Terperangkap
Oleh : Diah
Aku membaca sekali lagi pesan dari Caturangga. Sebaris kalimatnya itu seolah sihir yang mampu membuatku kehilangan cara mengalihkan pikiran darinya. Kalimatnya begitu manis dan membuatku berbunga-bunga. Caturangga, harus kuakui, bahwa dia adalah laki-laki paling pintar yang bisa membuatku tersanjung dan merasa sangat istimewa.
Hari ini saya sangat lelah, Mariana. Tapi hanya dengan mamandang foto-foto yang kamu kirimkan, rasanya lelah saya langsung menghilang.
Sudah dua menit yang lalu aku membacanya. Apakah Caturangga sedang menunggu balasan di sana? Atau Caturangga juga tengah mengirimkan pesan serupa kepada perempuan selain aku? Tidak, tidak. Aku begitu mengenal sosok Caturangga, dan dia bukan lelaki yang akan mendua. Dia begitu setia menunggu kepulanganku setiap satu bulan sekali. Wajahnya berbinar saat menjemputku di stasiun, lalu pelukannya begitu erat dan bisikan-bisikan kalimat manisnya selalu membuatku tersipu. Dia tidak punya gelagat sedang atau ingin berselingkuh.
Hati saya sudah telanjur terperangkap oleh hati kamu, Mariana.
Aku mengingat kalimat yang dia ucapkan di akhir bulan November tahun lalu. Caturangga mengucapkan dengan tatapan mata lembut dan tangannya menyentuh kedua pundakku. Aku membalas tatapan matanya, masuk ke lubang hitam matanya, melesat jauh ke intinya. Sebuah ruangan berdinding kaca yang setiap bagiannya menampilkan pantulan diriku. Caturangga benar-benar telah jatuh kepada Mariana. Jatuh yang dia definisikan sebagai terperangkap suatu gaya. Gaya itu serupa medan gravitasi yang menarik benda-benda bermassa di bumi. Hanya saja gaya yang memerangkapnya berpusat pada diriku.
Suara gaduh benda-benda jatuh membuatku cepat-cepat mengalihkan perhatian. Aku melepaskan ponsel dan berlari ke ruangan tempat datangnya suara itu. Empat buah garpu tala sudah berserakan di lantai. Tembaga kubus dan silinder, besi bulat seperti kelereng, dan—“Mariano!” Aku memekik terkejut, lalu segera menghampiri lelaki berjas laboratorium yang sedang tersuruk di lantai itu.
Tubuhnya dengan cekatan berdiri dan merapikan pakaiannya sendiri. “Tidak sengaja. Hanya kecelakaan kecil,” katanya begitu tenang. Aku menghela napas lega, lantas mengambil beberapa benda yang jatuh dan meletakkan di tempatnya.
“Kalau butuh bantuan, panggil aku. Kenapa ngeyel, sih!”
“Tidak sengaja.”
“Enggak sengaja pun bisa berakibat fatal!”
Tak ada lagi sahutan darinya. Mariano sudah lebih dulu keluar ruangan. Dia melepas jas lab-nya dan menggantung di lemari khusus. Dalam lemari itu tersimpan alat-alat pelindung diri Mariano yang dia simpan sejak mulai menjadi siswa SMA. Di sebelah lemarinya adalah lemariku yang ukurannya lebih kecil, isinya pun tak sebanyak milik Mariano.
“Aku ingin menjeda penelitian.”
Kalimatnya tentu saja menarik perhatianku secara sempurna. Aku mengulangi kalimatnya dengan tanda tanya.
“Iya. Sudah lama sekali tidak liburan. Kamu bilang juga ingin pulang.”
Aku memang mengatakan ingin pulang kepadanya. Biasanya dalam satu bulan aku hanya memiliki waktu paling banyak empat hari. Aku katakan pada Mariano bahwa aku ingin pulang sepuluh hari untuk mengunjungi teman-teman dan saudaraku. Waktu itu dia tidak mengatakan apa pun. Aku pikir dia akan menyetujui usul itu setelah rencana penelitian yang kami garap berdua selesai nanti.
“Berapa lama berhenti?”
“Satu bulan saja.”
“Satu bulan itu lama!”
“Kalau kamu mau memulai lebih dulu, aku tidak pernah melarang.”
Iya, benar. Jika aku ingin memulai lebih dulu Mariano tidak akan melarang. Dia tidak akan keberatan laboratorium miliknya kugunakan sendiri. Tapi masalahku bukan hanya itu.
“Kamu ingin pergi ke mana?”
Dia tidak segera menyahut, melainkan menatapku sejenak, lalu mendongak dan menatap langit-langit, lalu menghela napas, lalu menggeleng. Gelengan kepalanya membuatku mengernyit tak percaya. Sepuluh tahun kami saling mengenal, tak sekali pun Mariano kebingungan mengenai apa yang akan dia lakukan.
“Aku mau pergi ke mana saja.”
“Mariano, bilang kalau kamu punya masalah.”
Mariano menggeleng kecil. “Hanya penat.”
Mariano pernah mengatakan, ketika kami duduk di atas atap laboratorium saat menjelang tengah malam: Mariana adalah hidupnya. Sama seperti laboratorium beserta isinya, sama seperti lemari alat pelindung diri miliknya, sama seperti jurnal-jurnal yang sudah dia terbitkan, sama seperti pengalaman-pengalaman menjelajah dunia penelitian yang selama ini dia lakukan. Kami sudah tinggal bersama selama empat tahun, saling mengenal sepuluh tahun. Bagiku dia adalah pelengkap Mariana. Menurutku, kami begitu serasi. Mariana dan Mariano, entah bagaimana nama itu muncul dan mempertemukan kami berdua. Dia tidak banyak bicara, sementara aku lebih suka bicara mengenai apa saja. Kalimat paling manis yang pernah dia ucapkan adalah mengenai “Mariana adalah hidupnya”, tetapi aku selalu suka ketika dia memulai diskusi sains kami. Namun, meski sudah merasa kami begitu dekat, aku masih kesulitan menebak pikirannya.
Dia begitu berbeda dengan Caturangga yang suka berkata manis. Bagiku, baik Caturangga dan Mariano sama pentingnya. Mereka sama-sama melengkapi diriku di bagian yang berbeda. Caturangga menempati setengah hatiku, Mariano juga menempati setengahnya.
“Mau aku temani?”
Mariano menggeleng kecil. “Aku tidak pergi lama. Nanti akan lebih banyak di sini.”
Aku lega mendengarnya. Mariano yang tidak banyak bicara terkadang membuatku khawatir berlebihan. Dan tidak biasanya pula dia berencana menghentikan penelitian tiba-tiba. Begitu dia sudah memasuki kamarnya, aku segera masuk ke kamarku juga. Menyambar ponsel dan mengetikkan balasan pada Caturangga.
Aku akan pulang lebih lama nanti.
Caturangga terperangkap padaku, Mariano terperangkap padaku. Mereka terperangkap oleh gaya tarik luar biasa besar dalam diriku. Hanya pada Mariana. Dan aku terperangkap pada mereka berdua. Aku tidak bisa melepas salah satunya. Jika bagian kanan dan kiri jantung sama-sama penting, kanan dan kiri paru-paru sama-sama penting, ginjal kanan dan kiri juga penting, maka seperti itu pula pentingnya Mariano dan Caturangga. Bagaimana aku bisa menjalani kehidupan dengan normal jika kehilangan salah satu bagiannya? Mariano dan Caturangga tak bisa kulepaskan, salah satu atau keduanya.
*
Mariana telah kembali sejak pukul satu tadi. Aku yang mengantarnya ke stasiun. Aku tetap di sana sampai keretanya tak terlihat lagi. Entah kenapa dia lebih suka menggunakan kereta untuk pulang, padahal pesawat jauh lebih cepat. Tapi … biarlah. Barangkali seseorang yang menunggunya di sana memang begitu istimewa, atau mereka pernah memiliki kenangan manis di stasiun tujuan Mariana.
Mariana, rasanya begitu menyedihkan mengetahui fakta bahwa aku bukan satu-satunya. Padahal aku selalu menjadikanmu satu-satunya. Apa istimewanya seorang Caturangga di hidupmu? Dia hanya karyawan biasa. Dia tentu tidak bisa menemanimu begadang untuk menyelesaikan satu proyek penelitian. Dia juga tak bisa kamu ajak bertukar pikiran mengenai sains. Apa istimewanya seorang Caturangga sebenarnya?
Tidakkah cukup aku yang selalu bersamamu. Tidakkah sempurna impian kita untuk membangun laboratorium di tempat yang jauh dari jangkauan manusia sana? Membangun rumah dikelilingi kebun bunga dan rempah. Menghabiskan waktu di dalam laboratorium. Anak-anak yang akan mengganggu waktu penelitian kita. Apakah ada impian lain yang hanya bisa diwujudkan dengan Caturangga?
Andai kamu tahu, Mariana. Caturangga telah menyimpan kecewanya setahun terakhir ini. Dia memintaku juga melakukan hal yang sama. Dia biarkan kamu tinggal lebih lama bersamaku daripada bersamanya. Asal Mariana bahagia, begitu katanya. Itulah bentuk pembodohan atas nama cinta. Dia menjadi begitu dungu dan naif. Dia rela berbagi dirimu dengan lelaki lain yang juga kamu cintai. Sementara aku tak pernah rela milikku dibagi dengan yang lain. Namun cinta benar-benar membuat manusia menjadi dungu dan naif. Aku mengikuti Caturangga dan membiarkanmu bermain-main dengan perasaan kami.
Namun aku tak mampu bertahan lebih lama lagi. Aku sudah menyaksikan diriku yang hancur karena mencintaimu. Tapi sekali lagi cintaku tak setega itu untuk membiarkanmu ikut hancur juga. Terpaksa, karena kamu tak mau melepas aku atau Caturangga, maka aku yang akan melepaskan kamu. Aku titipkan kamu kepada Caturangga. Tolong jaga hidupku. Jangan biarkan Mariana bersedih terlalu lama. Segera rebut posisiku di hatinya. Segera buat hidup Mariana lebih sempurna. (*)
Lampung, 02 November 2020
Diah, pendiam yang tak suka didiamkan.
Editor : Fitri Fatimah