Terbelit Sesal
Oleh : Ketut Eka Kanatam
Aku merasa seperti duduk di atas bara saat semua yang hadir di ruang tamu sedang menatap ke arahku. Mereka menunggu jawaban atas niat yang baru saja diutarakan oleh laki-laki paruh baya itu.
Ada rasa sesal, kenapa aku tidak pura-pura pingsan saja agar tidak perlu menghadapi mereka seperti ini.
Penyesalan selalu datang terlambat. Permintaan orangtua Bumi agar aku yang menjawab lamaran mereka, membuat Dina memapahku keluar dari kamar.
Di sinilah aku, berhadapan dengan mereka. Mau tidak mau, aku harus memberi keputusan.
“Saya tidak bisa menerima lamaran ini.”
Aku mengatakan hal itu setelah menghela napas panjang dan mengembuskannya secara perlahan-lahan untuk meringankan rasa sesak di dada. Aku tidak berani menatap mata putri semata wayang yang pasti sangat terkejut dengan keputusanku itu.
Tanpa menunggu reaksi mereka, aku segera bangkit, dan menuju ke kamar lagi dengan tertatih-tatih. Tanpa perlu menoleh ke arah belakang, aku merasa kalau mereka semua sedang menatap diriku. Keputusanku telah mengejutkan semua yang hadir di acara lamaran tersebut.
Jangankan mereka, aku pun sama: keputusan itu tidak terduga. Keputusan yang kubuat dengan berat hati. Aku melukai hati mereka.
Semua berawal saat aku diminta oleh Irma untuk segera bersiap-siap menyambut calon besan. Kami sudah bersiap-siap jauh-jauh hari saat mereka mengatakan akan datang untuk melamar Dina.
Seketika mulutku terbuka dengan kaki yang terasa begitu lemas begitu melihat calon besan. Sosok yang turun dari mobil itu begitu familier bagiku.
Tidak mungkin aku salah menebak sosok yang begitu memberi warna sepanjang perjalanan hidupku. Meskipun kacamata yang kupakai sudah semakin buram saja sejak setahun belakangan ini, karena belum ada rezeki lebih untuk menggantinya. Namun, aku tidak mungkin salah lihat, wanita itu adalah Intan.
Semakin menatapnya, semakin yakin kalau aku tidak mungkin salah menebak sosok yang kini sedang berbicara dengan anaknya, dia belum menyadari kehadiranku.
Kesempatan itu aku pakai untuk mengamati dirinya dengan lebih teliti lagi. Meskipun sekarang tubuhnya lebih berisi dengan rambut yang dicat dengan warna tembaga untuk menyamarkan warna ubannya. Tetap saja aku langsung bisa mengenali dirinya dengan sekali pandang.
Tubuhku sedikit doyong saat disenggol oleh istriku. Irma tersenyum saat melihat putrinya terlihat begitu gembira menyambut kedatangan calon mertuanya. Suaranya begitu riang saat menyapa mereka.
“Bagaimana penerbangannya, Bu, Pak?”
Dina meraih tangan mereka satu per satu dan menciumnya dengan khidmat.
“Lancar, Nak,” jawab wanita itu sambil mengelus kepala Dina saat tangannya dicium seperti itu. Senyum terpatri di bibir tipisnya, memperlihatkan lesung pipi yang membuatku tidak pernah bosan melihatnya.
Suara dan gerakannya yang begitu lembut membuatku teringat kejadian sama yang juga pernah kualami kala bersama dirinya.
Ajakan Dina yang meminta mereka untuk segera masuk ke rumah, membuatku tersadar kembali. Aku harus segera menguatkan tapak kaki agar kokoh menapak lantai. Rasanya bumi berputar di kakiku.
“Kenapa, Mas? Merasa tidak enak badan, ya?”
Irma terlihat khawatir melihat keadaanku yang sedang memegang dada yang tiba-tiba saja terasa sakit.
“Tolong, bawa aku ke kamar!”
Aku harus menghindar dari dia. Tidak mungkin aku menemuinya. Aku tertolong dengan keadaanku yang baru saja sembuh dari serangan stroke ringan sehingga Irma tidak merasa curiga dengan keadaanku.
“Aku saja yang menyambut mereka, Mas. Istirahat saja dulu. Semoga nanti bisa menemui mereka.”
Irma mengatakan hal itu setelah membantu aku berbaring. Aku tidak ingin bangun dari tempat tidur ini. Aku tidak ingin menemui mereka, terutama berhadapan langsung dengan Intan.
Sakit hati karena dia memilih menuruti keinginan orangtuanya begitu sulit aku sembuhkan. Hanya Irma yang bisa mengerti kalau hatiku sudah pernah mencintai wanita lain. Dia yang bisa menghentikan petualanganku demi bisa melupakan luka yang dibuat oleh Intan.
Irma tidak menuntutku untuk mencintainya. Ketulusannya yang tanpa pamrih, mencintai tanpa mengharap balasan, membuatku akhirnya bisa menerima kehadirannya.
Kenapa sekarang luka itu harus muncul lagi di hari bahagianya anakku? Seharusnya Intan tinggal di luar negeri bersama suami pilihan orangtuanya. Bagaimana bisa Dina bertemu dengan Bumi di Yogjakarta.
Apakah Intan akhirnya memilih pulang ke Indonesia dan mengajak Bumi yang memilih menjadi dosen di kampus anakku? Kenapa aku tidak menanyakan latar belakang orangtuanya dengan lebih teliti sewaktu dia datang pertama kali mengenalkan diri sebagai calon suami Dina?
Kenapa aku begitu ceroboh? Apakah karena aku terlalu bahagia karena anakku dilamar oleh dosennya? Anakku akan mendapat pasangan hidup yang kupikir bisa membahagiakan dirinya dengan materi yang tidak bisa kuberikan. Satu-satunya kelemahanku di mata orangtua Intan.
Entahlah, semua pertanyaan itu hanya membuat aku semakin meringkuk di kasur. Kehadiran Dina yang begitu menghiba agar aku mau keluar karena papanya Bumi ingin bertemu denganku.
Tatapan Intan yang begitu terkejut melihatku membuat aku segera mengambil keputusan yang pasti mengecewakan semuanya, terutama anakku.
“Kenapa Bapak mengatakan hal itu?”
“Apa yang Mas lakukan tadi?”
Mereka masuk ke kamar dan memberondongku dengan pertanyaan. Semua itu membuat dadaku semakin sesak.
“Maafkan, Bapak, Nak.”
Jeritan Irma membuat mereka masuk ke kamarku.
Air mata yang mengalir di pipi Intan sama seperti yang kulihat sewaktu aku mengajak dia menginap di sebuah losmen murahan di dekat pantai Kuta. Usaha yang kulakukan agar diterima oleh orangtuanya. Harapan yang sia-sia.
Aku hanya bisa menyesal melihat mereka begitu sedih.[*]
Bali, 15 Agustus 2021
Ketut Eka Kanatam, guru TK, penyuka warna ungu. Sudah menulis beberapa antologi. Berharap suatu saat tulisan yang dibuat akan dibaca oleh semua anak didik.
Editor : Uzwah Anna
Gambar : https://pin.it/7atMOCt
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/menjadi pemulis tetap di Loker Kata