Tentang Tugas Kelompok
Oleh : Halimah Banani
Terbaik 5 Lomba Cerpen Autofiksi
Tugas kelompok adalah hal yang paling merepotkan.
Pertama, saya selalu bingung menentukan tempat untuk kumpul. Saya tidak boleh main ke rumah teman, sekalipun dengan alasan ada tugas. Ya, meskipun saya tidak penurut-penurut amat. Pun teman-teman juga belum tentu bisa datang ke rumah saya. Sejak TK, entah kenapa murid di kelompok belajar/kelas saya lebih banyak laki-laki. Dan saat SMP, dari 39 murid, hanya ada 12 murid perempuan, termasuk saya. Jadi, setiap ada pembagian kelompok, anggotanya otomatis akan dicampur. Katanya, biar (nilainya) seimbang. Tapi, karena keluarga saya tidak menerima tamu laki-laki, jadi saya tidak bisa mengajak teman-teman untuk mengerjakan tugas di rumah saya. Kalaupun kelompok saya beranggotakan perempuan semua, mereka sering malas untuk datang lantaran peraturan tak tertulis: kalau mau main ke rumah Halimah harus pakai gamis/rok dan kerudung, kalau enggak nanti bakal dimarahin babanya. Bagi mereka, pakai gamis/rok itu ribet. Sama ribetnya dengan lihat saya yang tetap pakai rok di jam pelajaran olahraga.
Sebenarnya, saya tidak tahu dari mana peraturan itu berasal, karena saya belum pernah lihat Ayah memarahi teman-teman saya. Tapi, kalau mereka pakai celana dan kaus ketat lalu bertemu guru-guru dalam perjalanan dan ketahuan mau main ke rumah saya, jelas mereka akan kena tegur, lalu disuruh pulang dan ganti pakaian. Jika sudah begitu, saya sendiri juga bingung harus bilang apa, karena guru-guru bakal khawatir saya kena marah Ayah. Ini agak menyebalkan sebetulnya. Pasti saya jadi terlihat menyebalkan di mata teman-teman karena dapat perlakuan berbeda, makanya saya merasa mereka seperti bersepakat untuk mencegah saya agar tidak jadi anak nakal, menekan rasa penasaran saya pada hal-hal di luar dunia saya. Meski begitu, biasanya kami bakal manggut-manggut lalu putar balik setelah pamit mau ganti pakaian, padahal kami mau ambil jalan lain.
Kedua, rasanya hampir semua kelompok punya anggota yang tidak mau kerja, keluar uang juga susah. Saya paling malas berurusan dengan orang modelan begini. Tapi, paling malas lagi kalau dapat anggota yang hasil kerjanya jelek setelah diberi arahan sampai berbusa, lalu melempar tanggung jawab revisi ke yang lain alih-alih memperbaikinya sendiri. Karenanya saya selalu memastikan lebih dulu, siapa yang mau kerjakan tugas apa. Saya tidak melarang anggota yang tidak mau kerja, tapi sebagai gantinya mereka harus bertanggung jawab penuh di bagian keuangan.
Saya tidak mau pusing mengurusi orang yang tak mau kerja. Bagi saya, lebih baik sedikit orang yang kerja asal cepat selesai dan hasilnya bagus. Saya juga sering survei ke kelompok-kelompok lain, menanyakan berapa biaya patungan mereka dan bahan apa saja yang mereka pakai, lalu mengira-ngira bahan yang akan dipakai oleh kelompok saya dan berapa biaya yang diperlukan, tentu dengan semurah-murahnya. Biar orang-orang yang malas kerja tak malas keluar uang juga.
“Totalnya dua belas rebu, tapi buat jaga-jaga, jadi lima belas rebu,” kata saya, sebelum menyebutkan berapa biaya patungan per orang dari anggota tim keuangan.
“Kalau ada sisanya, buat yang ngerjain tugas, ya,” tambah saya. Dan mereka selalu setuju, bahkan kadang inisiatif mengatakannya sendiri.
Kalau semua memutuskan mengerjakan sama-sama, maka kami akan membuat pembagian tugas. Meski jujur saja saya agak malas. Seperti saat tugas membuat peta, sepulang sekolah kami akan kumpul di rumah seorang teman yang dekat sekolah dan mengerjakannya berdasarkan pembagian yang sudah disepakati. Itu pun diselingi dengan beragam kegiatan, seperti ngobrol, jajan, istirahat (yang katanya) sebentar, dan salat.
“Santai aja dulu, masih lama ini.”
“Iya. Entar juga kelar pas Sabtu.”
Nyatanya, pada Sabtu sore, peta DKI Jakarta kami belum rampung sampai 35%. Jadilah saya putuskan untuk selesaikan sendiri. Lebih tepatnya saya buat peta baru, karena saya tidak pandai merevisi hasil kerja orang lain.
Saya habiskan hari Minggu dengan menekuri Atlas dan kertas asturo secara bergantian, bahkan harus bolak-balik antara mengurus peta dan cucian pada sore harinya. Malamnya, ketika teman-teman menanyakan soal peta melalui SMS, saya jawab “belum selesai” sambil cekikikan, membayangkan wajah-wajah pasrah mereka karena berpikir bakal kena damprat guru besok.
Lalu, di bangku kelas 8, saat Bu Munawaroh mengumumkan tugas membuat ringkasan novel dengan teman sebangku, saya merasa lega. Lisa adalah langganan ranking 5 besar sejak kami duduk di bangku SD, dan kami sudah sering bekerja sama, dalam hal baik maupun buruk. Saya rasa tugas kali ini bakal lebih mudah dikerjakan dan kami bakal dapat nilai paling bagus.
Karena tidak punya novel, saya pinjam ke kakak dan adik kelas. Buat jaga-jaga kalau salah satunya tak bisa meminjamkan. Tapi akhirnya, di tangan saya ada novel Dava Love Inka dan Ayat-Ayat Cinta.
“Mau yang mana?” tanya saya.
“Yang gampang aja, deh,” jawab Lisa.
Karena tugas rangkuman masih satu minggu lagi, saya putuskan membaca keduanya. Sebenarnya mumpung sudah dipinjamkan, sayang kalau dikembalikan tanpa dibaca dulu. Saya tamatkan kedua novel itu dalam waktu empat hari, itu pun sering kena protes Ibu karena saya tidak langsung ganti seragam sepulang sekolah dan sering lupa makan.
“Nih, mau baca dulu gak?” tanya saya sambil menaruh Ayat-Ayat Cinta di atas meja kami.
Lisa mengambil novel itu dan melihat isinya sekilas. “Enggak, ah. Pusing gue. Bukunya tebel banget.”
Hari Selasa, saat jam pelajaran Bahasa Indonesia, Bu Munawaroh menyuruh kami untuk mengerjakan rangkumannya. Lisa sudah siap dengan kertas polionya, saya juga sudah siap dengan novel Ayat-Ayat Cinta sambil mencatat poin-poin rangkumannya.
“Ini nulisnya apa aja, Hal?” tanya Lisa.
Saya mengalihkan perhatian dari buku catatan dan memeriksa sebentar materi yang ada di buku paket. “Ngikut di buku aja urutannya.” Lalu menunjukkan halaman hak cipta novel Ayat-Ayat Cinta. “Nih, lu bisa liat di sini buat bagian judul, nama penulis, dan yang lainnya.”
“Bacain aja, deh. Gue bingung kalau baca sendiri.”
Saya diam sebentar, lalu menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya sepelan mungkin biar dia tidak mendengar.
“Sini, gue aja, deh, yang nulis.” Saya mengambil alih kertas polio yang dipegangnya lalu menyerahkan buku catatan saya. “Lu baca-baca ini aja, nanti susun dalam bentuk ringkasan.”
Dia mengambil catatan saya tanpa bicara sepatah kata pun, sedangkan saya mulai sibuk menyalin poin-poin tugas yang ada di buku paket sebelum mengisi jawabannya. Tapi, karena jam pelajaran sudah selesai dan hampir semua murid belum menyelesaikan rangkuman, akhirnya tugas boleh diselesaikan di rumah.
“Ini mau lu lanjutin di rumah sama bawa novelnya?” tanya saya.
“Gak, ah. Lu aja yang kerjain, deh,” jawabnya sambil menutup buku catatan saya.
Mendengar itu, saya kembali mengatur napas, lalu memasukkan semua buku yang ada di atas meja ke dalam tas.
Di rumah, saya berusaha menyelesaikan rangkuman itu. Besok ada jam pelajaran Bahasa Indonesia lagi dan tugas wajib dikumpulkan sebelum pelajaran dimulai. Dan untungnya, saya berhasil menyelesaikan rangkuman jam 2 dini hari. Tapi, saya masih belum menuliskan nama pengerja tugas. Berat bagi saya menyertakan nama orang yang tak berkontribusi apa-apa, tapi kalau saya tidak mencantumkan namanya, pasti bakal lebih repot lagi. Akhirnya, meski agak dongkol dan tidak ikhlas, saya tulis nama Lisa setelah nama saya.
Besoknya, tugas rangkuman dikumpulkan, dan hanya berselang beberapa menit semuanya sudah selesai dinilai dan dibagikan. Saya cukup lega melihat angka 85 di kertas, meski merasa agak sia-sia mengerjakan rangkuman itu dengan serius kalau tahu tidak bakal dibaca sama sekali.
Selain itu, lagi-lagi saya harus mengatur napas sebaik mungkin ketika pada jam istirahat Lisa langsung keluar kelas bersama anggota geng kami yang lain tanpa mengajak saya. Saya sudah bisa menebak alurnya dan karena itu saya memutuskan untuk tetap di kelas selama jam istirahat sambil membatin, harusnya saya tidak mencantumkan namanya semalam.
Jakarta, 29 Desember 2024
Halimah Banani, salah satu penulis kumcer Iblis Pembisik (Omah Aksoro, 2019) dan Candramawa: Cinta dan Sebuah Kisah (Hazerain, 2019).
__
Komentar Juri, Berry Budiman:
Meski berisi pengalaman yang menarik, relatable, dan ditulis dengan cara yang tepat, kesan yang tertinggal setelah membaca cerita ini rasanya kurang kuat. Aku kira itu disebabkan oleh fokus yang lemah. Cerita ini memiliki beberapa subide, yang meskipun memiliki konsep yang sama, membuat setiap ide itu terasa tanggung ketika dibaca. Ending-nya juga kurang berkesan karena terasa berhenti begitu saja, bukannya dikembalikan (untuk meguatkan) ke “inti cerita”, terkait kenapa kerja kelompok ini merepotkan bagi penulis.
Bandingkan dengan cerpen Ika yang menjadi tiga besar yang akhir ceritanya kembali kepada konsep “duduk berpindah-pindah” (dan menjadi “duduk sendirian” di ending) yang disinggung di awal cerita. Ada sebuah kesan yang ditekankan melalui ending tersebut, ada sebuah perspektif yang dikuatkan, tidak “habis begitu saja”. Meskipun begitu, cerita ini tetaplah bagus sebagai sebuah autofiksi.