Terhempas Elegi Takdir
Oleh: Zatil Mutie
Bunyi klakson dari deretan mobil yang berjejal seperti saling berlomba, menunjukkan siapa yang berbunyi paling nyaring. Sopir-sopir makin meluap kekesalannya menghadapi macet yang sudah tiga jam berlangsung.
Seseorang melambaikan tangan ke arahku. Napasnya tersengal setelah melewati deretan mobil yang berjajar di sepanjang jalan. Pemuda berwajah oriental itu kini tersenyum di hadapanku.
“Hei! Sorry …” Tangannya membentuk huruf V. “Maaf karena udah buat kamu nunggu lama,” serunya di antara bunyi klakson.
“Gak apa-apa kok, lagi pula di kota Ciawi macet itu udah jadi hal yang biasa.”
“Rima, kamu beneran mau nemenin aku?” Matanya yang sipit seperti Rain—aktor korea, memicing ke arahku.
“Ayo! Bentar lagi makin panas nih.”
“Oke, makasih ya, Ri ….”
Aku hanya mengangguk, tersenyum kepada Yusuf, seorang pemuda berwajah oriental itu.
Setelah agak lama menunggu, akhirnya kami duduk di sebuah bus. Hanya saja AC yang menyala full pun kali ini tak berhasil membuatku merasa nyaman. Bukan! Bukan karena terlalu gerah, tetapi karena jantungku mendadak berdegup kencang. Tenggorokanku mendadak kering saat tiba-tiba jemarinya menumpu di atas tanganku. Ada sebuah sensasi aneh yang mengalir begitu saja dalam diriku.
“Ri, kasian Kakak,” ucapnya bergetar, “seharusnya dia udah punya keluarga sekarang, tapi ….” Yusuf berhenti, ada keresahan yang membuncah di pelupuk matanya.
***
Lorong-lorong rumah sakit ini dipenuhi beberapa pengunjung, dan sebagian besar adalah penderita gangguan mental akut. Kami menyusuri lorong bercat putih. Hendak mengunjungi seseorang yang kini ada di hadapan kami.
Jika diperhatikan pria itu sebenarnya sangat tampan. Hanya saja penampilannya yang sedikit berantakan, juga jenggot yang menyerupai ramput jagung membuatnya terlihat kusut.
“Kakak …!” pekiknya terdengar riang.
Aku terpaku melihat Yusuf memeluk seorang pasien rumah sakit jiwa di kota ini, Bogor. Tapi sayangnya pria yang dipanggil dengan sebutan Kakak itu tampak tak acuh.
“Dia kakakku, Ri. Sudah setahun dia dirawat di sini, dan itu terjadi sejak calon istrinya mengalami kecelakaan tunggal.”
“Aku turut berduka,” suaraku tercekat, rasa iba kini menggelayutiku.
Yusuf adalah temanku di kampus. Meski berbeda jurusan tapi mataku selalu terpaku melihatnya bernyanyi di ujung taman ditemani gitar kesayangannya. Dia mahasiswa jurusan seni, sedangkan aku mahasiswi jurusan sastra. Aku tak memiliki keberanian mendekatinya. Hingga suatu hari aku memenangkan kontes puisi yang kemudian diaransemennya menjadi sebuah lagu. Sejak itulah kami menjadi dekat, walaupun dia belum mengatakan apa pun tentang perasaannya, tetapi aku bahagia bisa dekat dengan Yusuf.
“Rima…?” sebuah suara yang tak asing memanggilku.
“Kak Dimas?”
“Iya, ngapain kamu di sini?”
“Anu, Kak. Aku … nganterin teman.”
Kak Dimas menarik lenganku. Mendekatkan mulutnya ke telingaku. “Kakak tahu kamu lagi deket dengan pemuda itu. Ayo jujur! Kamu ada perasaan sama dia, kan?”
Aku menggeleng cepat. “Dia cuma sahabatku, Kak!”
“Rima, kamu itu adik aku! Aku tahu mana yang sekadar teman dan mana yang lebih dari teman.”
“Kakak ….”
“Ayo pulang, Kakak yang akan nganterin kamu!” Kak Dimas meraih tanganku.
Aku langsung melepaskannya, berlari menghampiri Yusuf yang masih berbicara sendiri dengan kakaknya.
“Sorry, aku harus pulang.” Aku menunduk, tak kuasa menatap pemuda bermata hitam itu.
“Kenapa?”
“Kakakku … kebetulan dia sedang melakukan pekerjaan di sini, dan barusan dia mengajakku untuk pulang. Aku gak bisa nolak—”
“Ya udah, kita ketemu di kampus besok,” potongnya.
Aku mengangguk, tersenyum tanggung lantas meninggalkannya.
***
“Jauhi dia atau Ayah akan memindahkanmu ke universitas lain, Rima!” suara Kak Dimas bagai petir yang menyambar di siang bolong. Dia marah saat tahu kalau kakak Yusuf memiliki masalah kejiwaan.
“Ayah sudah punya calon yang terbaik untukmu. Ayah ingin kamu menikah dengan Ardika Maheswara, putra dekan kampus kita yang kini kuliah di Australia.”
“Tapi Kak—”
“Jauhi dia!” bentaknya sekali lagi.
Aku menghela napas, berlari ke kamar dan mengunci pintu bercat cokelat ini. Bersandar di baliknya sambil memeluk kedua lututku. Genangan air mata yang sedari tadi kutahan kini membasahi pipi.
Kuakui kalau pemuda bermata sipit memang biasa saja. Ia berasal dari keluarga sederhana. Tetapi kemandiriannya meraih cita-cita membuatku kagum. Yusuf, pemuda itu orang yang cerdas, ramah, dan pandai bergaul. Dan darinyalah aku mengenal arti cinta. Ya, cinta pertama. Tapi … arghh!!
Tuhan, mengapa Kau ciptakan skenario seperti ini untukku?
Aku mengusap wajahku yang basah oleh air mata, membuang padangan ke arah jendela. Hari ini, siapa yang tahu kalau aku hanya memiliki satu kesempatan lagi untuk bertemu dengan Yusuf.
Hidupku memang sudah terlampau kaku dengan dipenuhi banyak aturan. Terlalu banyak pengekangan yang memuakkan hanya karena aku terlahir sebagai anak seorang pejabat. Aturan tetap aturan, dan tidak boleh ada yang melanggarnya. Pun soal pernikahan, semua sudah diatur sesuai kehendak Ayah, termasuk pernikahan Kak Dimas dua tahun lalu.
Beberapa hari kemudian, tidak ada yang dapat aku lakukan selain berpamitan kepada pria berwajah oriental itu. Melanjutkan hidup yang membosankan seperti biasa. Sama seperti aku saat belum mengenalnya. Karena aku akan melanjutkan kuliah di universitas yang berbeda.(*)
Zatil Mutie, perempuan penyuka novel romance, dan film Bollywood. Suka memasak, berasal dari cianjur, email: zatilmutie72653@gmail.com. Fb: Mom’s Zalfa Adeeva Zahra
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita