kecilnya. Dengan sigap tangan keriputnya langsung mengambil sekop di balik pintu dan bersiap memukulku. Pikirnya aku ini hewan nakal yang sedang mencuri persediaan pangan musim dinginnya. Beruntung aku bisa menghindari pukulannya meski kepalaku sempat terhantam sekali.

Aku memegang perutku yang terus berbunyi. “Ah, lapar sekali.”

Walau terbilang baru, tapi aku dapat mempelajari segala hal tentang Bumi dengan cepat. Hewan-hewan di planet ini juga banyak menceritakan tentang keadaan mereka dan seperti apa manusia. Menurut mereka manusia itu makhluk yang paling kejam, dan kami tidak dapat melawan mereka. Ah, mustahil. Aku pasti bisa mengalahkan manusia-manusia itu.

Sambil memikirkan segala kemungkinan setelah memperbaiki jamku dengan beberapa peralatan yang berhasil kucuri di sebuah toko kecil di pinggir jalan, kini langkahku terhenti saat melihat pemuda berkacamata besar, manusia pertama yang aku lihat setelah mendarat di Bumi. Ia mengenakan pakaian putih abu-abu dan melangkah menuju gedung bercat cream, di punggungnya juga terdapat ransel berukuran sedang.

Aku mengikutinya masuk ke dalam gedung tersebut. Mungkin di sana ada sesuatu yang berguna, itu sebabnya aku memilih berpisah dengannya setelah melintasi gerbang dan berkeliling seorang diri, memeriksa sesuatu yang mungkin bisa menambah informasiku tentang planet yang akan penduduk Moreo tempati. Mulai dari ruangan, peralatan, juga berkas-berkas yang menumpuk di beberapa ruangan tertentu. Berbeda dengan di kantor polisi, di sini mereka memiliki data-data manusia lebih banyak, dan dari yang aku amati, usia manusia-manusia itu rata-rata kisaran 15 – 19 tahun, lebih muda dari Reba. Bahkan pemuda berkacamata besar itu berusia 17 tahun. Bagaimana mungkin, wajahnya saja jauh lebih tua dari penduduk planetku yang berusia 100 tahun.

Aku melanjutkan berkeliling begitu selesai memeriksa semua berkas, berhenti tepat di ruang yang terdapat beberapa komputer. Sepertinya aku sudah bisa mengirim pesan kepada prajuritku yang menunggu di UFO. Kami siap untuk melakukan penyerangan melihat betapa tidak bergunanya manusia dan besarnya kemungkinan untuk mengambil alih segera planet ini.

Setelah selesai menyadap komputer di gedung berlantai tiga ini, aku langsung berlari ke atap. Menunggu UFO datang sambil tetap memerhatikan para manusia yang tengah istirahat makan siang di halaman.

Kami telah menyiapkan berbagai alat-alat mutakhir yang mampu memusnahkan mereka semua hingga menjadi abu, menguasai Bumi dan mengevakuasi segera penduduk di planet kami yang baru saja terkena hantaman meteor.

“Ke mana mereka?” keluhku.

Lama sudah aku menunggu, tapi UFO belum juga menampakkan keberadaannya melalui jam di tanganku yang berfungsi sebagai alat deteksi. Sambil menunggu, aku kembali memasuki gedung, melakukan teknik transparansi seperti biasa agar keberadaanku tidak diketahui oleh manusia-manusia itu.

“Tolong! Tolong!” Aku mendengar suara tersebut dari salah satu ruangan. Sepertinya tidak hanya satu, tapi banyak yang mengucapkan kata serupa di sana.

Dengan sangat hati-hati aku membuka pintu sedikit, mata besarku mengintip dan menyapu sekitar, mencari tahu siapa yang terus berteriak meminta tolong. Aku terperanjat. Keringat dingin berkucuran. Sepertinya aku harus kembali ke ruang komputer dan memberi pesan lagi kepada para prajuritku di UFO untuk datang lebih cepat. Entah apa yang mereka lakukan sekarang hingga bisa begitu lama menjemputku.

***

“Bagaimana keadaan Bumi?” tanya Lop sepulangnya aku dari pengintaian.

“Buruk! Aku lebih suka kembali ke tempat asal kita.”

“Jadi, apa kita harus menghentikan rencana penyerangan?”

Aku mengangguk. Di planet bernama F12U8, aku adalah pemimpin dengan pangkat tertinggi. Mungkin nama planet kami tidak tertera dalam sistem tata surya yang diperhitungkan oleh para manusia yang mengaku pintar tersebut, tapi sungguh, planet kami benar-benar ada. Akulah salah satu buktinya.

“Bagaimana mereka menyebut kita di sana?”

“Alien.”

“Alien?”

Mata bulat mereka semua membesar hampir menutupi seperempat bagian wajah. Aku menyeka keringat, itu sangat mirip seperti kacamata yang dikenakan pemuda berambut keriting itu.

Soal Alien, jangan tanya dari mana aku mengetahuinya. Aku mengintip salah seorang manusia yang sedang menonton acara di sebuah benda tipis berbentuk persegi panjang selebar 4 inci. Di sana makhluk yang berasal dari luar Bumi disebut Alien.

“Apa itu Alien?”

“Aku tidak tahu, bisa jadi itu artinya tampan—”

“Benarkah? Benarkah?” Lagi-lagi mereka saling bersahut-sahutan, hanya kali ini wajah mereka nampak semringah.

“Atau mungkin sebaliknya,” aku melanjutkan ucapan yang sempat terpotong tadi.

“Ah …,” sahut mereka serempak. Wajah-wajah semringah itu langsung tertekuk seketika.

Entah apa arti Alien yang sebenarnya, tapi setelah mengirim pesan dari ruang komputer, aku mencoba untuk mencari tahu tentang Alien dari internet. Keterlauan memang! Tapi tidak dapat kumungkiri kalau para manusia menggambarkan makhluk-makhluk dari luar Bumi itu memiliki wajah buruk rupa, berlendir, dan jorok. Ada yang bertubuh tinggi-besar, ada pula yang sangat aneh dan bertangan banyak. Padahal kami, para penghuni F12U8 semuanya berwajah tampan dan cantik. Dengan tubuh setinggi 100 sentimenter berwarna kuning kehijauan, mata bulat yang berdiameter 6 sentimeter yang akan bertambah besar jika sedang terkejut, terpesona, atau tertawa. Gigi-gigi kami juga rapi, bahkan janggut para tetua yang berusia 1000 tahun masih berwarna hitam. Para wanitanya pun semua bertubuh ramping, pipi-pipi mereka tembam dan menggemaskan. Ah, rasanya aku ingin segera pulang saja agar bisa bertemu istriku.

Baru saja aku hendak kembali ke kamar setelah melihat para prajurit sibuk. Mereka mencari cermin yang ada di dalam UFO guna memastikan kalau ketampanan mereka tetap terjaga. Tiba-tiba Reba memegang baju belakangku. Menarik-nariknya pelan.

“Kenapa kita tidak jadi pindah ke Bumi?” tanyanya.

Aku berjongkok sedikit, memegang bahunya yang kecil. Reba baru berusia 25 tahun, berbeda dengan Bumi, di F12U8 usia seperti Reba bisa dibilang masih anak-anak, mereka harus belajar banyak agar bisa mengetahui tentang segala hal yang ada di semesta.

“Di sana berbahaya.”

“Kita punya senjata-senjata hebat di F12U8, jika perlu kita akan membawa semuanya untuk menyerang Bumi.”

Reba tidak mengerti seperti apa manusia. Aku sudah memerhatikan pemuda berambut keriting yang mengenakan kacamata besar itu. Aku kembali melihatnya saat berkeliling setelah menyadap komputer. Ia juga berada di ruangan di mana suara teriakan minta tolong terdengar jelas olehku. Ia dan orang-orang sebayanya mengeluarkan sesuatu dari dalam kotak. Isi kotak itu adalah katak, spesies makhluk Bumi yang bisa dibilang lima puluh persen serupa dengan kami.

“Apa yang mereka lakukan pada makhluk itu?”

“Mereka mengambil benda tajam, lalu memotong perutnya,” sahutku sambil menatap lurus.

Anak berusia 25 tahun itu langsung memelukku. “Ayo kita pulang saja.”

“Kau tidak yakin bisa menguasai Bumi?”

“Aku yakin, tapi setelah aku cukup besar nanti.”

“Kenapa kalau sekarang?”

“Aku hanya tidak yakin dengan mereka,” sahutnya sambil memerhatikan beberapa penghuni UFO ini.

Memang benar apa yang dikatakannya. Dengan standar otak seperti mereka semua tentu akan sangat sulit menaklukan Bumi. Mereka cukup hebat dalam merakit senjata, alat transportasi, dan alat-alat hebat lainnya, tapi tidak dengan berperang. Mereka tidak tahu apa pun. Itulah sebabnya mereka sangat lamban menyerap pesan yang kuberikan. Untung saja aku tidak tertangkap oleh pria berkacamata itu atau wanita tua yang galak. Jika saja salah satu dari mereka atau manusia lain ada yang melihat terlebih menangkapku, mungkin aku akan bernasib sama seperti katak tadi.

Di F12U8 semuanya berjalan sesuai peraturan yang telah ditetapkan. Tidak ada peperangan atau kasus serupa. Kami berencana mencari planet lain hanya karena sistem tata surya sudah tidak aman di sekitar planet kami. Batu-batu meteor itu bisa saja sewaktu-waktu menghantam F12U8 yang berukuran tidak besar dan menyebabkan kerusakan fatal. Dan besok, setelah kami mempunyai perhitungan yang lebih matang juga kesiapan berperang, maka kami akan kembali ke Bumi untuk melakukan penyerangan. Merebut planet tersebut dan menjadikannya tempat tinggal kami. (*)

 

Lily Rosella, gadis berdarah Sunda – Betawi yang kerap disapa Lily ini lahir dan besar di Jakarta. Penyuka dongeng dan cerita bergenre fantasi. Ia juga menyukai warna-warna pastel.
FB: Aila Calestyn Lily Rosella
Email: Lyaakina@gmail.com

Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita