Terpuruk

Terpuruk

Terpuruk
Oleh
: Ika Mulyani

Gelap sekali di sini, butiran debu mulai melapisi tubuhku. Seandainya aku memiliki hidung, pasti sudah bersin-bersin, seperti perempuan yang setiap malam membaringkan tubuhnya di dipan itu. Setiap kali menyapu kolong-kolong berdebu tanpa menggunakan penutup hidung, ia pasti akan bersin tiada henti, hingga pekerjaan itu selesai dilakukan.


Setiap kali perempuan itu usai menunaikan salat, ia akan meraih dan menggulirkan butiran-butiran tubuhku. Sementara itu, bibirnya melantunkan zikir yang menyejukkan hati. Bila sudah selesai, ia akan meletakkan diriku dengan hati-hati di samping Alquran. Setelahnya, giliran kitab suci itu yang ia raih. Suaranya saat membaca ayat-ayat suci, terdengar sangat indah dan merdu.

Bila malam tiba, si perempuan akan membawaku serta ke peraduannya. Saat ia membaringkan tubuh di dipan, kembali bibirnya melantunkan zikir, seraya tidak lupa menggulirkan butiran tubuhku. Terus begitu, hingga matanya terpejam, tangannya terkulai, dan aku terjatuh dari genggaman. Aku pun rebah di sisinya, hingga ia terbangun, tepat satu jam sebelum azan Subuh berkumandang.

Namun, sudah beberapa hari ini, si perempuan tidak lagi meraih aku dan Alquran di setiap selesai ia menunaikan salat. Alquran mulai mengeluh, ketika selapis demi selapis debu mulai merebahkan diri di permukaan tubuhnya, pun di tubuhku.

“Kau terlihat kotor dan kusam,” tukasku suatu hari, saat lapisan debu terlihat semakin tebal melapisi.

“Kau pun tidak berbeda,” sahutnya dengan nada sedih. “Ada apa dengan dia, ya?” tanya kitab suci itu seraya melayangkan pandangan pada si perempuan.

Ia tengah berbaring di tempat tidur, dengan masih berpakaian lengkap. Perempuan itu baru tiba di ruangan ini selepas azan Isya, dan langsung merebahkan diri.

Biasanya, ia tidur dengan mengenakan daster dan celana training lusuh. Biasanya, sebelum beranjak ke tempat tidur, wajahnya sudah basah oleh air wudu, dengan tubuhku dalam genggamannya. Akhir-akhir ini, semua yang biasa itu tidak pernah ada lagi.

Oh, ya, dipan kayu berkasur kapuk yang pernah kusebut sebelumnya, telah berganti dengan tempat tidur berkasur pegas yang lebar. Tempat ini menjadi terlihat sempit. Hanya tersisa sedikit ruang untuk tempat menggelar sajadah.

“Kau sangat beruntung. Manusia itu tidak melupakanmu,” kataku pada sajadah yang masih terhampar, sejak selesai salat Subuh tadi.

“Ah, tapi dia tidak pernah lagi berlama-lama mendudukiku. Salatnya tergesa, seperti diburu waktu. Langit sudah mulai terang waktu dia salat Subuh tadi. Bahkan, sekarang ini, sepertinya dia belum menunaikan salat Isya.”

Ya, beberapa pekan ini, perempuan itu baru masuk ke sini di malam hari, dan sepertinya dalam keadaan lelah. Ia selalu saja langsung jatuh tertidur, untuk kemudian terbangun di tengah malam. Selesai salat Isya, kembali ia tertidur. Bahkan tidak jarang, tubuhnya terlelap di atas sajadah, masih mengenakan mukena.


Hari-hari berlalu. Aku dan Alquran masih saja tergeletak berteman debu yang semakin tebal. Seekor laba-laba bahkan dengan berani mulai membangun sarang, dan merekatkan salah satu sudut jaringnya di tepi sang kitab suci.

Oh, aku sangat rindu akan merdu suaranya menggumamkan zikir dan melantunkan ayat suci!

Ruangan ini sepi sekali, hanya ada bunyi detak jarum jam dinding yang mengiringi keseharian kami, atau sesekali terdengar suara cecak di balik lemari.

Suatu hari, dua ekor cicak berkejaran di meja tempat aku dan banyak benda lain tinggal. Seru sekali tampaknya, dan–tanpa sengaja–salah satu dari hewan melata itu menyenggol tubuhku. Aku pun terjatuh tak berdaya. Tubuh ini meluncur hingga ke bawah lemari.

Di sinilah aku sekarang. Entah sampai kapan. Gelap dan dingin, berteman beronggok debu tebal yang menyesakkan.


Suara tangis membuat aku tersentak dari lamunan. Perempuan itu terdengar tersedu-sedu dengan pilu. Sepertinya ia sedang berduka.

Kudengar Alquran berseru pada sajadah, “Dia kenapa?”

Lama tidak terdengar jawaban. Mungkin ia sama bingungnya dengan kami.

Tiba-tiba, sebentuk tangan terlihat menggapai-gapai ke tempatku berada selama ini. Tak lama kemudian, tubuhku ditarik oleh tangan itu.

Akhirnya, bisa kutatap lagi wajah cantik perempuan itu. Ia tampak sangat kacau. Dengan mukena membungkus tubuh, mata sembap, dan air mata membasahi pipi, ia tersenyum padaku. Tangan lembut si perempuan lalu mengambil tisu basah dan mulai membersihkan debu dari tubuhku.

Ah, segar sekali rasanya tubuhku saat ini!

Seiring jemari menggulirkan butiran tubuhku, bibirnya menggumamkan zikir yang selalu kurindu itu. Sejuk, aku sungguh menikmati suara halus itu.

Tampak Alquran tersenyum. Tubuhnya pun sudah terbebas dari debu dan sarang laba-laba. Sebentar lagi, pasti lantunan ayat suci pasti akan kembali mengisi ruangan ini.

Salahkah bila aku berharap, agar kesedihan dari wajah perempuan tidak pernah pergi? Aku hanya tidak ingin disia-siakan lagi. (*)

Ika Mulyani, seorang ibu dua anak kelahiran kota Bogor, 44 tahun lalu, yang juga menjadi tenaga pengajar freelance di sebuah bimbel. Hobi membaca membuatnya mencoba untuk menulis, dengan harapan bisa berbagi sedikit ilmu dan memberi inspirasi.

Editor: Evamuzy

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata.

Leave a Reply