Tentang Rasa
Oleh: Ketut Eka Kanatam
Alunan merdu dari saksofon mengiringi langkah mempelai wanita menuju pelaminan. Akad nikah sekaligus resepsi dilaksanakan di lapangan terbuka dengan latar danau dan pegunungan yang menghijau. Sebagai latar, pemandangan yang ada mampu membuat semua tamu undangan berdecak kagum. Sama seperti sekarang, mereka tidak bisa memalingkan wajah saat menatap mempelai wanita. Pengantin wanita terlihat cantik dengan memakai gaun berwarna putih yang pas di badan. Penampilannya terlihat begitu anggun tanpa riasan yang berlebihan. Dia terlihat sangat menikmati momen kala para undangan menatap dirinya tanpa berkedip.
Aku mengabadikan semua momen itu dengan perasaan campur aduk. Bagiku, pernikahan ini terasa lain daripada yang lain.
Pengantin wanita adalah sahabatku. Dia berani memilih pesta di lapangan terbuka seperti ini, saat musim hujan. Dia sukses membuat para undangan menikmati acara, terutama anak-anak yang bebas lepas berlarian kesana-kemari tanpa perlu mendengar teguran dari orangtuanya. Bagusnya lagi, begitu acara dimulai, anak-anak tersebut tidak lagi berceloteh dengan riang. Seperti para orangtuanya, mereka pun ikut terdiam, hanyut dalam suasana syahdu.
Semesta juga mendukung acara pernikahan ini. Awan menghitam yang sempat kukhawatirkan perlahan-lahan menghilang. Biasanya, hujan lebat merupakan pemandangan sehari-hari di daerah puncak ini. Kini, cuaca terlihat secerah baju abu-abu yang dipakai para anggota keluarga mempelai pria maupun mempelai wanita.
“Bagus, ya, konsep acaranya? Yang punya hajat terlihat kompak.”
“Ya, bagus sekali. Pengantinnya juga terlihat cantik.”
“Aku tahu, pernikahan seperti ini yang kamu impikan, kan?”
Begitu mendengar ucapannya, aku tersentak, tidak lagi bisa menanggapi seperti tadi. Apa yang dikatakannya terdengar begitu wajar tanpa ada kesan hendak menggodaku. Tetap saja aku merasa kelabakan menanggapinya. Apa yang ada di pikirannya sampai berkata seperti itu? Apa dia bisa menebak isi hatiku? Kenapa harus dia yang bertanya seperti itu kepadaku?
Wajahnya terlihat begitu tenang, seolah-olah apa yang baru saja diucapkannya itu adalah kata-kata yang biasa diucapkan oleh para tamu ketika mengomentari sepasang pengantin di sebuah acara resepsi. Bagiku, pertanyaannya itu mengandung banyak makna. Apakah Bram ada hati padaku?
Sejak beranjak remaja, Ibu berulang kali memberitahuku, ketika seseorang bisa mengatakan apa yang sedang kita pikirkan, maka dia adalah orang yang patut dihargai. Bisa jadi, orang itu adalah belahan jiwa kita. Apakah kini perkataan Ibu itu bisa aku buktikan dengan lelaki ini? Ini sudah yang kesekian kalinya dia melakukan hal yang sama. Dia memahamiku.
Ada keringat mengalir di wajahku. Seharusnya, keringat ini tidak mungkin muncul karena sinar matahari tidak terlalu terik di pagi menjelang siang hari ini. Lapangan ini dikelilingi oleh danau yang luas dan pegunungan dengan pohon-pohon yang berusia ratusan tahun. Hawa dinginlah yang dominan kurasakan sejak menginjakkan kaki di lapangan berumput ini. Bahkan, sempat muncul rasa sesal di hatiku. Kenapa tadi memilih memakai gaun berlengan pendek dengan panjang cuma sampai selutut? Aku merasa salah kostum ketika berhadapan dengan para tamu yang lainnya yang terlihat nyaman dengan gamis dan kerudungnya.
Sejak tadi, aku berusaha menahan diri agar tidak terlihat menggigil ketika rasa dingin perlahan menyelusup ke tulang. Eh, begitu lelaki di sampingku bicara seperti itu, aku langsung salah tingkah. Merasa malu sendiri, aku segera menghapus keringat itu dengan tisu.
Sepertinya, aku bereaksi terlalu berlebihan. Bram tidak terusik sama sekali begitu aku mengalihkan pandangan kepadanya. Biasanya dia akan membetulkan kacamatanya begitu aku menatap sekian lama. Saat seperti itu di mataku dia sedang grogi. Dia menyadari aku memperhatikannya dengan saksama. Sekarang, tidak ada reaksi seperti itu. Dia malahan asyik memperhatikan mempelai pria yang sedari tadi sudah menunggu di atas panggung. Pengantin pria itu berulang kali memperbaiki posisi berdirinya. Dia bersiap menyambut kedatangan pengantin wanita. Pengantin yang terlihat tidak terburu-buru saat mendatanginya, masih sibuk melempar senyuman ke arah kami. Sangat berbeda dengan sikap laki-laki berjas hitam di panggung yang terlihat begitu tegang. Dia berulang kali mengusap dahinya memakai sapu tangan.
Kalau dipikir-pikir, keadaan mereka mirip seperti keadaan kami. Bedanya, aku merasa seperti pengantin pria. Perasaanku menjadi tidak menentu begitu mendengar tebakannya yang seratus persen benar.
“Lihat ke pengantinnya, La! Nanti nyesel kamu. Momen pentingnya di sana, bukan di sini.”
Ucapannya membuat aku segera mengalihkan pandangan. Entah kenapa, ucapannya membuatku menjadi salah tingkah. Apakah dia tahu aku sedang memperhatikan dirinya sambil memikirkan yang macam-macam? Semoga saja tidak.
Tidak ada apa-apa di antara kami. Selama ini, dia selalu baik kepadaku. Hari ini, dia menawarkan diri mau menemaniku di acara ini semata-mata karena kami rekan kerja dan rumahnya searah denganku. Seharusnya aku berterima kasih untuk hal itu dan tidak mengharapkan hal yang lebih daripada itu.
“Dari tadi aku emang lagi ngabadiin momennya Ranti, kok.”
Aku segera menyibukkan diri dengan ponsel, mengambil video acara yang sedang berlangsung di atas panggung.
Kini aku beralih merekam pemain band yang ada di sisi panggung. Juga mengabadikan pemandangan pegunungan yang ada di samping kananku. Aku tidak memilih pemandangan danau karena berada tepat di sisinya. Jangan sampai dia bisa menduga apa yang sedang kupikirkan saat ini jika kembali menghadap ke wajahnya.
Aku merasa lega, tidak ada tanggapan lagi dari dirinya. Setelah sekian lama, tiba-tiba saja dia meraih dan mengenggam jari-jariku.
“Dingin sekali telapak tanganmu, La.”
Biasanya, aku akan segera menarik tangan begitu ada yang berusaha memegangnya. Kali ini aku membiarkan tindakannya. Ada rasa hangat ketika berada dalam genggamannya.
Aku kembali tertegun saat dia menarik tanganku agar berdiri. Aku tidak mendengar ucapan pembawa acara yang mempersilahkan kami untuk menikmati hidangan yang ada di meja panjang di pinggir lapangan.
“Aku yakin, kamu bisa bikin acara lebih bagus dari ini, La. Kamu akan menjadi pengantin yang cantik dan anggun.”
Aku berhenti, tidak lagi mengikuti langkahnya. Dia mencoba kembali menarikku. Aku menahannya, meskipun remasan tangannya membuatku hampir tidak bisa menolak ajakannya.
“Dari tadi, kamu terus saja ngomong yang aneh-aneh. Siapa juga yang sedang mikirin itu?”
Kubantah ucapannya. Dia tidak boleh tahu kalau aku sedang kebingungan dengan segala ucapan dan sikapnya. Bram hanya tersenyum menanggapinya.
Sadar, jangan terpancing! Kata-kata itu terus menggema di benakku. Kuyakinkan diri bahwa hari ini, Bram ada di sampingku hanya kebetulan saja. Dia menawariku untuk duduk berdampingan. Kami tidak berdua datang ke acara ini. Ada beberapa teman lagi yang diundang oleh Ranti. Mereka memilih duduk berpencar, mencari tempat yang bagus untuk swafoto.
Merasa jengkel begitu melihat senyumannya itu, aku kembali ingin mengatakan sesuatu. Sayang, tidak ada kesempatan lagi. Teman-teman yang lain sedang menghampiri kami.
“Ayo, kita makan.”
Tanganku segera dilepaskan oleh Bram. Dia menyapa mereka kemudian mengikutiku menuju meja prasmanan yang sudah dipenuhi oleh aneka makanan.
“Ranti terlihat cantik, ya.”
“Cowoknya juga ganteng.”
“Ya, mereka terlihat cocok.”
Aku tersenyum dan mengangguk menanggapi komentar-komentar mereka.
“Hebat peyelenggaranya. Semua disiapkan dengan matang. Kayaknya, makanannya juga enak-enak.”
Kuamati hidangan yang ditata dengan rapi di meja beralaskan kain putih berenda. Semua makanan yang ada di meja itu menggugah seleraku. Aku kembali mengangguk membenarkan penilaian mereka.
“Lobsternya terlihat menggiurkan.”
Tidak ada yang menanggapi komentarku. Mereka berlomba memilih makanan yang disukainya. Tingkah laku mereka begitu lucu persis anak didik yang biasa mereka teriaki ketika berebut mainan. Ternyata, benar kata orang. Adanya makanan lezat selalu sukses mencairkan suasana sekaku apa pun itu.
“Wah, Pak Bram perhatian sekali sama Bu Lala.”
Makanan yang kusukai sudah ada begitu saja di piringku. Bram pelakunya. Tadi, dia juga yang menyodorkan piring yang sekarang kupegang. Satu sendok nasi juga telah diambilkan olehnya.
“Bu Lala sama Pak Bram cocok nih kita jadikan pasangan.”
“Sepertinya, kita akan kondangan lagi, nih.”
“Pasti itu! Aku yakin, acara mereka tidak akan lama lagi. Bagaimana, Pak? Setuju kan, dengan pilihan kami?”
Aku hanya bisa menggeleng melihat tingkah mereka yang meminta persetujuan kepala sekolah, bukan pada kami, korban perjodohan dadakan ini. Rupanya, celetukan mereka kini beralih dari mengomentari pengantin menjadi menggoda kami.
“Kalian jangan ngomong yang macam-macam. Kami tidak mungkin jadi pasangan.”
Aku merasa malu sendiri begitu mendengar bantahan dari Bram yang dikatakan dengan begitu bersungguh-sungguh. Apakah hanya aku saja yang punya rasa ini?
“Wah, sayang sekali. Padahal, kalian itu cocok jadi pasangan.”
“Betul itu. Bu Lala ramah, Pak Bram pendiam. Bu Lala cantik. Pak Bram ganteng. Kalian tidak kalah dengan pasangan di panggung itu.”
“Beneran, lo. Kalian terlihat serasi.”
Mereka berlomba membantah jawaban Bram.
“Lihat, tuh, wajah Bu Lala memerah. Berhenti kalian menggodanya.”
Bram segera menarikku agar menjauh dari mereka. Kali ini, dia mengajakku duduk menjauhi mereka. Aku mengikuti saja semua ajakannya, mulai menikmati hidangan sambil menyimak penyanyi yang sedang berusaha menghibur para tamu undangan.
“Jangan diambil hati ucapan mereka, La.”
Kembali aku mengalihkan perhatian begitu mendengar ucapannya.
“Ya, aku tahu, kok. Santai saja.”
Aku harus jawab bagaimana lagi selain kalimat seperti itu? Dia terlihat begitu khawatir aku akan termakan oleh godaan mereka. Aku masih punya harga diri. Jika Bram mengatakan bahwa kami tidak ada hubungan apa pun selain rekan kerja maka aku akan mengatakan hal yang sama.
Aku harus belajar menata hati. Jangan sampai dia tahu, gara-gara permintaannya baru-baru ini agar kami saling memanggil nama saja saat sedang berbicara berdua telah membuatku merasa diperlakukan dengan istimewa. Aku juga tersentuh ketika dia mampu menebak hal-hal yang sering hanya berputar-putar saja di dalam benakku.
Mereka saja bisa menggoda dan menjodohkan kami, berarti mereka bisa melihat ada sikap kami yang berbeda. Seharusnya, wajar jika aku merasa hubungan di antara kami adalah hubungan yang istimewa. Bram suka sibuk memberi perhatian pada hal-hal remeh-temeh hanya kepadaku.
“Jawab dulu panggilan itu, mungkin penting.”
Piring yang kupegang beralih tangan, menyadarkanku kalau handphone di tas berbunyi.
“Apa acaranya sudah selesai? Acaraku masih lama. Sepertinya, aku tidak bisa menjemput kamu.”
“Belum selesai. Tidak apa. Aku pulang sama teman-temanku saja.”
Kami datang ke pesta ini atas nama rombongan, rasanya tidak pantas kalau pulangnya terpisah-pisah. Meskipun kami beda-beda kendaraan dan aku pulang dengan Bram. Dengan pemikiran seperti itu, aku segera menutup pembicaraan di antara kami.(*)
Bali, 09 November 2022
Editor: Zuhliyana
Bionarasi: Ketut Eka Kanatam, guru TK penyuka warna ungu dan kucing. Sudah membuat beberapa antologi dan satu novel solo. Berharap suatu saat tulisannya dibaca oleh anak keturunannya dan anak didiknya