Terabaikan

Terabaikan

Terabaikan
Oleh : Jemynarsyh

Sudah pukul 03.00, aku belum juga tertidur. Berbaring gelisah di atas ranjang. Sesekali miring ke kanan, terlentang, kemudian miring ke kiri, membuat seprai kian kusut. Saat hendak terpejam, tiba-tiba terngiang tawaran Dino, merantau bersama ke kota. Menarik, memang. Bekerja dengan penghasilan yang lebih banyak. Tentu lebih baik daripada di sini. Tapi, bagaimana dengan Ibu dan Nisa? Akankah mereka baik- baik saja tanpaku? Angin malam berembus dari celah ventilasi. Suara kodok di musim penghujan kian bersahutan. Mataku terasa berat saat sayup-sayup terdengar lantunan ayat suci dari pengeras suara.

Karena begadang semalam, kantuk masih terasa meski matahari telah beranjak ke atas. Dengan langkah terseret aku melangkah menuju dapur, membuat kopi dan menyeduhnya. Aroma kopi yang khas, sebab dibuat secara tradisional oleh penduduk di sini, membuatku semakin candu pada minuman berwarna hitam legam ini.

Teringat ajakan Dino, aku pun bergegas mengantar pesanan agar lekas tiba di rumah untuk meminta izin pada Ibu. Semoga saja beliau tidak keberatan dengan keputusanku. Ibu sedang sibuk mencatat saat aku tiba. Lantas menyerahkan uang hasil jualan hari ini. Seperti biasa aku akan mendapat bagian lima puluh ribu. Nominal yang kuterima tiap kali tugas kurirku selesai. Sedikit memang. Jika begini terus bagaimana bisa aku meminang Lela. Apa lagi kini anak gadis Pak Haji itu semakin cantik saja. Membuat banyak lelaki tertarik padanya. Menambah deretan pesaingku.

“Kenapa Syam?” Ibu menatapku dengan kening berkerut.

Pertanyaan Ibu membuyarkan lamunanku. Kutatap wajahnya yang tak lagi muda, lingkar hitam di bawah mata, kerutan di pelipis, kedua pipi yang mengendur, menandakan bahwa Ibu jauh berbeda setelah kepergian Bapak.

“Syam mau ikut Dino ke kota, Bu. Kerja di sana,” kataku seraya menatap wajah Ibu.

Ibu sempat tertegun mendengar penuturanku. Seolah tak percaya dengan apa yang baru saja kukatakan. Tak kuasa menatap lama wajahnya yang kian pilu, aku menunduk, memilin-milin uang yang baru saja kudapat.

“Seandainya, Ibu tidak mengizinkan … apa Syam akan tetap tinggal?”

Aku memandangi wajah Ibu, ada seulas senyum yang terukir di sana. Namun, matanya memancarkan duka. Ini bukan pertama kali aku meminta izin ke kota. Hanya saja Ibu sering menolak keinginanku. Dengan alasan yang tetap sama, “Ibu takut kamu terpengaruh dengan kebiasaan di kota.” Begitulah jawaban Ibu.
Aku menggelengkan kepala saat terlintas cerita Dino tentang indahnya kota. Tapi ditanggapi Ibu sebagai jawabanku. Pun aku tak menyangkalnya, karena sebenarnya aku juga penasaran tentang kota. Apa benar cerita-cerita yang kudengar dari mereka?

***

Sudah sebulan aku dan Dino menempati indekos yang sempit. Bau tak sedap menguar dari got. Tiga pintu dari tempatku berdiri sekarang, ada kamar mandi dan toilet umum. Berjejer para bapak-bapak menunggu antrian. Hampir setiap pagi aku jarang mandi. Toh, saat bekerja akan kotor lagi. Jadi, selesai mengganti pakaian, aku bergegas ke warung Bu Romlah untuk sarapan. Bila siang hari kami disibukkan bekerja, membuat bangunan-bangunan pencakar langit. Kulitku makin legam terpanggang matahari. Saat malam tiba, aku dan penghuni indekos yang lain beramai-ramai keluar menuju Kopi Pangku yang ada di ujung gang. Satu-satunya hiburan membuang penat. Aku masih ingat saat pertama kali diajak Dino ke sana. Jujur awalnya aku merasa tak nyaman, risih. Tapi lama-lama mataku tergoda juga, saat kulihat gadis manis dengan rambut sebahunya dibiarkan tergerai, Nilam namanya. Dia dengan ramahnya menyapaku membuat rasa nyaman ada di sampingnya. Malam-malam berikutnya aku dan Nilam semakin dekat. Melakukan hal apa saja yang membuatku mendapat pengalaman baru tentang berasmara. Meski, harus merogoh kocek.

Nasihat Ibu untuk menjaga pergaulan perlahan kuabaikan. Pun dengan menelepon Ibu sudah tak sesering dulu. Aku terlena dengan dunia baruku. Mereka benar-benar membuatku merasakan nikmatnya surga dunia.

Dini hari teleponku terus berdering. Beberapa kali kuabaikan, tampaknya seseorang di seberang sana tak juga menyerah. Dengan mata masih terpejam aku menerima panggilan.

“Halo,” jawabku serak.

Hening, tak ada jawaban. Kulihat di layar telepon, nomor baru dan masih tersambung. Dahiku mengernyit, menerka-nerka siapa yang menelepon di pagi buta begini.

“Halo,” ulangku lagi.

“Halo Bang, ini Nisa. Ibu kemarin jatuh dari kamar mandi, keadaannya sekarang kritis sedang di rawat di rumah sakit,” kata Nisa dengan suara sengau.

Seperkian detik telingaku berdengung. Terngiang ucapan Nisa barusan. Kantukku hilang. Ada perasaan tak nyaman menyelusup di dada. Aku bergegas mengepak barang. Di sepanjang perjalanan pulang waktu seakan sengaja melambat. Gerimis yang ketiga kalinya turun di hari itu. Aku berharap masih ada kemurahan hati Tuhan untuk kesembuhan Ibu.[]

Palangka Raya, 19-01-21

Jemynarsyh yang masih belajar.

Editor : Uzwah Anna

Grub FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply