Tentang Roti dan Penyesalan
Oleh: Pipit
Terbaik ke-13 lomba Melanjutkan Cerita
Aku memandangi sekawanan lalat yang mengerubungi roti di atas meja dan tak bisa kutahan diriku untuk mengingat kejadian lima tahun lalu. Iya, lima tahun lalu, tetapi semua masih terasa sama. Roti yang sama, lalat-lalat yang sama, bau apak yang sama, dan suasana pagi yang sama di setiap hariku.
Mungkin sulit dipercaya roti yang kumaksud memang berusia lima tahun. Meskipun begitu, anehnya semua masih tampak sama seperti kali pertama aku menemukannya di meja makan dan sudah dikerubungi lalat. Aku tak memaksa agar kau percaya ceritaku, tetapi cobalah sesekali mampir ke rumahku, kau bisa melihat langsung bagaimana keajaiban-keajaiban pada roti itu. Roti yang aneh. Ada sekumpulan lalat yang jumlahnya tak bertambah dan tak berkurang selama rentan waktu lima tahun. Aku menghitung dengan baik dan mengingat jumlahnya. Ada juga barisan semut yang mengangkut roti ke bawah, persis dekat kaki meja, mereka berkumpul dan makan bersama di sana. Ada pula jamur pada roti, yang kalau malam hari, ketika lampu aku matikan, jamur itu menjelma menjadi kunang-kunang. Mereka beterbangan di sekitar roti, menimbulkan kemilau yang membuatku takjub, cantik sekali, dan untuk sesaat aku tak melihat lalat-lalat, entah bersembunyi di mana mereka.
Awalnya aku juga tak percaya dengan apa yang kusaksikan. Bagaimana mungkin jamur-jamur halus berwarna kelabu itu menjelma menjadi kunang-kunang dan roti seperti tak habis dimakan waktu. Padahal, sudah lima tahun berlalu.
Bila kukatakan lagi keajaiban lainnya kau pasti meragukanku. Bahwa di antara puluhan kunang-kunang itu, ada seekor kunang-kunang betina yang selalu mendekatiku, kalau aku sentuh, ia akan menjelma menjadi seorang perempuan cantik. Sangat cantik. Kecantikannya seperti almarhum istriku. Apa kau percaya?
Ah, kau tentu tidak percaya!
Akan tetapi, baiklah, aku tak lagi peduli dengan hal itu, kau percaya atau pun tidak! Itu bukanlah urusanku. Sekarang yang terpenting bagiku adalah bagaimana aku bisa membuat malam yang gelap dan dingin setiap hari. Tanpa siang yang terang agar aku bisa berlama-lama dengan perempuan jelmaan kunang-kunang. Kau tahu? Aku sudah memohon kepada Sang Pencipta untuk menciptakan malam lebih lama, berkali-kali lipat lama waktunya dibandingkan siang, tetapi doaku tidak dikabulkan.
Sekarang, kau malah menasihatiku, mengatakan bahwa pergantian siang dan malam adalah tanda kebesaran Sang Pencipta, dan aku, kau sebut-sebut seperti orang kehilangan akal. Oh, sungguh semua itu tidak benar.
Setelah lama merenung akhirnya aku memutuskan membuat malam dengan caraku sendiri yaitu membawa sepiring roti itu ke ruangan yang gelap. Benar-benar gelap hingga aku tak bisa melihat jariku sendiri, tetapi jamur-jamur halus yang tampak rapuh itu tak bereaksi apa-apa. Tidak ada jelmaan kunang-kunang meski aku mengurung roti berhari-hari di tempat gelap, dan saat malam tiba anehnya kunang-kunang tak juga datang. Apa mungkin ia merajuk karena dikurung? Ah, aku benar-benar cemas, bagaimana kalau ia tak lagi datang menemani malam-malamku.
Maka keesokan harinya, aku kembali meletakkan roti ke tempat semula, lalat-lalat mengikuti seperti aroma apak pada roti yang tak mau pergi.
“Maafkan aku. Aku berjanji tak mengulanginya lagi,” kataku hati-hati.
Akan tetapi, sejak saat itu, aku tak menemukan keajaiban pada roti. Roti yang mulanya disiapkan almarhum istriku untukku itu kian hari tak lagi menampakkan tanda adanya kunang-kunang. Justru yang terjadi lalat-lalat berkembang biak dengan cepat, jamur-jamur menebal dan menghitam, semut-semut hilang entah ke mana, berganti dengan para belatung yang terlihat seperti parutan ampas kelapa dan membuat aroma roti menjadi busuk, tetapi aku masih mengharapkan keajaiban. Kubawa roti itu ke tempat tidur, kubelai dan kucium meskipun ia tampak begitu kotor. Oh, lihatlah, betapa sekarang aku takut dengan kehilangan, tak peduli seberapa rakus aku pada sesuatu yang kotor sebab begitu dalamnya penyesalanku. Jika saja aku menyempatkan diri melahap roti itu, atau memakannya dalam perjalanan mungkin roti tak menuntut haknya, atau juga aku mengabaikan pesan dari wanita-wanita lain mungkin istriku tidak merajuk dengan lari ke rumah mertuaku, namun di perjalanan ia mengalami kecelakaan hingga meninggal, mungkin kalau istriku masih ada, ia pasti menyajikan roti yang baru dengan selai kacang yang baru pula.
Kini, masih di piring yang sama, di sisi kiri meja yang sama pula, aku membujuk roti sambil sedikit bersungut-sungut. Hidup dalam kata kemungkinan-kemungkinan yang tidak bisa diubah sungguh melelahkanku. Karena itulah, aku katakan dengan jujur bahwa aku tidak ingin kehilangannya. Aku cemas. Sebab rotiku kian hari semakin mengecil seperti berpindah ke perut-perut belatung yang terus menggelembung. Aku tidak mau rotiku habis sementara, kumpulan lalat kini tidak hanya beterbangan, mereka juga mengeluarkan larva di sekitar piring roti, di samping televisi, di kursi, di lantai, dan hampir memenuhi sudut rumahku.
Aku takut. Benar-benar takut hingga membuatku tak bisa mengontrol diri. Aku berteriak-teriak sambil membunuh lalat. Aku kelelahan, tetapi entah kenapa tubuhku tak mau diajak istirahat. Semua lalat dan belatung itu harus cepat-cepat mati. Aku terus memburu mereka, membunuhnya satu per satu. Akan tetapi, aku kewalahan, lalat-lalat itu balik menyerangku. Aku terbaring pasrah, tak berdaya. Seperti ingatan yang ditabrak kenangan, dan semua kenangan itu adalah tentang istriku.
Sekarang kau melihatnya, bukan? Lalat itu tidak hanya mengerubungi roti, tetapi juga aku.
Jambi, 28 Juni 2024
Event lomba Melanjutkan Cerita ini diselenggarakan di grup facebook Komunitas Cerpenis Loker Kata.