Tentang Suara-Suara
Oleh : R Herlina Sari
Terdengar suara-suara meminta tolong. Suara itu semakin hari semakin kencang dan menimbulkan sebuah guncangan dalam pikiran.
“Tolong … tolong aku ….” Suara itu kembali bergema di ruang dengarku. Entah suara siapa, ada berapa orang, tak pernah aku tahu apalagi mengerti. Mereka tiada henti mengiba. Meminta pertolongan diiringi perkataan maaf yang aku tak tahu untuk siapa dan mengapa.
“Maafkan aku … maaf. Bebaskan aku dari sini, aku berjanji tak akan mengulangi lagi.” Kali ini kalimat berbeda yang aku dengar.
Aku tak kuat lagi mendengar rintihan-rintihan pilu setiap hari. Andai aku bukan menjadi aku yang sekarang, aku ingin segera terbang bebas menuju arah datangnya suara.
“Tolong … tolong selamatkan kami. Siapa pun itu … tolonglah aku dan kaumku.” Kali ini terdengar suara yang tegas, lantang, dan penuh amarah. Kepada siapakah itu?
“Tuhan … aku tak sanggup lagi mendengar suara-suara menyakitkan yang berputar-putar di kepala. Bantu aku untuk ke sana. Untuk menolong mereka walau aku tak tahu harus bagaimana menolongnya,” pintaku sedikit sambil memejamkan mata.
***
Saat aku kembali membuka mata, tampak hamparan padang pasir di bawah sana. Apa? Di bawah? Bagaimana bisa aku terbang? Kembali mataku menelisik titik kecil di bawah sana. Ada sebuah kampung kecil dengan asap membumbung tinggi dan bau daging terbakar memenuhi indra penciumanku. Apa yang terjadi pada tempat itu? Kobaran api di mana-mana. Di depan mataku tampak seorang sedang menikmati perannya.
“Jangan biarkan ada yang selamat! Bakar mereka semua!” teriak laki-laki itu sambil membawa sebuah cambuk.
“Tuan, jangan bakar anak-anakku. Mereka tak tahu apa-apa. Biarkan aku saja yang menggantikan,” raung seorang wanita sambil bersujud di bawah telapak kaki lelaki itu.
“Diam! Kamu tak berhak untuk meminta. Terima kodrat dan enyah dari hadapanku!” teriak lelaki itu. Tangannya menghempaskan ke arah wanita itu. Tangisan pilu menyayat hati kembali kudengar disertai bau gosong daging terbakar. Andai aku sedang lapar, pastilah bau ini akan mampu mengenyangkan perut. Atau mungkin justru mengaduk isi perut dan mengiba untuk dikeluarkan.
Aku terbang menjauh, kuamati daerah itu sekali lagi. Kepulan asap semakin membumbung tinggi hingga ke awan. Semakin pekat dan menghitam. Angin membawa asap menuju ke kanan, ke arahku dan membuat terbatuk-batuk hingga aku tak bisa lagi menyeimbangkan sayap. Aku terjatuh ke jurang terjal di bawah. Seketika pandangan mataku mulai memudar dan kemudian menghilang menyisakan gelap.
***
Kembali aku membuka mata, terenyak. Kehidupanku kembali seperti sebelumnya. Semua yang terjadi di depan mataku hanyalah sebuah mimpi. Namun, itu semua memberikan arti. Aku ingin kembali menjadi sosok semalam yang bisa terbang. Apakah aku bermimpi menjadi sebuah burung? Ingin kutumpas segala keangkaramurkaan yang ada di depan mataku. Aku ingin membuat senyum di wajah perempuan itu. Wajah perempuan yang tak lain sering dipanggil dengan sebutan ibu.
Mimpi semalam membuatku semakin bimbang. Dunia seakan tengah mempermainkan takdirnya. Siapakah lelaki kejam yang tega membakar kaumnya sendiri? Membunuh teman-temannya atau mungkin itu saudaranya? Apa yang terjadi sebenarnya? Berbagai pertanyaan muncul begitu saja. Aku memerlukan jawaban. Bantu aku sekali lagi, Tuhan. Aku ingin menuju tempat di mana mimpiku semalam terjadi. Aku ingin bertemu lelaki itu. Ingin kutumpahkan segalanya. Ingin kutampar wajahnya, agar dia bisa melihat dunia yang lebih luas. Dunia yang mungkin akan terasa asing baginya tetapi penuh kedamaian. Tuhan, izinkan aku pergi ke sana untuk mengubah takdir, sekali lagi.
***
Sebulan telah berlalu, setiap malam aku selalu dihantui oleh mimpi-mimpi dan suara-suara teriakan minta tolong. Rintihan yang begitu menyayat. Juga terdengar cambukan, tak jarang pula bentakan.
Otakku menggila, tak bisa berpikir dengan jernih. Kepalaku serasa meledak memikirkan hal itu. Suara-suara itu.
“Tidaaak!” Aku teriak. Aku baru menyadari, kini terbangun di sebuah ranjang besi dengan rantai besi mengikat tangan kanan dan kiriku. Bau desinfektan sangat menyengat menusuk hidung. Apakah mereka mengira aku gila?
Tuhan, jika aku diberi kesempatan, izinkan aku untuk hidup di dalam mimpiku saja. Aku ingin bertemu dia, aku ingin membunuh lelaki itu, yang kejam dan membakar orang tanpa kedip. Bagaimana nasib wanita itu? Wanita yang rela bersujud di kakinya demi sebuah ampunan.
Sekali lagi, jika aku mampu aku ingin hidup di dalam mimpiku saja. Agar aku tak merasakan sakitnya terpasung rantai besi di sini. Karena mereka tak pernah mengharapkan kehadiranku. Bagi mereka, aku hanyalah penghalang terbesar untuk mendapatkan warisan Kakek di dunia ini.
Sub, 13 September 2020
R Herlina Sari. Lebih dikenal dengan nama pena RHS. Seorang melankolis yang punya hobi membaca juga menulis.
Editor : Lily
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata