Terbang, Hingga ke Arsy

Terbang, Hingga ke Arsy

Terbang, Hingga ke Arsy
Oleh: Evamuzy

Tantangan Lokit 8 (Mimpi)

Semua berawal dari mimpi
Hanya kita yang bisa mewujudkan
Sampai di mana batasannya pengorbanan
Sedang pengabdian tak pernah terhenti

Aksara yang menari di atas awan
Cukup jelas menuliskan harapan
Memang kenapa bila aku perempuan
Aku tak mau jadi budak kebodohan

Memang Kenapa Bila Aku Perempuan — Melly Goeslaw feat Gita Gutawa

Sebab, dengan barisan huruf dan angka, manusia bisa mengenal dunia.

***

Minggu, adalah hari di mana Pasar Tumpah di kota kecil ini dibuka. Bilik-bilik dari bambu dan papan seadanya berjajar sepanjang jalan kecil yang becek sisa hujan semalam. Menjajakan berbagai barang dagangan yang didominasi bahan kebutuhan sehari-hari. Bahan pangan, sandang dan kebutuhan lainnya.

Pagi itu seperti hari Minggu biasanya, Bunda mengajakku, si bungsunya berjalan kaki menuju pasar sebelum fajar menyingsing. Kami membawa tas anyaman rotan berukuran sedang yang di dalamnya akan diisi dengan berbagai macam kebutuhan sehari-hari yang ada pada catatan belanja.

“Capek, Dek?” tanya bunda di tengah perjalanan.

“Tidak, Bunda. Kata Ayah, untuk jadi orang yang kuat kita harus sering-sering jalan kaki jauh.”

“Hehe …. Baiklah, pulangnya kita akan naik becak seperti biasa.”

“Baik, Bunda.”

Tak lebih dari dua puluh menit kami sampai di Pasar Tumpah. Suasana ramai khas pasar menyambut kedatangan kami. Jangan pernah membayangkan pasar yang kami datangi seperti pasar-pasar di kota besar. Pasar di kota kecil ini sedikit kotor dan bau. Tak jarang langkah kaki kami terhenti oleh aksi kejar-kejaran tikus ceking yang sekujur tubuhnya basah dengan seekor kucing penuh luka. Tapi mau bagaimana lagi, inilah pasar satu-satunya di kota ini. Kota kecil tempat tinggal kami setelah Ayah dipindah tugas dari kantornya.

“Sayurnya, Ibu, Dek,” tawar seorang pedagang saat kami berjalan di barisan penjual sayur mayur. Kangkung, bayam, buncis, kacang panjang, rebung, oyong dan berbagai sayuran lain berjejer dengan keadaan masih segar.

“Belum boleh, Mbak. Tambah lima ribu lagi, ya,” kata seorang penjual jarik batik saat kami melintas di depannya.

Riuh rendah suara tawar menawar antara penjual dan pembeli semakin kental saat kami tiba di tengah pasar.

Tas belanja kami telah terisi beberapa bahan makanan. Sayur bayam, cabai merah dan rawit juga tahu dan satu kilo kacang hijau. Tempat terakhir yang akan kami datangi adalah bilik milik Pak Aman, penjual ikan segar langganan kami. Semalam Ayah meminta agar dibuatkan pindang bandeng. Pindang bandeng buatan Bunda adalah yang terlezat di dunia. Bunda sibuk memilih ikan yang menurutnya terbaik, sementara aku memilih menjaga tas belanja dengan mengedarkan pandangan ke sekitar.

“Ramai sekali,” batinku. Hingga mataku tertuju pada sepasang insan yang menarik perhatian. Seorang bocah laki-laki yang sepertinya seusia denganku bergandeng tangan dengan seorang bapak paru baya. Bukan, bukan bergandeng tangan, tapi lebih tepatnya si bocah dengan baju lusuh, kulit gelap dan badan kurus itu menuntun bapak-bapak di sampingnya yang setelah diamati dengan lekat-lekat, beliau seorang penyandang tunanetra.

Mulanya mereka berdiri cukup jauh dariku. Diam dan melihat-lihat ikan yang terjejer rapi di atas lincak penjual, lalu kembali berjalan ke depan, tak jadi membeli. Hingga akhirnya mereka berhenti di penjual ikan di samping bilik milik pak Aman.

“Saya beli ikan yang itu satu kilo, Bu,” pinta si bocah dengan mengulurkan telunjuk.

