Tentang Sebuah Handuk dan Omelan
Oleh: Fitri Fatimah
Jadi saya kemarin entah kenapa sedang rajin. sehabis mandi dan handukan, saya tidak langsung melempar handuk itu sembarang—seperti biasanya—tapi bahkan menjemurnya ke pagar di halaman. Karena cuacanya sedang cerah dan supaya tidak apek, pikir saya.
Sebenarnya alasan lainnya, dan yang paling besar, adalah karena saya sudah malas harus selalu mendengar cerewetan Ibu soal “bahwa gadis itu seharusnya rapi”. Bahwa baju ya habis dijemur langsung lipat dan masukkan lemari, jangan malah ditumpuk di kursi. Bahwa ya handuk habis dipakai, bentangkan atau cantolkan ke paku. Sempat saya menyanggah Ibu, saya bilang kalau baju-baju dari jemuran itu memang pasnya ditaruh di kursi, nanti enak saya mudah ngambilnya, tinggal tarik, tak usah buka lemari. Tapi lengan saya langsung kena sabetan kain lap. Padahal tadi saya cuma bercanda.
Oh dan soal handuk juga. Padahal saya cuma sedang sangat terburu-buru dan ya … kan itu cuma handuk. Bukan kompor gas yang kalau ditinggal akan berpotensi meledak. Itu hanya handuk yang basah. Saya bisa mengurusnya nanti. Tapi selalu saja Ibu langsung memburu-buru saya dengan omelannya yang panjang lebar, lagi-lagi masih tentang “bahwa gadis seharusnya rapi”. Bahwa handuk paling tidak dibentangkan di bawah matahari, supaya tidak lembab dan menyimpan kuman. Jangan jorok. Tapi karena pada dasarnya saya bebal, maksud saya, saya sudah terlambat, dosen hari ini lumayan killer. Dan apalah soal handuk dibanding absen saya yang terancam kosong. Jadi kembali saya abai.
Hanya saja, lama-lama saya mulai lelah. Meski mestinya handuk ini cuma masalah sepele, tapi omelan-omelan Ibu yang terus berlanjut dan bikin terngiang-ngiang, saya serasa dikejar-kejar, seperti punya hutang. Jadi akhirnya saya mencoba mematri ke pikiran soal handuk ini.
Jadi keesokan harinya, setelah penuh tekad, akhirnya saya tidak lupa. Setelah mengeringkan rambut dengan kain tebal itu, saya pergi ke halaman lalu menjemurnya di pagar. Nah, kalau sudah begini Ibu pasti tidak akan punya alasan untuk mengomeli saya. Dia bahkan mungkin aku memuji.
Tapi siapa yang bakal tahu bahwa pagi hari saya tidak lupa, malam penyakit lupa saya kambuh lagi. Saya lupa soal handuk itu dan malah tidur dengan nyenyaknya. Baru ketika pagi, ketika dengan sempoyongan saya mau ke kamar mandi, saya mencari-cari di sepenjuru kamar, tapi tak bisa menemukan handuk itu. Bahkan sudah saya nyalakan lampu—membuat mata saya yang masih lengket dengan belek otomatis menyipit. Saya kira mungkin ada di tumpukan baju kotor saya di sudut kamar, atau di kepala ranjang, ya? Tapi Setelah saya mencari-cari hingga rasanya saya memutuskan untuk menyerah saja, tak apa-apa saya tak usah keramas biar basahnya tak terlalu banyak, tapi lalu saya ingat. Oh, di pagar halaman.
Saya jadi ingin menepuk jidat.
Saya buru-buru berjalan ke halaman, kalau ketahuan Ibu bisa tambah panjang omelannya.
Langit masih hanya samar-samar ada semburat pagi matahari.
Tapi selepas dari membuka pintu depan dan melangkah ke lantai halaman, saya tahu dini hari memang akan basah oleh embun, bahkan handuk yang awalnya saya niatkan supaya kering itu pasti sekarang sudah tambah lembab tak tanggung-tanggung, hanya saja ketika kaki saya melangkah di lantai semen, saya berpikir, bahkan meski sisa bangun tidur membuat pikiran saya masih berkabut, masak embun bisa membuat halaman jadi sebasah ini? Mata kaki saya tercelup dalam genangan air.
Saya menunduk. Di halaman, di lantai yang berkubang-kubang, ada genangan air. Semalam … hujan?
Aduh, mati saya.
Saya buru-buru melangkah ke pagar. Segera menyambar handuk yang beratnya jadi berkali-kali lipat. Aduh, hujan lebat sangat ya semalam? Ini berapa galon air yang ditampung handuk?
Saya memeras handuknya dulu. Langsung saja air mengucur banyak.
Kali ini saya kembali ke dalam rumah dengan langkah mengendap-endap—persis seperti mau maling.
Tapi sebelum saya bisa bernapas lega, Ibu rupanya sudah berdiri di ambang pintu, berkacak pinggang. Dan sepertinya saya berhalusinasi, tapi saya barusan seperti melihat asap dari dengusan napas hidungnya.
Mati saya.
Dini hari itu, bahkan suara omelan Ibu bisa terdengar hingga beberapa radius jauhnya. (*)
Sumenep, 12 April 2019
Fitri Fatimah, kelahiran Sumenep, suka membaca dan mencoba menulis.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata