Terlambat
Oleh : Cahaya Fadillah
Butiran-butiran obat itu berjatuhan di lantai, di sampingnya Annisa terkulai lemah dengan busa yang mulai memenuhi mulut mungilnya. Matanya meneteskan air mata, seakan pasrah tapi tidak rela mati mendadak, ia masih saja mencoba meraih pintu, namun efek obat itu semakin kuat seakan perlahan membunuh semua sel dalam tubuh.
“Astagfirullah, Annisa!” teriakan Bu Siti histeris.
Suaminya datang berlarian ke kamar putri semata wayang mereka, mencoba menghubungi ambulans dan segera dilarikan ke rumah sakit. Beruntung nyawa Annisa masih bisa diselamatkan, namun butuh waktu agar kesadarannya kembali pulih.
Bu Syamsi kini menangis di depan tubuh Annisa, berusaha menahan suara agar tidak mengganggu istirahat anak satu-satunya. Sedangkan ayahnya, Bapak Zainal, terlihat gusar, ada rasa bersalah yang ia rasakan saat melihat kenekatan anak gadisnya. Annisa binti Muhammad Zainal mencoba bunuh diri hanya karena cinta yang tidak direstui orangtuanya.
***
“Maafkan aku, Liem. Aku dan kamu tidak akan pernah bisa menjadi kita,”ucap Annisa pada lelaki tinggi di depannya.
“Tapi, kamu mencintaiku kan, Sa?” tanya Liem menaruh harap lewat sorotan mata yang meminta jawaban secepatnya.
“Entahlah, aku tidak mengerti dengan hatiku sendiri. Terkadang aku mencintaimu lebih dari apa pun. Namun, di lain waktu aku takut mengkhianati Tuhanku.”
“Ya, aku tahu. Tapi kenapa hanya karena berbeda Tuhan kita harus dipisahkan, sedangkan kamu dan aku tahu kalau kita saling mencintai,” ujar Liem mulai tidak terkendali. Wajahnya sayu, matanya memerah, ada emosi yang tidak bisa ia luapkan, namun berusaha untuk ditahan.
Tangis Annisa jatuh, buru-buru ia hapus agar tidak menyulitkan untuk Liem melupakannya. Tuhan memang satu, namun mereka berbeda. Ada hal yang menjadi pagar pembatas untuk Annisa dan Liem karena sejatinya untuk bersatu bukan saja diperlukan sebuah cinta saja, persamaan tentu dibutuhkan apalagi masalah keyakinan.
“Akan kubuktikan suatu hari pada orangtuamu, kalau aku benar-benar mencintaimu, Sa,” ucap Liem menatap Annisa dengan air mata yang mengalir.
Kini giliran Annisa yang sulit menahan perasaannya sendiri, berharap pada janji Liem hanya akan membuat hatinya lebih sakit.
“Tidak perlu, mungkin kita memang tidak diciptakan untuk bersama. Merasakan saling mencintai saja buatku sudah cukup, Liem. Aku menyerah,” ujar Annisa dengan suara parau. Air matanya kini telah berhenti, tapi tidak dengan hatinya. Di dalam hati dentuman-dentuman sakit dan perih masih saja setia mengiringi detak jantung dan napasnya. Ia mundur beberapa langkah dan berkata, “Pergilah, Liem … begitu juga aku. Kita sama-sama pergi saja dari titik ini. Carilah cinta yang baru, aku juga akan begitu, agar sakit yang kita rasakan bisa menguap perlahan jika pengganti kita temukan.”
“Apa! Semudah itu melupakan perasaan? Mungkin kamu bisa, Sa. Tapi aku tidak. Maafkan, jika kamu ingin berlari dan meninggalkan titik ini, pergilah … aku akan coba menyepi di sini. Berdoa pada Tuhanku agar kamu menjadi milikku. Tunggu.” Kali ini Liem yang mundur beberapa langkah, ia menghapus air matanya perlahan, lalu pergi meninggalkan Annisa seorang diri.
Sejak saat itu, tidak lagi ada kabar tentang Liem, pemuda keturunan Tionghoa itu kini menghilang tanpa jejak. Tidak ada sosial media yang menyatakan keberadaannya, tidak ada nomor ataupun alamat yang bisa dihubungi dan didatangi oleh Annisa. Percintaan mereka yang sudah memasuki angka lima tahun berakhir begitu saja, tanpa aba-aba. Lalu, seperti kembali pada masa lalu di mana mereka belum saling kenal. Liem benar-benar menghilang.
Annisa yang berusaha keras melupakan Liem kini malah terbaring tidak berdaya di rumah sakit. Kali ini adalah hari ketujuh ia dirawat, dokter tidak mengetahui pasti penyakit Annisa, ia hanya divonis kehilangan cairan dan stres yang berlebihan. Annisa yang ceria dan cantik kini berubah menjadi Annisa yang pemurung, kurus tidak memiliki semangat hidup.
“Bangunlah, Nak,” ucap Bu Siti sambil mengusap dahi putri satu-satunya.
Air matanya sudah kering kini, Bu Siti pasrah dengan keadaan. Di dalam hati ia mempertanyakan cinta yang ditawarkan Tuhan kepada putrinya, mengapa bisa secinta itu pada pria yang berbeda keyakinan hingga menghabiskan seluruh daging yang menempel di tubuhnya juga mengambil semua semangat hidup yang dia punya.
Annisa terbangun, matanya berkedip beberapa kali, dilihatnya Ibu Siti—ibu kandungnya yang tidak dapat menahan haru karena anaknya sudah mulai sadar. Di sisi lain ayahnya menghapus air mata yang tidak bisa ia tahan.
“Maafkan Annisa, Bu, Ayah,” ucapnya parau.
“Sudah, jangan banyak bicara dulu,” ucap Bapak Zainal menenangkan putrinya.
“Iya, Nak. Kamu harus banyak istirahat,” ucap Bu Siti memeluk erat anakknya.
***
Hening. Ruang makan terasa lebih sepi dari biasanya, Ibu Siti maupun Bapak Zainal tidak lagi membahas hal yang telah lalu. Mereka sibuk menekuni santap malam di depan masing-masing. Kali ini Annisa yang angkat bicara.
“Bu, Ayah. Maafkan Annisa telah berlaku tidak baik, mungkin Tuhan memperingati Annisa dengan kejadian kemarin. Annisa mengaku salah, Bu, Ayah.” Ia menatap kedua orangtuanya silih berganti. Kemudian dengan penuh keyakinan ia kembali berkata,” Annisa terima lamaran Bang Ikhsan, Bu, Yah. Mungkin cintanya Nissa untuk Abang Liem, tapi Tuhan mungkin memberikan Annisa kesempatan untuk melupakan Abang Liem dengan adanya Bang Ikhsan yang seiman.”
Annisa menunduk setelah mengutarakan isi hatinya, Bapak Zainal dan Bu Siti bersyukur atas rahmat yang diberikan Allah untuk anaknya, melupakan Liem yang berdarah Tinghoa. Walaupun Liem orang yang baik, namun jika keyakinan sudah berbeda orangtua Annisa takut akan timbul masalah di kemudian harinya.
Pernikahan Annisa dan Ikhsan diselenggarakan penuh sukacita, tidak perlu perkenalan yang lama akhirnya mereka resmi menjadi suami-istri. Tamu undangan, keluarga dan para tetangga datang memeriahkan pernikahan sepasang manusia itu.
“Selamat atas pernikahanmu, Annisa,” ucap seorang lelaki yang bertahun-tahun mengisi hatinya, lalu hilang entah ke mana. Lelaki yang membuat Annisa lupa akan Tuhannya dan mencoba bunuh diri, buta karena cinta.
“Abang Liem!” Annisa kaget menatap Liem ada di depannya sekarang.
“Aku terlambat, maaf. Kepergianku dulu agar pantas untukmu, kini aku seorang muslim, katakan pada orangtuamu kalau janjiku sudah kutepati.” Liem pergi setelah mengatakan kata-kata itu. Kali ini benar-benar hilang ditelan bumi, tanpa kabar, tanpa berita. (*)
Cahaya Fadillah, lahir di Bukittinggi-Sumatra Barat tahun 1988. Seorang ibu rumah tangga keturunan Minang ini menyukai dunia menulis sejak kecil. Namanya sudah tercatat di beberapa antologi khususnya puisi, juga aktif di blog dengan nama pena yang berbeda. Ia berharap setiap karya yang dihasilkan dapat berbagi pelajaran untuk pembaca. Ingin mengenal penulis lebih dekat silakan di Facebook : Cahaya Fadillah, Instagram : @catatancahayafadillah atau Email : caahaayaa.faadillaah@gmail.com
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata