The Blue Eyes Man Episode 9: END
Oleh: Reza Agustin
“Apa ada hal yang mengganggu Anda, Nona?” Pria itu lagi-lagi menarik perhatian Lily dari lamunannya.
Lily mendongak, mendapati pria berparas rupawan itu menaikkan sebelah alis. Mata hijaunya menyiratkan kekhawatiran.
“Ah, maaf. Saya hanya melamun. Belakangan ini saya hanya merasa aneh, seperti ada sesuatu yang …,” Lily menjeda sejenak ucapannya, lantas menggosok bagian belakang leher, “kurang. Rasanya ada sesuatu yang hilang dan saya tak tahu itu apa.”
“Ya, mungkin Anda hanya kelelahan. Oh, iya, berapa harga bunga itu?” Pria itu menunjuk buket bunga dalam dekapan Lily. Barangkali mengingatkan gadis tersebut bahwa transaksi antara mereka belum terjadi.
“Ah, maaf.” Lagi-lagi kata “maaf” meluncur dari bibir Lily spontan. Setelah menyebutkan nominal uang, pria tersebut mengeluarkan dompet. Meninggalkan sejumlah uang yang disebutkan Lily di atas meja.
“Bisa tuliskan ucapan di kartu namanya? Tulisanku benar-benar seperti tulisan dokter,” pinta pria itu sambil tersenyum lebar.
Lily menyanggupi permintaan pria itu. Ia mengeluarkan selembar kartu dan menggenggam bolpoin, bersiap menulis. Sedangkan pria itu akan mendikte kata-kata yang akan dituangkan di atas kartu.
“Selamat untuk kelahiran putra kalian, dari Jan. Untuk Roe dan Aurora.”
Nyatanya Lily tak kunjung menuliskan nama terakhir. Nama itu seakan membekukan dunianya. Butuh beberapa saat hingga ia tersadar, mengucapkan maaf lagi sebelum mengulurkan kartu ucapan itu. Untuk ke sekian kalinya dalam hari itu, dunianya terasa kosong. Sambil menatap punggung pria yang menghilang di balik pintu, ia mencoba mengingat-ingat. Namun, sepertinya tak ada bekas yang tersisa. Tentang nama itu, Roe.
***
“Kita harus lekas pergi, Pangeran. Anda tak ingin melewatkan perayaan kelahiran putra Anda, bukan?” Jan meletakkan buket bunganya di atas bangku taman. Ia tak melirik lawan bicaranya.
“Aku hanya ingin melihatnya untuk terakhir kali. Bisakah beri aku waktu lebih lama. Lagi pula ia juga tak mengenaliku nantinya,” balas Roe dengan desisan.
“Berjanjilah bahwa ini benar-benar menjadi kali terakhir, Pangeran,” pungkas Jan. Pria itu meninggalkan bangku. Menatap sejenak pada buket bunga tersebut, lantas berjalan menembus gelapnya hutan.
Raja Cloe telah kembali menguasai kerajaan. Kesehatannya telah sepenuhnya kembali. Kembalinya sang raja karena mengorbankan nyawa Lily. Nyawa dibayar oleh nyawa. Harusnya satu raga kini tak bernyawa lagi. Lily seharusnya tak berdiri di balik meja konter. Seharusnya begitu.
“Roe, dia telah berkorban untuk kita, kerajaan kita dan rakyat kita. Dia akan mendapatkan tempat terhormat di hati rakyat kita. Ia adalah pahlawan, Nak.” Ratu Violina mengusap bahu Roe pelan, mencoba mengurai kesedihan putranya karena sang gadis pujaan. Gadis pujaan yang tubuhnya telah memucat, tak memiliki kehangatan lagi. Kendati Roe memenjarakan tubuh Lily dalam dekapannya.
“Lihatlah keluar, Nak. Di medan perang. Ayahmu telah berhasil memukul mundur pasukan Yosdas.” Ratu Violina kembali mencoba menarik atensi putranya. Namun, gagal.
Nyatanya mayat Lily dalam dekapan Roe telah merenggut seluruh atensi pria bermata biru tersebut. Seluruh hidupnya telah direnggut.
“Violina,” panggil Raja Cloe yang baru saja kembali dari peperangan.
“Iya, Baginda,” balas Ratu Violina sembari menundukkan kepala.
“Biar aku saja, aku yang telah bertanggung jawab merenggut nyawa gadis muda tersebut.” Raja mendekati Roe yang bersimpuh di lantai. Ia melihat putranya mendekap tubuh Lily yang pucat di atas pangkuan.
“Ayah tahu bagaimana cara mengembalikan dirinya lagi, Roe.”
Ratu Violina tercekat saat melihat bagaimana mudahnya Raja Cloe menarik perhatian Roe. Bahkan tepat setelah Raja Cloe mengatupkan bibirnya, Roe segera berbalik menatap ayahnya.
“Aku akan melakukan segalanya untuk membawa Lily kembali,” ujar Roe mantap.
Raja Cloe menarik napasnya berat. Ketika putranya telah berkehendak, tak ada lagi yang mampu menghentikannya. Bahkan jika itu menyangkut nyawa Roe sendiri.
“Nyawa ditukar dengan nyawa, Roe. Tukarlah nyawa wujud manusiamu untuknya, maka ia kembali hidup. Namun, ada dua risiko yang harus kalian berdua tanggung. Satu, kau tak akan bisa berubah ke wujud ini lagi anakku, selamanya kau akan menjadi ular. Lalu risiko kedua, ia mungkin melupakanmu, pemilik nyawa baru yang telah memberikan nyawa kepada dirinya.”
Roe membisu, rahangnya mengeras mendengar satu-satunya cara. Bahkan jika Lily kembali, gadis itu mungkin tak akan mengingat Roe lagi. Namun, dunia tanpa Lily. Mungkin dunia paling menyedihkan yang akan Roe tempati.
“Lakukan saja, Ayah. Tukarkan nyawaku padanya. Lalu, hapuslah seluruh ingatannya tentang semua ini. Bahkan aku, Jan, Ken, kerajaan, dan semuanya.”
Raja Cloe mengangguk dengan berat hati. Ratu Violina menangis hingga terjatuh ke lantai. Semuanya akan dimulai kembali setelah ini.
“Aku bahagia kau bisa hidup dengan bahagia sekarang, Lily.” Roe mengintip dari sela-sela bunga. Dengan tubuhnya yang sekarang, ia bisa menyelip di mana pun. Sebuah sisi positif ketika ia mencoba menyembunyikan diri dari Aurora.
Kekalahan Raja Yosdas juga dimanfaatkan Raja Cloe untuk merebut Aurora. Aurora yang sejak dulu tergila-gila pada Roe, mungkin tak keberatan jika dipaksa melahirkan keturunan ras ular penguasa. Mengingat Roe sudah tak memiliki ketertarikan untuk menikah dan tak ada lagi yang bersedia menikahi sosok ular yang sesungguhnya. Beruntung sekali Aurora masih dapat dimanfaatkan untuk itu.
“Ah, aku harusnya kembali. Sebelum penyihir itu tahu aku berada di sini.” Roe menjatuhkan diri ke tanah, menelusup ke rumput. Lantas benar-benar meninggalkan tempat tersebut, untuk yang terakhir kalinya.
“Selamat tinggal, Lily.”
Tanpa Roe ketahui, Lily menangis menggumamkan namanya. Walaupun Lily tak tahu siapa pemilik nama tersebut.
END
Reza Agustin, lahir dan besar di Wonogiri sejak 20 Agustus 1997. Kunjungi Facebook dengan nama yang sama, Instagram: @Reza_minnie, dan Wattpad: @reza_summ08.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata