Penulis: Mimi La Rose
Hanya tiga orang tetangga yang akan aku ceritakan, yaitu tetangga depan rumah, samping kiri rumah dan samping kanan rumah.
Kita mulai dari yang paling awal, yakni tetangga depan rumah. Mereka ini sangat menyebalkan. Mereka sering menjemur pakaian di sepanjang pagar rumah kami, padahal kami telah mengatakan kepada mereka supaya menjemur pakaian di tempat kami biasa menjemur. Namun, tetap saja bebal! Masih saja pagar kami dialihfungsikan sebagai jemuran dadakan. Kalau sudah begini aku akan menggerutu sendiri.
Pagar kan bukan tempat menjemur pakaian. Di mana estetikanya? Dan mengapa harus pagar kami?
Bayangkan, mereka tidak hanya menjemur pakaian, tetapi juga dalaman. Jadi, orang yang tidak tahu bisa saja berpikir itu punya kami. Hal ini akan membuat tetamu kami akan sungkan masuk ke dalam rumah kami, sungkan mampir. Tapi ya mau bagaimana? Mereka tetangga kami yang cukup baik, kami tak mungkin bermusuhan hanya karena hal itu. Terkadang mereka juga menyapu halaman kami.
Selanjutnya, tetangga samping kiri bedeng tiga pintu yang paling ujung itu. Astaga, kelakuannya norak sekali. Dari bedeng mereka sering terdengar suara teriakan, pintu dibanting dan yang paling sering, menyetel musik kencang-kencang. Mereka juga bisa dibilang panjang tangan karena suka mengambil buah-buahan di kebun belakang tanpa izin. Tapi, kami terlalu sungkan menegur mereka. Kami tak mau membuat mereka malu.
Suatu kali kami mendapati kebun kami nampak bersih, rumput-rumput tinggi terpangkas, dedauan gugur tersapu rapi begitu pula dengan sampah. Sembari menyeringai tak berdosa, mereka bilang bahwa merekalah yang membersihkannya.
Untuk apa?! Sebagai ucapan terima kasih katanya. Olala, harus bilang apa kami?
Kemudian, tetanggaku yang terakhir, yang paling tak sabar untuk kuceritakan. Rumahnya di samping rumah kami, tepat di seberang kamarku dan karenanya, aku—seringkali—bisa mendengar jelas apa-apa yang mereka cakapkan. Bukan maksud menguping, namun apa dayaku jika aku bisa mendengar percakapan mereka karena jarak rumah yang terlanjur dekat. Keluarga kecil ini beranggotakan sepasang suami istri dengan dua orang anak yang masih kecil-kecil. Satu lelaki dan satunya lagi perempuan.
Setiap pagi pasti akan terdengar suaminya menyenandungkan salawat nabi selepas salat subuh dan istrinya akan membangunkan anaknya dengan lemah lembut, bukan dengan teriakan atau gedoran pintu seperti yang kualami. Dan menjelang tengah malam, terkadang aku terbangun karena mendengar suara gemericik air ketika mereka mengambil wudu. Tak lama kemudian akan terdengar lantunan ayat suci dari rumah mereka. Suara yang membuatku merasa damai.
Beruntung sekali aku punya tetangga seperti mereka.
Apa pun adanya tetanggaku, kami akan selalu berusaha mengasihi mereka karena mereka adalah orang terdekat yang siap membantu kita setelah keluarga kita sendiri, meskipun terkadang mereka menyebalkan.
Jadi, saat berpikir bahwa mereka begitu menyebalkan, terlintas di benakku, barangkali sebagai tetangga, kami pun pernah dianggap menyebalkan bagi mereka.
Siapa tahu?(*)