Si penjual yang sedari tadi diam karena sepi pembeli segera menurutinya. Menimbang beberapa ikan yang entah apa namanya di atas alat timbangan, memastikan beratnya benar, lalu memasukkan ikan ke dalam kantong plastik hitam dan segera memberikan kepada si bocah.

“Mana uangnya?” Si Ibu penjual menengadah tangan. Nada suaranya tak seramah Pak Aman.

“Ini.” Si bocah mengangsurkan uang yang dia keluarkan dari buntalan baju. Uang yang sama seperti yang kulihat diberikan Ayah kepada Bunda di waktu beliau pulang gajian.

“Uangnya pas ya, Nang.”

Si bocah mengangguk dengan rona wajah kecewa dan pasrah. Seperti tak tahu apa-apa.

Aku menoleh ke arah Bunda yang telah menyelesaikan belanja. Kami berjalan menuju pangkalan becak untuk pulang.

“Bunda, boleh pinjam dompetnya?”

“Ada apa, Dek?”

“Boleh ya. Sebentar saja.”

“Iya. Ini.”

Setelah mendapat izin untuk membuka dompet Bunda, kuambil uang dengan pecahan yang sama dengan yang tadi diberikan si bocah kepada si penjual. Uang dengan angka lima di depan diikuti angka nol sebanyak empat buah.

“Ini lima puluh ribu kan, Bunda?”

“Iya. Kenapa, Dek?”

“Apa Bunda juga bayar dengan uang ini untuk satu kilo ikan tanpa kembalian?”

“Tidak, Sayang. Itu terlalu besar. Ada apa, Nak?”

“Bunda.” Sejenak kuhentikan kalimatku, lalu meraih tangannya. “Tadi ada anak laki-laki bersama bapak-bapak buta membeli ikan di penjual samping tempatnya Pak Aman. Dia beli satu kilo ikan yang sering kita makan, Bunda. Dia bayar dengan uang ini dan katanya ibu penjualnya, ‘pas’.”

“Astaghfirullah … Sepertinya anak itu ditipu, Sayang.”

“Benarkah, Bunda?”

“Iya. Mungkin anak itu takut meminta kembalian atau … bisa jadi dia tidak tahu besar uang yang dia berikan.”

“Maksudnya, dia tidak mengenal angka?”

“Iya.”

“Bunda ….”

“Sudah, Nak. Kita doakan saja semoga dia dapatkan gantinya.”

Andai tadi aku bisa membantu. Tapi gadis kecil usia delapan tahun sepertiku belum ada nyali sebesar itu.

Kami pulang dengan memilih menggunakan jasa tukang becak yang dikemudikan oleh bapak-bapak paling tua di antara lainnya.

***

“Dek, Bunda mau bikin bubur kacang hijau tapi lupa beli kelapa di pasar tadi. Boleh minta tolong belikan di warung Bi Minah? Ini uangnya.”

Aku yang saat itu sedang membuka lembaran buku cerita anak-anak yang dibelikan Ayah, segera menuruti perintah bunda. Berjalan sekitar lima menit ke warung kecil yang menjual beberapa sayur dan bahan kebutuhan sehari-hari. Mengantre ketika kulihat seorang wanita muda sedang menunggu jumlah belanjaannya.

“Semua jadi sembilan ribu lima ratus,” kata Bi Minah setelah selesai memasukkan semua belanjaan si pembeli ke dalam kantong plastik lalu memberikannya kepada wanita di sampingku itu.

“Ngutang dulu ya, Bu Lek. Besok pas suami kirim, saya bayar. Catat dulu seperti biasa,” kata si wanita.

“Jangan lama-lama lho, Sar. Aku juga butuh buat kulak.”

Wanita muda itu segera berlalu setelah mengangguk dan memberikan senyum termanisnya.

Aku masih mematung menunggu Bi Minah selesai dengan aktivitasnya. Dia menggerakkan bolpoin hitam pada secarik kertas yang menempel di dinding warung. Dari tempatku berdiri, hasil coretannya masih bisa dilihat. Aku mengamatinya lekat. Sembilan buah lingkaran kecil dan lima garis serupa angka satu.

“Maaf. Itu apa, Bi Minah?” Sontak aku tak bisa menahan rasa penasaran.

“Ini ya, Cah Ayu? Ini catatan hutang si Sari. Buat eling-eling. Dibacanya sembilan ribu lima ratus.”

“Bi Minah nggak bisa baca tulis?” tanyaku berat hati.

“Hehe. Nggak bisa. Lah wong sekolah saja nggak pernah. Oh iya cari apa, Cah Ayu?”

“Kelapanya satu butir, Bi. Ada?”

***

Dua belas tahun kemudian.

Menjadi seorang gadis itu menyenangkan, apalagi jika diberi kebebasan pilihan di luasnya kehidupan. Asal bertanggung jawab dan tahu aturan, pesan Ayah. Dan tentu semua sepakat, mewujudkan mimpi yang diracik dengan bumbu keringat sendiri tentu akan lebih sedap rasanya.

“Aku mau kuliah ambil pendidikan, Ayah,” jawabanku saat beliau bertanya rencana selanjutnya setelah lulus sekolah menengah.

Kukayuh sepeda berwarna silver pemberian Ayah, menuju tempat menemukan lembaran rupiah. Sebuah kursi plastik di balik gerobak es krim dorong milik orang, harus kujaga hingga pukul sembilan malam depan swalayan terkenal di alun-alun kota.

“Kakak, tadi ada yang mau beli es krim, tapi pergi lagi. Kakaknya nggak ada. Sayang, kan.”

“Kalau rezeki, orangnya bakal balik lagi, Sayang.” Aku menjawil pipinya.

Gadis seusia anak kelas tiga SD itu bertanya saat aku pulang dari masjid agung kota, menuju gerobak dagang. Sekitar mulut mungilnya belepotan sisa es krim cokelat yang kubelikan sore tadi. Sepertinya baru dimakan sekarang.

Rini namanya. Salah satu bocah peminta-minta sekitar alun-alun kota yang sering menemaniku satu bulan ini. Dia pernah cerita alasanannya putus sekolah dan akhirnya memunguti sekeping demi sekeping rupiah dari belas kasihan orang yang dirasa lebih mampu darinya. Ayahnya telah tiada, sementara ibunya, kini hanya bisa tergeletak di atas tempat tidur sejak terkena stroke dini sekitar tiga tahun lalu.

Setiap hari, dia datang bersama bibinya yang menggendong bayi perempuan umur delapan bulanan. Tak jarang mereka duduk di teras swalayan 24 jam itu dan akan pulang sesaat setelah jam kerjaku selesai. Bagiku tak masalah berteman dengan mereka. Toh, tak merugikan, justru bisa menjadi teman dan cermin untuk memberi semangat jalani kehidupan.

“Kan kakak sudah pasang tulisan di gerobak. Sini lihat.” Aku menarik tangannya pelan. “Baca!”

“S-sssss ….”

“Sedang salat. Kamu nggak bisa baca ya, Rin?”

“Hehe …. Nggak, Kak.”

Lagi-lagi seperti ini. Dia tak sendiri. Ada sekitar lima sampai enam anak putus sekolah yang menjadi teman bincang-bincangku di tempat ini. Dengan cerita dan alasan berbeda-beda meski datang ke dunia yang sama dengan kita.

Perjalanan pulang di atas roda si Silver, kupanjatkan bait-bait pinta pada-Nya.

Sang pemilik semesta, berikanku rezeki dan kesempatan di sisa waktu yang ada. Satu hari nanti, semoga Kau ijabahkan untukku mempunyai satu ruang aksara. Tak perlu besar. Mula-mula, ruangan sederhana bercat warna cerah dengan dinding dipenuhi poster huruf dan angka, dihiasi gambar beberapa tangkai bunga, kupu-kupu dan serangga kecil lainnya. Berjajar meja panjang yang cukup untuk delapan sampai sepuluh anak dan satu papan tulis di depan. Aku akan berdiri di sana, menghadap mereka, mengulang alif ba ta tsa, satu dua tiga dan a b c d sampai mereka bisa, secara cuma-cuma. Untuk mereka yang datang dengan kaos lusuh tanpa alas kaki.

Kepada angin malam ini, semoga kau terbangkan bait-bait mimpi hati hingga sampai ke Arsy. Juga pada rinai hujan yang menerpa diri, semoga engkau ikut mengamini. (*)

 

Evamuzy, gadis kelahiran kota bawang yang sedari kecil hobinya lihat pesawat terbang.

Tantangan Lokit adalah lomba menulis yang diadakan di Grup KCLK

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata