Terpinang Kopi
Hujan, secangkir kopi, dan secarik undangan masih menjadi teman setia perempuan muda berkaca mata minus. Ia duduk di teras rumah kontrakannya bersama seorang perempuan berusia senja yang baru saja memotong rambutnya yang putih menjadi lebih pendek dari sebelumnya. Kata perempuan berusia senja yang tak lain adalah ibu perempuan muda itu, bahwa ia benci rambut panjang. Itu membuatnya tak cantik lagi seperti dulu. Perempuan muda itu hanya terkekeh, setiap kali ibunya menggerutu soal rambut dan kecantikan.
“Tak apalah, Bu. Kau tetap ibuku yang paling cantik. Mana keriputnya?” ucap perempuan muda itu sambil menatap ibunya. Matanya memancarkan rasa cinta yang tak dapat ia sembunyikan lagi.
“Kau ini selalu saja berkata Ibu paling cantik. Kau tidak pakai kaca mata barangkali, sehingga melihat Ibu tak berkeriput,” jawab ibunya dengan wajah bersungut-sungut.
“Ah Ibu. Sudahlah. Lupakan saja soal cantik, Bu. Bagiku, kau perempuan tercantik. Dan, jangan berdebat denganku. Ibu lupa bahwa aku sarjana apa?” perempuan muda itu terus menggoda ibunya.
“Yah, Ibu tahu. Kau seorang sarjana yang suka berdebat,” jawab ibunya sedikit tersipu sebab dipuji terus oleh putrinya.
“Tapi ngomong-ngomong, itu surat apa?” Perempuan muda itu mengangkat sepucuk surat di tangannya. Ia meletakkannya lagi lalu menyeruput kopinya. Hujan semakin lebat.
“Surat dari yayasan, Bu. Aku diterima sebagai tenaga pengajar. Kontraknya hanya setahun,” jawab perempuan muda itu sembari memperbaiki posisi kaca matanya.
“Menjadi guru?”
“Bukan. Tenaga pengajar,” jelas perempuan itu. “Tapi apa bedanya dengan menjadi guru, yah?” gumamnya dalam hati.
“Yah, apa pun itu. Kau akan menjadi guru. Mengajar anak-anak orang, dan entah ditempatkan di mana.”
Ibunya telah tahu banyak tentang pekerjaan yang dilakukannya. Meski bukan seorang sarjana ataupun ibu-ibu terpelajar, ibunya adalah seorang perempuan hebat.
“Tenanglah, Bu. Di mana pun tempatnya, selagi masih bumi Allah, insya Allah aku akan tetap aman. Tetap bisa menghirup udara segar, tetap bisa beraktivitas. Lagi pula, aku juga biasa bepergian kan, Bu? Jadi, tenanglah.”
***
Hujan semakin deras mengguyur. Halaman depan rumah perempuan itu digenangi air. Guruh dan petir pun turut menemani jatuhnya air langit. Perempuan itu masih asyik dengan secangkir kopinya. Di tempat ini, perempuan itu menjadi semakin tergila-gila dengan kopi. Baginya, kafein dalam kopi adalah zat yang memiliki daya yang mampu menyerap kerinduan level dewa.
“Bu, lagi apo, Bu?” tanya seorang murid perempuan itu. Muridnya itu telah basah kuyup sejak sepuluh menit yang lalu di depannya. Juga telah mengulang pertanyaannya beberapa kali.
“Ah kau Leo. Sejak kapan kau di situ? Ayo masuk. Mau minum kopi bersama Ibu?” Yang bernama Leo tersenyum. Ia menggelengkan kepala, lalu berpamitan pergi. Rupanya ia kehujanan sambil menenteng beberapa butir telur dari warung. Telur itu lauk andalannya bersama keluarganya. Hampir tiap hari setelah lonceng berbunyi, Leo selalu mencuri-curi waktu untuk berrcerita soal menu telur yang sangat ia gemari. Tentu saja selain karena harganya murah.
Tanya Leo menyadarkan perempuan itu, bahwa kehadiran sepucuk surat di tengah hujan lebat dan secangkir kopi, hanya ilusi yang menghadirkan obrolan tentang kecantikan diakhiri percakapan kepergian. Percakapan yang genap berumur sepuluh bulan sejak pertama kali meninggalkan tanah kelahiran menuju tanah tempat sungai musi mengalir. Tanah yang kata orang-orang bersarang para pelaku kriminal. Pembegalan di mana-mana, dan tentu saja pembunuhan adalah hal biasa terjadi sebagai akhir dari pertikaian.
Kecuali kopi, yang memberi kabar berbeda dari kriminalitas. Kopi memang memberi ruang-ruang untuk dirinduinya kembali. Seperti perempuan itu yang membuka kembali sebuah ruang untuk merindui ibunya yang selalu saja ingin tampil cantik meski usianya laksana petang membayang. Juga sebuah ruang, di mana seorang laki-laki pernah melamarnya di depan ibu si laki-laki itu sendiri. Caranya berbeda dengan lelaki lain yang memberi sebuket bunga dan sepucuk surat cinta. Tidak juga melalui seorang ustaz ataupun mak comblang lainnya. Tidak pula si laki-laki itu memintanya menjadi pacar. Tetapi menjadi teman sejati. Teman hidup.
Laki-laki itu memberi secangkir kopi khas bumi Sriwijaya. Aromanya membuat perempuan itu segera ingin mencicipinya. Seteguk, dua teguk, hingga kopi itu tandas di dasar cangkir. Lelaki itu tersenyum, lalu tanpa basa-basi ia meminang perempuan itu. Memintanya menjadi perempuan Sumatera yang siap menemaninya dan menjadi menantu bagi ibunya.
Perempuan itu gelagapan. Hampir saja seluruh larutan kopi yang belum tandas di kerongkongannya ia keluarkan lagi ke dalam cangkir. Ia tak pernah menyangka laki-laki pendiam itu mengeluarkan kata-kata sakral. Di depan ibunya pula. Sebuah kalimat yang membuat perempuan itu menjadi terpinang. Bagi perempuan itu, lelaki itu teramat berani. Bahkan hanya dengan secangkir kopi, yang tanpa sengaja telah diteguknya.
“Maaf, tidakkah ini terlalu buru-buru? Bagaimana jika aku menolak pinanganmu?” perempuan itu menatap si lelaki yang terpaut lima tahun dari usianya.
“Bukankah maksud baik harus disegerakan? Jadi ini tidak terburu-buru,” jawab laki-laki itu. “Tapi tenang, mahar untukmu bukanlah secangkir kopi. Aku hanya menguji, apakah perempuan yang telah menetap di hatiku sejak pertama kali menginjak tanah Sumatera ini, adalah bersahabat dengan kopi? Dan aku sungguh senang ketika kopi itu kau habiskan. Itu pertanda, aku memang menemukanmu. Menemukan perempuan yang begitu terpikat dengan kopi, sebagaimana aku terpikat dengan kopi dan kau.” Lelaki itu mengambil tempat di sebelah perempuan itu.
Perempuan itu terdiam. Kata ibu lelaki itu, anak lelakinya tidak pernah merokok. Tidak juga punya pacar, dan tidak suka pacaran. Katanya lagi, anak laki-lakinya itu hanya ingin berkenalan paling lama dua bulan, dan setelah itu jika ia cocok, ia akan langsung meminangnya.
Dahulu, sebelum akhirnya perempuan itu memutuskan untuk menginjakkan kaki di Sumatera, ada seorang laki-laki yang pernah meminangnya lewat ibunya. Lelaki itu memang pria yang dicintai si perempuan. Tapi entah mengapa, lelaki itu lenyap tanpa kabar berita. Tanpa sebuah kata perpisahan. Tak lama kemudian ia kembali hadir dalam keseharian perempuan itu. Mereka menjadi kawan baik. Bagi si perempuan, lelaki yang dicintanya itu adalah senyumnya. Senyum yang tak pernah bisa ia lupakan, meski laki-laki itu tak ingin melanjutkan episode lamaran itu. Tapi anehnya, lelaki itu tak pernah merestui kepergiannya ke tanah Sumatera.
Perempuan itu akhirnya melepas perasaannya, bahkan untuk sebuah pertemanan. Ia membuang segala hal tentang laki-laki itu jauh-jauh, biar ia terbawa oleh Sungai Musi. Ia tak mau menjadi tertuduh. Menjadi perempuan yang begitu ingin merajut pertemanan. Tapi, jangankan berkawan, menjawab telepon si perempuan pun lelaki itu tak pernah. Bahkan untuk membalas sebuah pesan yang terus-terus dikirim dengan rintihan dan perihal meminta bantuan. Bukan soal rasa cintanya, tapi sepertinya hati laki-laki itu memang terbuat dari batu.
Sejak saat itu, perempuan itu sadar. Mengapa ia harus bersusah payah menyandingkan senyum dengan perkawanan? Kalau kawannya itu—yang pernah di hatinya—tidak ingin berkawan lagi, lalu mengapa ia masih harus mengabarinya? Menanyakan kabar dan mendoakannya? Bukankah tidak perlu?
Perempuan itu akhirnya dihadapkan lagi dengan cinta. Hal ini membuatnya terdiam lama. Sebuah kisah yang pernah ia lalui menjadi bayang-bayang. Kisah sederhana yang rumit. Bukan soal cintanya, tapi soal perkawanan yang tak ingin terajut lagi.
“Jika aku menjawab, kau berjanji melakukan sesuatu untukku?” kata perempuan itu akhirnya. Lelaki itu mengangguk mantap. “Aku ingin kita tetap berkomunikasi. Kita tetap berkawan apa pun jawabanku dan apa pun yang terjadi. Kau ataupun aku, akan tetap menjadi teman,” lanjut perempuan itu. Lagi, lelaki itu mengangguk.
“Aku belum bisa menerima pinanganmu. Aku terikat kontrak. Sebelum kontrakku selesai, aku tidak boleh menikah.”
Kau dan aku sepakat untuk tidak pacaran. Jika berkenalan yang kau maksud hanya memakan waktu paling lambat 2 bulan, sementara kontrakku lebih lama dari itu, maka aku takut hatiku tidak terjaga kalau kita tetap di posisi ini. Maafkan aku. Tapi soal kopi, aku pun suka. Tak ada alasan untuk tak menyukainya. Sama seperti tak ada alasan aku tak menyukaimu. Kau paham?” jelas perempuan itu panjang lebar.
Lelaki itu tersenyum tenang. Ia memang selalu tampak lebih tenang. Ia genggam tangan ibunya, yang lebih banyak diam, lalu mengangguk.
“Lain kali, aku akan tetap mengajakmu menikmati malam kota Palembang dengan secangkir kopi. Sekarang, mari kuantar kau pulang,” kata lelaki itu.
***
Hujan semakin menjadi. Ia membuat secangkir kopinya tandas tanpa sisa. Perempuan itu beringsut. Ia merapatkan jaketnya, lalu beranjak menutup ruang-ruang yang tadi ia rindui bayangnya. 10 bulan yang lalu saat ia berpamitan kepada ibunya, dan 6 bulan yang lalu saat pinangan itu ia tolak. Lelaki baik itu juga ia bebaskan untuk meminang perempuan lain, jika telah menemukannya. Tapi sudah seminggu terakhir, lelaki itu tak mengirim kabar. Mungkin ia telah menemukan bidadarinya. Atau mungkin, ia seperti kawan perempuan itu yang sebelumnya.
Kata ibu si lelaki, anaknya sedang ke luar kota. Entah ke mana. Sengaja dirahasiakan pada perempuan itu. Sebab, ibu si lelaki adalah tipikal ibu-ibu yang bisa menceritakan apa saja. Perempuan itu kecewa. Ia ingin berpamitan baik-baik, kontraknya tersisa dua bulan lagi. Tapi laki-laki yang—jujur ia akui—telah membuatnya jatuh cinta itu menghilang tanpa kabar. Perempuan itu harus bersiap merasakan hal yang sama untuk kedua kalinya.
“Baiklah,” perempuan itu bergumam. Ia menarik napas panjang. Ia kembali harus merelakan. Sebaiknya memang demikian. Karena itu, beberapa baris kata menutup ruang kerinduannya pada lelaki berdarah musi itu.
Untuk lelaki dan secangkir kopi
Terima kasih untuk pengakuan panjangmu 6 bulan yang lalu
Juga untuk pinanganmu
Lalu setelah itu kau menghilang
Tak apa,
Aku hanya ingin pamit
Juga memberitahumu
Bahwa bagiku Sungai Musi bermuara pada satu nama: Kau!
Bahwa tanah Palembang ini
Adalah segala cerita tentang Kau
Perempuan itu kembali menghela napas panjang. Ia ingin kembali ke tanah kelahirannya tanpa beban apa pun. Termasuk beban perasaannya yang akhirnya tak bisa lupa pada lelaki itu dan secangkir kopinya di tepian Sungai Musi bersama warna-warni lampu Jembatan Ampera.
Ia menarik gagang pintu, lalu menutup rapat. Di luar, angin sudah terlalu dingin membelai. Ia harus segera tidur sebelum handphone-nya berdering. Telepon dari seorang ibu berusia senja yang melulu bicara soal kecantikan.
“Halo, kau tidak salah memberi alamatkan, Nak? Ini ada seorang laki-laki, membawakan kopi asli Sumatera Selatan. Katanya untuk kau, dan katanya juga ia mengenalmu,” ucap ibu perempuan itu dari seberang.
“Kopi?” perempuan itu bertanya dalam hati. Seingatnya ia tidak memesan kopi dari mana pun untuk dikirim ke rumah orang tuanya. Kecuali memberi alamat lengkap orangtuanya seminggu yang lalu kepada lelaki yang pernah meminangnya dengan secangkir kopi.
“Orangnya mana, Bu? Namanya siapa?” tanya perempuan itu.
“Ibu lupa tanya namanya. Dia sedang berbicara serius dengan bapakmu.”(*)
Ikerniaty Sandili, perempuan asal Sulawesi yang jatuh cinta pada kopi dan menyukai hijau. Buku pertamanya berjudul di Ujung Desember (penerbit Yamiba, 2017). Ia bisa dihubungi melalui akun ig @ikerniatysandili, fb: Ikerniaty Sandili II.
Profil penulis: Ikerniaty
Grup FB KCLK
Halaman FB kami:
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita