Tentang Sebuah Kata Ajaib (Terbaik ke-5 TL 16)

Tentang Sebuah Kata Ajaib (Terbaik ke-5 TL 16)

Tentang Sebuah Kata Ajaib
Oleh : Lutfi Rosidah
Terbaik ke-5 TL 16

 

Dengkuran Mas Prapto mengakhiri tugasku malam ini. Setiap kali melihat dia terkulai penuh peluh di sampingku, aku merasa lega. Itu menandai tugasku selaku istri terlaksana dengan baik. Terkadang terlintas tanya, bagaimana bisa pandangan mata yang garang dengan kuda-kuda yang siap menerkam, embusan napas yang menderu-deru, dan racauan yang tak berujung, bisa selesai hanya dengan sekali lenguhan panjang. Apa yang dia rasakan? Sesuatu yang membuatnya ingin mengulang hal yang sama di suatu waktu yang lain? Padahal rasanya hanya begitu-begitu saja. Bagiku semua hanya ritual, hanya kewajiban yang menjadi rutinitas beberapa kali seminggu. Selebihnya aku akan bersyukur ketika dia tidur lebih awal dan tak menggangguku.

Aku sering heran ketika mendengar percakapan ibu-ibu arisan. Mereka menceritakan bagaimana permainan panas mereka malam sebelumnya. Keterlaluan, hal sepribadi itu pun tak luput dari bahasan mereka. Ada rasa tertarik untuk masuk dalam obrolan mereka yang mereka sebut diskusi ranjang. Ya, kalian tahu sendiri konotasi ranjang seperti apa, dan begitulah isinya. Bukan aku tak mau ikut bergabung, hanya saja aku malu, malu pada apa yang kurasakan. Kembali aku akan meyakinkan diriku, semua hanya penampakannya, seperti angin yang bertiup lalu menghilang tanpa memberi kesan dan pesan yang berarti.

Kalau boleh jujur, aku juga ingin seperti mereka yang begitu bersemangat bercinta. Bercinta? Ah! Bisakah malam-malam kami disebut bercinta? Itu hanya adegan penetrasi hingga orgasme saja. Tidak ada percintaan, tidak ada kenikmatan. Terlebih ketika dia melakukan di saat aku lelah setelah menyelesaikan semua pekerjaan rumah. Aku merasa seperti betina yang hanya memuaskan pejantannya saja. Kembali semua hanya sebatas tugas seorang istri.

Sudahlah. Itu memang tugasku. Tugas seorang wanita. Tugas seorang istri pada suaminya. Semua demi kebaikan kehidupan rumah tanggaku.

Semua berjalan baik, sangat baik, seperti yang selalu diajarkan Ibu dahulu. Merawat rumah, menyiapkan kebutuhan suami, merawat anak, adalah tugas mulia seorang istri. Perempuan Jawa itu harus siap melayani suami di ranjang dalam kondisi dan situasi bagaimanapun. Yang penting dia puas dengan layanan kita. Jangan banyak meminta, jangan banyak menuntut. Istri yang baik tak akan membantah perkataan suami, begitu pesan Ibu yang selalu diulang-ulang di setiap kesempatan.

Tak pernah kusangka jika semua keyakinanku bisa goyah. Aliran air yang tenang itu bisa beriak ketika kudapati kesan yang berbeda saat Hana—teman semasa kuliahku—bertandang ke rumah.

Sejujurnya aku iri melihatnya. Bukan karena materi yang dia miliki, aku punya segala fasilitas yang dimilikinya. Mas Prapto menyediakan semua kebutuhanku tanpa kupinta. Aku merasakan nuansa bahagia ketika berada di dekatnya. Ada semangat yang membuat senyumannya terasa hidup. Bahasa tubuhnya ringan tanpa beban.

Demi menebus rasa penasaranku, kuberanikan diri bertanya perihal kehidupannya.

“Kunci bahagia itu gampang,” ucapnya sambil mengerlingkan sebelah matanya.

Aku duduk menatapnya dengan harapan besar dia akan mengucapkan sebuah kata ajaib yang mampu mengubah segala kehidupanku yang biasa-biasa saja atau malah cenderung hambar.

“Seks.”

Mataku melotot mendengar perkataan Hana. Apa-apaan ini? Bagaimana bisa dia mengucapkan sebuah kata tabu dengan seringan itu.

“Dari dulu kamu memang suka melantur.” Aku berkilah.

“Aku serius, Nyonya. Memang kamu gak menyukainya? Kamu masih normal, kan? Jangan-jangan kamu lesbi lagi?”

“Ih apaan. Gak, lah!”

“Berapa kali kamu seminggu?”

Aku menolak tatapannya, aku tak ingin melanjutkan obrolan ini yang sudah melampaui batas.

“Apaan, sih?”Aku melengos. Hana menggenggam tanganku dan menarik daguku agar menatapnya.

“Aku serius. Jangan bilang kamu jarang melakukannya.”

Haruskah kujelaskan apa yang kurasakan tentang seks. Semua hanya sebuah ritual pelayanan seorang istri pada suaminya. Ah! Sudahlah. Kukira memang begitu yang dimaui Mas Prapto. Buktinya dia tak pernah protes dengan segala layananku. Kami baik-baik saja dan tak pernah ada konflik yang berarti selama ini. Ini batas aman bagiku. Kurasa tak perlu terlalu membahas hal tabu ini lebih jauh dengan Hana.

“Baiklah, Putri Keraton. Mana ada sih yang lebih rapat dari mulutmu. Percuma aku bicara panjang lebar. Nih aku ada buku, kamu baca, ya.”

Aku menerima sebuah buku darinya.

“Bukan buku petunjuk bercinta sih, cuma di buku itu kamu akan mengerti ada sisi-sisi perempuan yang berbeda dari yang selama ini kamu tahu.”

Tanganku masih terbuka setelah menerima buku itu. Aku tak tahu harus bersikap macam apa pada Hana. Haruskah berterima kasih atas kepeduliannya atau marah atas kesoktahuannya tentang kehidupanku. Aku masih menggenggam buku di tanganku sampai sahabatku keluar dari pintu dan melambaikan tangan ketika mobilnya beranjak menjauh.

Buku itu bersampul abstrak. Aku tak paham mengapa penulisnya memilih perpaduan warna yang sama sekali tak serasi. Hitam, biru, cokelat, merah, semua warna yang saling berseberangan dan tak nyaman di mataku. Aku mulai membuka lembar sampulnya. Selarik kalimat pembuka yang membuatku ingin membuka halaman berikutnya: Tak ada seorang pun memilih untuk tidak bahagia.

Aku melanjutkan bacaanku ke lembar-lembar berikutnya.

Anda pasti pernah ditanya, “Mana yang terpenting, kualitas atau kuantitas?” Anda mungkin menjawab kuantitas. Anda mungkin menjawab kualitas. Tapi bisa jadi Anda tak bisa menjawab. Karena Anda tidak tahu. Kenapa bisa tidak tahu? Karena Anda perempuan. Kenapa kalau perempuan tidak tahu? Karena alat kelamin perempuan tidak seperti laki-laki

Sampai di sini aku menghentikan bacaanku. Aku tak yakin akan melanjutkan atau menyudahinya.

“Bicaralah sesekali dengan suamimu. Mukamu sungguh tampak tertekan gitu,” pesan Hana yang masih terngiang di telingaku.

Kalau harus bicara dengan Mas Prapto, aku harus memulai dari mana dulu. Kami jarang sekali berbincang menjelang tidur. Ranjang hanya sebuah tempat untukku melayaninya. Kupikir berbicara terlalu lama hanya menambah durasi tugasku. Bisa jadi yang salah adalah diriku, bukan Mas Prapto, karena aku perempuan.

***

Kepalaku masih terus berdengung dengan segala pertanyaan yang tak juga mendapat jawaban. Hingga malam harinya menjelang isya aku mendengar obrolan Mas Prapto dengan temannya di ruang tamu.

“Memang sih, perempuan itu kalau sudah kawin cantiknya ilang. Gairahnya gak ada. Sudah layu. Kita jadi suami juga jadi serbasalah. Wajar ketika Pak Imran memilih main aman dengan Letisia, sekretarisnya. Bisa saja dia bosan, Men,” ucap Mas Prapto yang dilanjutkan dengan tawa mereka bersama.

Bagaimana suamiku bisa bicara seperti itu. Apakah begitu yang dia pikirkan tentangku selama ini? Atau itu hanya pendapat secara umum saja?

“Tapi istrimu cantik lho, Brow. Masih ramping meski sudah ada dua anak,” sahut temannya. Aku masih bertahan, menahan nyeri di dadaku. Aku penasaran dengan kelanjutan obrolan mereka.

“Halah! Kamu itu. Kamu gak tahu karena belum kawin. Aku yang tidur sama dia. Aku yang tahu rasanya seperti apa, kayak nidurin guling,” Mas Prapto memelankan ucapannya, “dia bahkan gak mau gerak sama sekali, apalagi meminta sesekali. Tapi ya sudahlah, adanya ini.”

Kembali mereka tertawa. Mereka seperti membicarakan lawakan lucu dan itu adalah aku.

Kalian tahu rasanya ditusuk tapi tak berdarah? Tusukan itu tepat di ulu hati, menancap dalam sekali. Rasanya sakit setiap kali aku menarik napas. Aku menimbang akan bereaksi apa pada Mas Prapto, tapi kuurungkan masuk ke ruang tamu. Aku memilih sofa di ruang tengah. Meremas dadaku dan aku menangis.

Tak pernah aku mengira kalimat itu bisa keluar dari mulut suamiku.

Buru-buru kuseka air mataku ketika mendengar suara langkah mendekat. Aku beranjak menuju dapur lalu mencuci muka. Aku tak mau ada yang melihatku terpuruk. Tidak suamiku, anak-anak, atau orang lain.

“Ning, kamu menangis?” Aku menggeleng. Berusaha secepat mungkin pergi dari hadapan lelaki ini.

Terlambat, dia sudah lebih dulu menarik tanganku. “Prapto memang bodoh,” rutuknya.

Aku terjatuh tepat di dadanya. Dada yang sempat menjadi sandaran di masa lalu. Ada getar yang merayap ke seluruh tubuhku. Sekuat tenaga kutarik tanganku, dia masih kekeh menggenggam tanganku. Aku melipat siku kananku dan berusaha menariknya. Tangan kirinya malah menyentuh wajahku. “Lepas!” bentakku tertahan.

“Tak seharusnya lelaki itu menyia-nyiakanmu, Ning. Kamu itu berharga.”

Seharusnya aku berteriak saat kusadar dia sudah memelukku. Tapi ada luapan di dalam diriku menahan mulutku tetap rapat. Belum pernah aku merasakan hasrat sekuat ini ketika bersama Mas Prapto.

Aku mengerti kenapa suamiku menilaiku tak menarik. Kukira aku telah memberi yang terbaik. Puncak kesuksesan seorang perempuan adalah ketika dia mampu memberi kesempatan pria menikmati tubuhnya dengan pasrah. Kupikir titik tertinggi seks adalah lenguhan panjangnya. Tapi itu semua ternyata salah.

Aku menggelinjang saat bibir lelaki itu menyentuh leherku. Aku ingin memekik tapi kutahan dengan menggigit bibir bawahku. Hatiku menolak tapi tubuhku merespons dengan cara yang berbeda.

“Kau lihat, bahkan sedikit sentuhan saja bisa kurasakan tubuhmu bergetar.”

“Cukup!” Dengan napas yang hampir tak tersisa aku melepas diriku. Ini tak boleh dilanjutkan. Ini gila. Ini pengkhianatan. Seperti apa pun penilaian suamiku tentang diriku, tak seharusnya aku menodai tubuhku sendiri.

“Berhentilah berpura-pura, Ning. Aku tahu kau merasakan hal yang sama. Kau juga merindukanku.”

“Tidak! Tidak! Kamu hanya masa lalu.” Aku berlari menjauhi lelaki itu. Aku harus pergi. Aku harus menguatkan diriku.

***

Rumah besar ini terasa sesak pagi ini padahal semua penghuninya telah pergi satu per satu, menyisakan hanya diriku.

Aku mulai sepakat dengan Hana, mungkin benar kata ajaibnya. Kata yang selama ini kuhindari untuk dibicarakan adalah kunci kebahagiaan rumah tanggaku.

Kuraih buku yang tergeletak di meja kamar. Kali ini aku akan lebih serius membacanya. Batas-batas yang membuatku dan suamiku menjadi asing hingga tahun ketujuh pernikahan kami. Aku tak mau hanya dianggap guling. Aku tak mau dianggap tak punya rasa. Aku berhak mendapat rasa yang selama ini selalu digaungkan semua orang. Aku berhak mendapatkan gairah yang hebat itu. (*)

¹ Dikutip dari buku Djenar Maesa Ayu, Nayla (halaman 77).

Malang, 20 Agustus 2020

Lutfi Rosidah, perempuan pemalu yang penuh gairah.

Tantangan Lokit adalah perlombaan menulis cerpen yang diselenggarakn di grup KCLK.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply