Teror Ketuk Pintu

Teror Ketuk Pintu

Teror Ketuk Pintu
Oleh : Elly Nurani

Hari mulai beranjak petang. Tidak seperti biasanya, suasana sepi mulai menyelimuti Desa Bangun Karya. Pintu-pintu rumah dan jendela mulai ditutup. Di depan beberapa rumah, bapak-bapak terlihat menyalakan obor yang dijadikan sebagai penerangan. Api yang menyala, sesekali bergerak mengikuti arah angin. Dari kejauhan, nampak sorot lampu motor menerangi jalan tanah bergelombang. Suaranya yang khas, memecah keheningan di sepanjang jalan desa itu. Si pengendara semakin menambah kecepatan saat gerimis terasa mulai turun membasahi jalanan. Sementara Nanik yang duduk diboncengan, semakin merapatkan jaket yang dikenakannya.

Melewati pertigaan, pengendara motor itu menghentikan laju kendaraannya. Nanik yang baru kembali dari kota, mengucapkan terima kasih setelah motor yang ditumpanginya berhenti di depan rumah orangtuanya.

Mengucap salam, Nanik menunggu pintu terbuka. Pandangannya menyapu jalanan di depan rumah, sepi. Gerimis yang tadi turun, mulai deras. Angin malam yang terasa dingin menyentuh kulit, membuatnya menggigil.

“Nanik, kok tumben datangnya malam, Nak?” tanya Bu Ratih setelah pintu terbuka.

“Iya, Bu. Tadi busnya sempat mogok di jalan,” jawab Nanik setelah mencium tangan ibunya.

“Ya sudah. Ayo, cepat masuk,” ajak Bu Ratih setelah menaruh lampu teplok yang sedari tadi dipegangnya.

“Iya, Bu,” jawab Nanik, sembari tangannya mengangkat ransel yang tadi diletakkannya di teras.

Nanik yang kelelahan, langsung pamit tidur setelah selesai makan. Beralaskan kasur kapuk, Nanik merebahkan tubuhnya. Kain jarik dijadikannya selimut untuk mengurangi rasa dingin. Dari belakang rumah, suara binatang malam terdengar, mengisi kesunyian.

***

Tok, tok, tok!

Suara ketukan di pintu terdengar berulang kali. Nanik yang terlelap, sontak terbangun. Didengarkannya baik-baik suara ketukan itu. Malam-malam gini, siapa yang mau bertamu, ya? batin Nanik.

Tok, tok, tok!

Kembali terdengar jelas suara orang mengetuk pintu. Dengan malas, Nanik beranjak dari kasur. Berjalan pelan, Nanik menuju pintu. Perlahan Nanik membuka knop pintu, dijulurkan kepalanya untuk melihat siapa yang mengetuk. Nihil, tidak ada siapa-siapa di teras rumah. Rasa takut mulai menghampiri Nanik, segera ditutupnya pintu.

***

Keesokan harinya.

“Bu, Nanik ke kamar dulu, ya. Capek banget ini.”

“Iya, istirahat aja duluan, Nik. Ibu masih mau ngobrol sama Bapak.”

Membawa lampu teplok sebagai penerangan, Nanik beranjak ke kamarnya.

Rasanya baru sebentar mata Nanik terpejam. Kembali terdengar suara pintu di ketuk seperti kemarin malam. Tetapi ketukan kali ini disertai dengan suara lirih seseorang.

“Tolong … tolong ….”

Mendengar suara orang meminta tolong, Nanik segera membangunkan orangtuanya.

“Bu, Pak, di depan ada yang ngetuk pintu minta tolong, Bu,” ucap Nanik setelah ibunya terbangun.

“Hah? Yang bener, Nik?” tanya Bu Ratih tidak percaya.

“Bener, Bu … coba Ibu denger. Ayo, kita ke depan, Bu.” ajak Nanik.

Benar saja, terdengar suara ketukan disertai suara seseorang minta tolong terdengar dari balik pintu.

“Tolong … tolong lepaskan tali di kepala saya,” lirih suara seorang perempuan terdengar.

Begitu mendengar perkataan orang di balik pintu, mereka bertiga saling bertatapan dengan mata membulat. Setelah sadar, segera mereka berlari masuk ke kamar, menarik selimut dan berusaha memejamkan mata kembali.

Pagi menjelang, Nanik yang sedang berbelanja di warung mendengar percakapan beberapa ibu-ibu. Mereka membahas mengenai teror ketuk pintu yang selama seminggu ini mengganggu malam-malam mereka. Mereka menghubungkan kejadian beberapa malam yang mereka alami dengan kematian seorang perempuan yang menempati rumah di ujung jalan. Karena semenjak perempuan itu dimakamkan, teror itu mulai terjadi.

Nanik yang mendengar cerita itu bergegas pulang setelah belanjaan pesanan ibunya didapat. Sesampainya di rumah, diceritakannya semua yang didengarnya di warung.

“Nanti Bapak coba minta pendapat Ustad Umar, sekalian Bapak ajak warga yang lain,” ujar Pak Bagus menanggapi cerita Nanik.

“Iya, Pak,” jawab Nanik sambil menyiapkan nasi untuk mereka sarapan.

***

Siang harinya, Pak Bagus beserta beberapa warga lainnya mendatangi Ustad Umar untuk meminta pendapat mengenai teror yang terjadi di desa mereka. Teror yang sudah mulai meresahkan warga. Setelah berdiskusi dan meminta izin pada keluarga yang bersangkutan untuk membongkar makam, Ustad Umar, Pak Bagus, dan warga mendatangi makam tempat perempuan itu dimakamkan.

Harum bunga kamboja tercium begitu langkah kaki memasuki komplek pemakaman. Di atas makam yang menjadi tujuan mereka, bunga-bunga yang ditaburkan terlihat sudah mengering. Beberapa laki-laki yang membawa cangkul, segera melaksanakan tugasnya membongkar makam. Benar saja, saat papan yang digunakan sebagai penutup jenazah dibuka, tali yang terikat di kepalanya belum dilepas. Ustad Umar yang melihat itu, segera turun dan melepas ikatan simpul kain itu. Lubang makam pun kembali ditimbun dengan tanah.

Semenjak tali pengikat di kepala jenazah itu dilepas, Desa Bangun Karya kembali tenang. Suara lirih minta tolong dan ketukan di pintu tidak lagi mendatangi pintu-pintu rumah mereka pada malam hari.[]

Elly ND, pemula yang sedang belajar merangkai kata

Editor : Uzwah Anna

Grub FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply