The Blue Eyes Man (Episode 4)
Oleh: Evamuzy
Pendar cahaya dalam diri sang dewi
Mengalahkan isi alam semesta
Kabut hitam menelusup ke ulu hati
Terkungkung gelisah karena gejolak rasa cinta
Matilah jiwa Tuan, jika harus merela ….
***
“Apa kau akan membawa kita ke bukit yang tempo hari, Tuan?” tanya Lily dari boncengan sepedanya. Sementara sang pangeran rupawan sengaja mengayuh dengan pelan. Tak rela jika waktu berlalu cepat, kemudian harus berpisah dengan sang juwita.
“Kau menyukai tempat itu, Nona?” Roe menolehkan sedikit kepalanya, tersenyum manis di tengah tanya.
“Tentu. Itu tempat terindah yang pernah kutemui.”
“Kalau begitu, aku tak bisa menolak permintaanmu, Tuan Putri.” Yang dipanggil Tuan Putri justru tertawa kecil. Untungnya pria itu tengah membelakangi Lily. Kalau tidak, gadis berkulit putih itu akan kesulitan menyembunyikan pipinya yang berubah warna. Merona karena malu.
Burung-burung kecil yang pulang ke sarangnya di ranting-ranting pohon dan embusan angin sore yang sejuk, menemani perjalanan mereka. Tak jauh dari di tempat di mana dia mengubah rawa-rawa hitam menjadi sebuah pemandangan kota yang begitu indah di mata Lily, Roe menghentikan laju sepeda. Meminta Lily untuk menunggu sebentar saja.
“Satu menit. Hitungan keenam puluh, aku pastikan sudah berada di depanmu lagi, Nona.”
Lily menurut saja, apa pun yang dikatakan pria itu pasti akan ia turuti dengan senang. Ia tersenyum sambil menganggukkan kepala. Bahkan sebelum sempat mengangkat kepalanya kembali, sang pangeran sudah menghilang. Sementara di tempatnya, dengan sekali jentikan telunjuk Roe, pemandangan kota yang begitu indah dengan lampu-lampu yang menyala ibarat lilin-lilin kecil bahkan di hari yang belum gelap, tergelar di sepanjang mata memandang.
“Sudah hitungan ke berapa? Belum enam puluh, kan.”
“Astaga, Roe. Kau mengagetkanku. Bahkan aku tidak melihat kau berjalan kemari tadi.”
Lagi-lagi sang pangeran hanya tersenyum penuh pesona. Membuat gadis itu menatap curiga. Namun wajah tampan di depannya sungguh tak pernah berhasil membuatnya kesal. Lily memasang wajah cemberut yang dibuat-buat.
“Apa yang telah kau lakukan, Roe?” Gadis itu mengerut kening. Berpura-pura sebal atas satu menit yang bahkan belum penuh enam puluh hitungan itu.
“Ini.”
Setangkai bunga chamomile diberikan Roe kepada gadis yang terlihat ingin tertawa, tetapi ia tak berani melakukannya.
“Kau lucu. Setiap hari aku bertemu dengan banyak bunga di toko Bibi dan Paman. Dan kau memberikan satu tangkai bunga untukku. Kau lucu sekali, Tuan.”
Mendengar itu, Roe tak habis ide begitu saja. Tak menunggu lama, ia punya sesuatu yang lebih istimewa menurutnya.
“Baiklah. Tunggu sebentar.”
Bunga berkelopak putih kekuningan dengan tangkai kecil yang memanjang itu dibentuknya menyerupai sebuah cincin. Setelah memastikan ukurannya pas, sang pangeran meraih jemari tangan kiri Lily.
“Sini.”
Disematkannya cincin dari bunga chamomile yang semakin cantik di jari manis gadis itu. Roe berhasil membuatnya bersemu lagi bersama dengan ritme detak jantung yang menjadi kian cepat. Rona merah di pipi Lily pun tak luput dari mata sang pangeran yang kini tersenyum penuh kemenangan.
“Berlama-lama terlena dengan keromantisanku, kau akan lupa tujuan kita datang kemari, Nona. Ayo, sebelum hari gelap, kau harus sudah sampai di rumah.”
Mereka pun menuju puncak bukit yang menampakkan pemandangan indah hasil sihir tangan Roe. Untuk kedua kalinya, Lily dibuat takjub oleh keindahan yang sebetulnya bukan apa-apa di mata Roe itu. Hanya rawa-rawa berlumpur yang justru sangat menakutkan. Tempat di mana dia bersama rakyatnya tinggal di sebuah kerajaan ular.
“Roe, boleh aku bertanya sesuatu padamu?”
Lily memberanikan diri menatap pria di sampingnya. Roe membalikkan tubuhnya, bersandar di pagar pembatas. Membalas tatapan Lily.
“Apa itu?”
“Kenapa kalian, kau, Jan dan Ken memiliki warna bola mata yang berbeda-beda? Kau biru, Jan hijau dan Ken berwarna kuning sedikit cokelat. Aku jarang menemui orang-orang seperti kalian. Dan bukannya kalian itu sepupu. Kenapa kalian berbeda?”
“Karena aku seorang pangeran …,” jawab Roe masih dengan tatapan mata tak lepas dari wajah Lily. Entah kenapa dia berani menjawab itu. Mungkin karena terpesona atau atas gejolak rasa yang mendorongnya untuk berkata jujur.
“Apa, Roe?” tanya Lily cepat.
“Oh, bukan. Maksudku, kami setampan pangeran, kan, dengan warna bola mata yang berbeda. Semakin terlihat tampan dan menawan.” Tawa kecil Roe di ujung kalimatnya, sengaja untuk menutupi kebohongan yang dia buat.
“Aku masih penasaran kenapa matamu berwarna biru?” Tak puas dengan jawaban Roe, tatapan mata Lily semakin lekat pada si Mata Biru.
“Serupa warna bunga lili yang ada pada dirimu, Nona.” Sang pangeran membalas tatapan mata itu lagi, semakin larut, semakin dalam, semakin ingin dia mengucap semua tabir bahwa …. “Lupakan! Kita harus segera pulang. Aku tak ingin kau kedinginan lagi seperti kemarin.” Beruntung kesadaran buru-buru menghantamnya.
Saat berjalan menuju sepeda dengan menggenggam tangan Lily, tiba-tiba Roe mendengar suara seseorang memanggilnya dari sebuah tempat yang sangat jauh. Suara yang sangat dia kenal, sang Ibunda. Ratu Violina, wanita cantik penguasa kerajaan ular yang kini tengah larut menunggui sang suami yang tergolek tak berdaya.
Roe memejamkan mata, merasakan dirinya berada di kamar sang raja, di dekat mereka, dengan tangan masih tetap menggenggam jemari Lily.
“Ayah semakin lemah, Roe. Ibunda dengar kau sudah menemukan penawar sakit ayahmu. Apakah kau bisa pulang segera dan membawakannya?”
Wajahnya penuh harap, wanita yang kecantikannya abadi itu setia duduk di samping lelaki yang semakin pucat pasi, tubuhnya semakin lemah dan kurus karena sakit parah yang dideritanya tiga purnama ini. Menurut seorang tabib bangsa mereka, Raja Cloe hanya bisa disembuhkan dengan tujuh kelopak bunga lili yang pendarnya serupa warna bola mata keturunan satu-satunya mereka. Roe dan Lily, adalah bola mata biru dan tujuh kelopak bunga lili yang terdapat pada pusat tubuh gadis itu.
Genggam tangan Lily yang semakin mengerat, membuat Roe merasakan kecemasannya. Pria itu segera membuka mata, seketika kembali di tempatnya semula.
“Kau kenapa? Apa terjadi sesuatu?”
“Aku teringat ayahku. Dia sedang sakit keras dan membutuhkan penawar segera.”
“Apa aku bisa membantu?”
Penawarnya adalah dirimu, batin Roe berkata.
Belum hilang kegundahan hati Roe, baru beberapa hitungan langkah, tiba-tiba angin berembus sangat kencang, meniupkan pohon-pohon sekitar mereka, langit pun seketika gelap seolah-olah malam datang dengan cepat. Mengantarkan hawa takut, gelisah, dan dingin yang begitu kuat menelusup hingga ulu hati. Tak lama kemudian, terdengar suara perempuan tertawa nyaring sampai menusuk gendang telinga. Roe tahu siapa yang datang. Dia ….
“Aurora!”
Belum sempat Aurora menampakkan wujudnya, suara desis ular terdengar mendekat. Jan dan Ken tiba-tiba datang dari arah kanan mereka. Entah siapa, salah satu dari mereka berteriak.
“Roe, bawa Lily pergi dari sini!”
Bersambung ….
Evamuzy, gadis yang hobinya melihat pesawat terbang. Dia bahkan hafal jam-jam pesawat terbang di langit kotanya.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata