The Blue Eyes Man (Episode 3)
Oleh: Reza Agustin
Lily terheran. Ia tak pernah bertemu dengan perempuan itu. Perempuan yang rambutnya berwarna platina, panjang hingga menyapu tanah, dan—anehnya—berkilau. Ah, perempuan itu bahkan memunggungi Lily. Mungkin enggan menampakkan wajahnya.
“Maaf, saya mengenal Anda?” Lily mengulurkan tangan, hendak menyentuh pundak perempuan itu. Namun, perempuan itu tiba-tiba saja menahan tangan Lily. Kepalanya tertoleh perlahan. Tenggorokan Lily tercekat, ia seperti melihat refleksi wajahnya sendiri di cermin. Wajah perempuan itu, serupa dengan Lily.
“Kau tak apa?” Jentikan jemari Roe membawa kembali kesadaran Lily. Perempuan itu mengerjap, mendapati bahwa ia berada di belakang konter toko. Suasana toko lengang mendekati jam tutup. Cahaya senja merambat menembus gorden, menandakan hari hampir berakhir.
“Kau tertidur saat masih jam kerja? Wow, nyalimu besar juga,” canda Roe sambil mengetuk-ngetukkan telunjuknya di dagu.
“Aku tidak tertidur, aku hanya memejamkan mata sejenak lalu tiba-tiba saja aku seperti kehilangan kesadaran lalu ….” Lily tak melanjutkan kata-katanya. Terdengar seperti benar-benar mengakui bahwa ia baru saja tertidur. Lily berdeham, sudut matanya menangkap seringai jahil Roe.
“Kau mungkin butuh ini,” ujar Roe sambil mengulurkan gelas bergambar merek kopi ternama pada Lily.
Lily tersenyum kecut ketika mendapati namanya ditulis salah, Lilo. Segelas kopi yang masih berasap itu kini beralih ke tangan Lily setelah mengucap terima kasih.
“Aku tak datang ke sini hanya untuk memberikanmu kopi. Mungkin kau tak keberatan jika aku menemanimu kembali ke rumah?” Roe menyandarkan kedua sikunya di atas meja konter. Sebelah alisnya terangkat menggoda.
“Paman dan Bibi Alvin mungkin tak suka jika kau mendekatiku dengan cara seperti ini, Tuan. Ini masih jam kerja.” Lily menarik tubuhnya menjauh, segan dengan perhatian sang pria.
“Aku sudah dapat izin dari mereka. Justru aku belum dapat izin darimu. Mereka saja sudah memberikan aku restu untuk mengantarmu pulang, masa kau sendiri tak mau diantar pulang pria setampan diriku.” Roe mengusap rambutnya yang panjang ke belakang, seakan memberikan kesan menggoda.
Lily bergeming, matanya mengerjap beberapa kali. Pipinya menghangat, beruntung sekali cahaya senja dapat menyamarkan pipinya yang merona.
“Sudahlah, Anak Muda, bawa saja Lily pulang sekarang. Anak itu dari tadi mengantuk. Mungkin ia benar-benar butuh tidur.” Paman Alvin memasuki toko dengan membawa seember besar bunga potong untuk dibawa ke lemari pendingin.
“Itu benar, Nak. Ajak saja Lily kami jalan-jalan sebentar, kasihan dia tak punya teman.” Bibi Alvin ikut menimpali, seakan tak memedulikan lirikan tegas Lily.
“Lihat, mereka malah mengompori agar kita pergi. Sepertinya kau sudah tak ada pilihan lain, Nona.” Roe memasang senyum kemenangan. Kedua tangan dilipat di depan dada, bangga.
Lily mengangguk pelan. Dalam hati ia tentu saja senang, tetapi tak ada salahnya dengan sedikit jual mahal bukan? Jemari Lily bertautan di atas pangkuan sementara Roe mengayuh sepeda Lily pelan. Ada beberapa kali Lily menarik ujung kemeja Roe saat jalan menanjak atau beberapa goncangan kecil.
Pria itu tak lelah menggoda Lily agar memeluk pinggangnya jikalau datang benturan keras lagi. “Hei, sebentar lagi kita sampai. Jangan tegang seperti itu. Aku bukannya ingin menculikmu,” ujar Roe dilengkapi dengan seringai jahil.
Perjalanan mereka berakhir di puncak bukit. Di mana pemandangan seluruh kota dapat terlihat dengan jelas. Lily turun pertama kali, bahkan sebelum Roe turun dari sepeda. Mata perempuan itu melebar, seakan mendapat hadiah boneka beruang besar.
“Aku baru tahu ada tempat seperti ini di kota.” Lily menyandarkan kedua tangannya pada pagar pembatas. Embusan angin menerpa wajah, menerbangkan rambutnya pelan. Lily tak sadar dengan eksistensi Roe yang tengah berdiri di sampingnya. Tatapan pria itu menyimpan banyak rasa, bercampur, terlalu banyak hal yang membuat Roe mengunci bibir. Tentang tujuan kedatangannya, tentang Lily, tentang nasib ayahnya, dan semuanya.
Dalam mata Roe, dia bisa melihat sosok lain dalam diri Lily. Seorang dewi berambut platina, yang di dalam dadanya terdapat sebuah bunga lili biru yang berpendar. Sebuah obat mujarab yang harus Roe dapatkan, dengan begitu penyakit ayahnya dapat terangkat. Sehingga, kerajaannya dapat terselamatkan. Kerajaan yang tersembunyi di balik portal antara dunia basah dan dunia kering. Walau dengan begitu, ia juga mencabut inti kehidupan sang juwita. Nyawa Lily.
“Kenapa udaranya tiba-tiba menjadi dingin?” keluh Lily tiba-tiba, setelah itu ia bersin.
Roe tersadar, sihir yang ia pasang untuk menyamarkan sisi kerajaannya agar tak disadari oleh Lily rupanya melemah. Memasukkan Lily ke dalam teritorial terluar kerajaan yang sangat dingin bisa jadi hal bahaya. Roe yang memiliki darah penguasa ular dalam tubuhnya tak terpengaruh dengan suhu luar, tetapi Lily dalam bahaya jika terlalu lama berada di tempat ini. Ia bisa terkena hipotermia.
“Mungkin, kita harus kembali. Aku tak ingin kau mati kedinginan,” ujar Roe lantas menaiki sepeda Lily yang terparkir tak jauh dari mereka.
“Kalau aku mati, kau harus bertanggung jawab!” balas Lily sambil mengerucutkan bibir. Rupanya ia menganggap kata-kata Roe sebagai candaan. Walau sebenarnya kemungkinan Lily meninggal karena hipotermia bisa saja terjadi. Mengingat teritorial terluar kerajaannya bisa mencapai angka minus beberapa puluh derajat celsius.
Roe hanya tersenyum kecut. Setelah Lily duduk di bagian jok penumpang, Roe bergegas mengayuh sepeda sebelum sihirnya lenyap sepenuhnya. Ketika jarak mereka mulai jauh, barulah sihir Roe musnah. Tak ada bukit yang indah, tersisa rawa hitam yang ditutupi pepohonan mati.
“Kita sampai.” Roe mengulurkan sebelah tangannya agar Lily turun dengan nyaman.
“Terima kasih untuk kopi dan jalan-jalannya.”Lily tersenyum, menatap Roe lamat-lamat.
“Sama-sama, semoga aku bisa mengajakmu ke tempat yang lebih bagus lagi,” balas Roe lengkap dengan senyuman lebar.
“Ke mana pun asalkan denganmu, kupikir semua tempat menjadi bagus,” pungkas Lily.
Roe tersenyum lembut. Tangannya yang terbenam dalam saku celana kini terangkat, mengambil sejumput rambut Lily. Lantas menyelipkan sebuah jepit rambut berwarna ungu milik Lily tempo hari. “Jangan sampai hilang lagi. Sampai jumpa,” tandas Roe lantas melambaikan tangan.
Ia berjalan meninggalkan Lily yang masih terpaku di depan halaman rumah. Pria itu melintasi hutan, perasaannya mengatakan akan datangnya seseorang. Seseorang yang tidak Roe sukai.
“Manis sekali, Pangeran. Kupikir kalian memang serasi,” ujar sebuah suara mengintimidasi.
“Aurora,” desis Roe marah. “Kau yang membuat sihirku melemah bukan?”
Makhluk kecil yang terbang dengan sepasang sayap transparan itu terbang mendekat. Menyentuh pipi Roe dengan tangannya yang mungil.
“Jangan terlalu marah, Pangeran. Lihatlah sisikmu sampai keluar. Oh, matamu juga berubah menyerupai wujud aslimu. Kau tak ingin gadis pujaanmu melihat sosok menyeramkan ini, bukan?”
“Jangan pernah ganggu dia, atau aku akan membuatmu tak bisa melihat dunia lagi,” ancam Roe.
“Ah, Pangeran. Sayang sekali kau membuat ayahku murka dengan menolak perjodohan kita. Kalau saja kau bersedia menikah denganku, ayahmu bisa langsung sembuh dengan ramuan ajaib klan peri. Sehingga kau tak perlu bersusah-susah mendekati seorang gadis untuk dibunuh,” imbuh Aurora.
“Jangan membuatku benar-benar marah padamu, kau tahu seberapa kuat kekuatan dari kaumku. Kau bisa saja mati dalam satu kali pukul.”
Peri mungil itu tertawa, lantas hinggap di salah satu pohon. Menampakkan wujud manusianya. “Ah, kaum kalian memang kuat. Namun, hati kalian lemah. Kau bahkan tak berani mengambil bunga itu dari dalam tubuhnya. Kali ini masih mudah, tetapi akan jadi sulit nantinya. Terlebih lagi saat kau mulai jatuh cinta padanya, Pangeran.”
Aurora kembali lenyap, hilang. Namun kata-katanya membuat Roe kembali meragu. Tentang rasa yang mulai tumbuh di dalam hatinya dan masa depan kerajaan yang tiba-tiba melintas di kepala.
Bersambung ….
Reza Agustin, lahir dan besar di Wonogiri sejak 20 Agustus 1997. Kunjungi Facebook dengan nama yang sama, Instagram: @Reza_minnie, dan Wattpad: @reza_summ08.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata