The Blue Eyes Man (Episode 5)
Oleh: Eda Erfauzan
Tatapan Roe jauh menembus kegelapan, tak ada lagi yang tampak setelah pendar-pendar lampu padam. Ia membalikkan badan, berdiri membelakangi jendela. Ada keharuman bunga lili samar tercium.
Sosok yang terbaring di depannya masih menampakkan aura perkasa dan keagungan seorang raja. Roe berjalan ke arah pembaringan, duduk di sisi sang raja, menggenggam tangannya, dan mendekapnya ke dada.
Ayah, sosok yang dikagumi Roe. Laki-laki kebanggaannya. Laki-laki yang memahami betapa Roe tak pernah merasa nyaman dengan posisinya. Yang mengerti jika putra kesayangannya membenci apa yang harus dijalaninya. Terlahir sebagai pewarisnya, putra mahkota Raja Cloe, penguasa Kerajaan Vasquamatra. Sang Pangeran merasa dibebani begitu banyak kewajiban yang membelenggu keinginan-keinginannya. Terpaksa menjalani tradisi ratusan tahun yang bertentangan dengan kehendaknya sempat membuat Roe menjadi pemberontak keluarga, bertualang menyalurkan rasa ingin tahu dan energi mudanya. Hingga sang ibu berhasil menarik Roe kembali, lalu gadis itu, takdirnya yang lain berhasil memaksanya pulang.
Masih jelas dalam ingatan, kemarahan nenek Lily padanya. Bukan, bukan seorang perempuan tua berkacamata dengan rambut tergelung rapi yang dilihatnya saat mengantar Lily, tetapi perempuan berkulit seputih kelopak bunga dan rambut sewarna platina.
“Bukan untuk kau bunuh, aku menjaganya!” geram perempuan itu.
Roe tahu dan paham. Kemarahan itu makin membuatnya terpuruk dalam rasa sesal dan sedih yang nyaris melemahkan.
“Teruslah menjaganya,” hanya itu yang bisa Roe katakan.
Jauh, sejak ratusan tahun silam dunia kering selalu jadi rebutan karena itulah simbol kekuasaan sesungguhnya. Dunia, di mana semua mahluk bisa hidup di atasnya. Bukan kering yang gersang dan tandus. Dunia yang terjaga oleh beberapa kekuatan untuk menjadikan semesta seimbang.
Vasquamatra dan Armarili di antaranya. Dua kerajaan penjaga yang akan disatukan, jika terlahir anak laki-laki bermata biru dari garis keturunan Vasquamatra dan anak perempuan yang kelahirannya ditandai kemunculan bunga lili putih berputik biru dengan tepi kelopak bunga juga berwarna biru. Itu perjodohan, takdir Roe dan Lily. Seharusnya.
Tetapi garis perjalanan nasib berbelok tajam ketika ambisi seorang raja dari negeri kegelapan memperdaya Raja Cloe. Ketika kelicikan menelikung kebenaran, kecurangan menjegal kejujuran. Ketakutan akan bersatunya dua kekuatan memunculkan nafsu berkuasa tanpa batas Raja Yosdas. Roe tak pernah mengerti bagaimana ayahnya bisa teperdaya hingga membatalkan perjanjian ratusan tahun dengan penguasa Armarilis, menggantikan Lily dengan Aurora.
Keputusan yang nyaris memicu perang antara Vasquamatra dan Armarilis. Saat Raja Cloe menyadari kekeliruannya dan berbalik, racun bunga yang ditaburkan anak buah Raja Yosdas telah memasuki tubuhnya, mengalir dalam darahnya. Hanya Lily yang bisa mengembalikan kehidupannya.
Harum bunga lili kembali menguar, kali ini terasa lebih kuat. Roe mencium tangan ayahnya, tatapannya terpaku pada sekuntum lili putih dengan putik bunga dan tepi kelopaknya berwarna biru. Bunga itu diletakkan di atas kain sutra biru lembut dalam sebuah kotak kaca.
Roe merasa hatinya sakit, matanya terasa panas. Sebagian kelopak bunga itu telah berwarna cokelat, tiga, oh, dua kelopak masih berwarna putih pucat dan satu kelopak sudah menguning. Warna putih pada bunga adalah pertanda waktu untuk kesembuhan sang raja, sementara warna cokelat adalah waktu yang terlewat.
“Tak adakah cara lain selain membunuhnya, Ayah? Tak bisakah kalian berdua hidup?”
Tanya itu terus bergema mengikuti langkah Roe yang meninggalkan kamar ayahnya dengan mata basah dan dua tangan terkepal. Ia sudah membuat keputusan.
***
Aurora mengamati gadis yang tengah merangkai bunga itu dari kejauhan. Sesekali terlihat ia meninggalkan meja untuk mengambil sesuatu atau melayani pembeli yang datang. Telah beberapa hari ia mendekati Lily, menyamar menjadi apa pun: seorang nenek, seorang gadis, anak-anak bahkan sosok pemuda untuk membeli bunga sekaligus mencari cara untuk menyakiti gadis itu. Dalam penyamarannya sangat mudah bagi Aurora mendapatkan simpati Lily. Gadis bodoh, dia pikir semua orang sebaik dirinya? itu gumam Aurora saat berusaha menusukkan sesuatu pada Lily ketika gadis itu menyerahkan bunga yang dibelinya. Tetapi Aurora terkejut ketika benda itu berbalik ke arahnya, begitu halus. Nyaris ia terluka oleh senjatanya sendiri.
Berada di dekat Lily membuat Aurora sadar ada begitu banyak penjaga tak kasatmata di sekitarnya. Hal itu membuat ia kian geram. Roe dan dua sepupunya tak terlihat beberapa hari ini, mereka pasti sibuk memadamkan pemberontakan dan kekacauan yang ditimbulkan anak buah ayahnya. Juga meracik ekstrak aneka bunga lili untuk memperpanjang hidup sang raja.
Ada banyak cara untuk mencapai tujuan. Jika tak bisa menggunakan kekuatan, gunakan otakmu dan jangan gunakan hatimu. Itu kata-kata ayahnya. Aurora mulai memikirkan itu sejak Jan dan Ken menyerangnya ketika ia berusaha menghilangkan sihir Roe.
Bukankah kata-kata ayahnya telah terbukti? Lihat saja bagaimana kekuasaannya semakin luas. Selalu ada cara untuk mencapai tujuan, abaikan yang lainnya. Ia tersenyum licik. Lily terlalu lembut. Hatinya terlalu baik dan ia terjaga selama ini. Sedikit muslihat tak akan membuatnya curiga. Ayo, Roe, akan kulihat seberapa besar kekuatanmu untuk bertahan jika kau kehilangan keduanya. Mata Aurora menyipit, senyum jahat terukir di bibirnya, dengan langkah pasti dia menghampiri Lily.
Bersambung ….
Eda Suhaedah/Eda Erfauzan, gemar membaca dan hingga kini masih menyukai dongeng-dongeng klasik dunia. Mulai menulis di buku harian sejak SMP dan masih terus belajar untuk menghasilkan karya yang baik.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata