Suatu hari saya memutuskan untuk belajar mengamalkan pesan baik dari seorang teman, yang pertama adalah “tersenyum sajalah”, dan cobalah untuk belajar dari “sponge”. Saya pikir nasihatnya tidak buruk juga, dua-duanya mengajarkan kita untuk menerima apapun yang disajikan kehidupan dan belajar mensyukurinya, terlebih jika hal itu menyangkut kebaikan kita di masa depan.
Saat itu saya sedang menghadapi revisian tesis yang sebenarnya tidaklah banyak. Saya sadar benar jika ia dikerjakan, tidak akan memakan waktu seharian. Tetapi kenapa ia tidak kunjung selesai. Kenapa? Karena tidak ada waktu yang cukup untuk mengerjakan sesuatu yang tidak mau dikerjakan. Saat itu saya sungguh muak melihat tesis itu. Mengapa masa depan saya begitu bergantung dengan lembaran kertas yang saya saya sendiri meragukan manfaatnya. Tapi kemudian saya menyadari, kemuakan saya menunjukkan bahwa sebenarnya saya peduli. Saya rasa saya pernah begitu terobsesi padanya. Rasa muak itu lahir dari serentetan perasaan suka yang kemudian berkembang menjadi tuntutan. Dan ketika tuntutan itu tidak bisa terpenuhi, muncul rasa marah, lalu benci, lalu muak. Serupa dengan rasa muak kepada mantan kekasih terakhir yang tidak ingin kita temui lagi, tetapi bagaimanapun, masih saja pikiran kita terkenang dengannya.
Jika sedang kesal begini, saya akan mengetik kata apa pun yang saya pikirkan di Google dan membaca artikel apa saja yang muncul di lama pertama. Sering pula yang muncul adalah pesan bijak, dan entah mengapa, pesan bijak dari Google selalu terasa benar sementara nasihat dari teman selalu terasa salah.
Yang abadi adalah perubahan, begitulah bunyi salah satu pesan bijak yang muncul. Artinya, untuk menjadi dewasa, kita sebaiknya belajar menerima setiap perubahan yang terjadi. Mencoba mengerti.
Tentang mengerti, saya punya cerita sendiri. Sewaktu saya bekerja di sekolah, saya tak sengaja melihat ada rekan kerja yang memarahi siswa-siswa yang menurutnya kurang menghormati guru. Katanya, “Jika belum bisa dari hati, berpura-puralah dulu.” Saya mencoba mencerna kalimat itu dan menemukan beberapa hal yang bisa saya jadikan sebagai asumsi.
Pertama, “berpura-pura” berarti memaksakan diri untuk melakukan sesuatu. Membiasakan diri—dengan berpura-pura—melakukan hal baik. Seperti anjuran 21 hari sikat gigi malam dalam iklan Pepsodent yang katanya bisa menjadi awal kebiasaan baik. Rekan rekan kerja saya itu bisa dianggap sedang mendorong siswa untuk membiasakan diri menghormati yang lebih tua.
Yang kedua, “berpura-pura” bisa juga berarti berbohong. Bukankah kita tidak boleh berbohong? Tapi tunggu dulu, biar saya pikirkan lagi. Satu hal yang pasti, tidak ada satu pun manusia yang punya kemampuan—secara konkret—membaca hati seseorang. Kejujuran tentu saja baik, tetapi tidak selalu berdampak baik. Kebohongan itu buruk, tetapi tidak semua kebohongan berdampak buruk. Coba saja katakan, “Jerawatmu kok tambah banyak?” dengan orang yang sedang stres terhadap jerawatnya itu. Rekan kerja saya itu mengerti bahwa “merasa dihormati” itu baik bagi dirinya guru yang lain, dan hal itu akan berdampak langsung kepada siswa-siswa. Penghormatan itu baik, meskipun diawali dengan kepura-puraan.
Ya, kepura-puraan yang berakhir baik untuk semua. Pada saat itu, ia, saya dan guru yang lain, diakui atau tidak, dirasakan atau tidak, memang membutuhkan penghormatan. Semuanya kembali pada penggunaannya. Kejujuran dan kebohongan bisa sama-sama baik atau sama-sama buruk tergantung dosisnya, kepada siapa dan kapan diberikannya.
Dengan format yang sama, saya kira kalimat perintah untuk keresahan saya saat ini adalah begini: “Kerjakan, jika belum bisa dari hati, berpura-puralah dulu.”
Jika hanya menuruti insting yang tak selalu tepat waktu ini, maka dapat dipastikan saya akan menelantarkan tesis saya itu. Karena itu yang saya butuhkan saat itu adalah sedikit kebohongan. Saya akan berpura-pura bahwa tesis ini adalah sesuatu yang sangat penting, yang menentukan hidup dan matinya saya esok hari. Ya, meskipun cara itu bukanlah yang saya inginkan, tetapi itulah yang saya butuhkan, dan itulah yang penting.(*)
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan