Tentang Rasa

Tentang Rasa

Tentang Rasa

Oleh : Nuke Soeprijono

Setelah bercerai dengan Mas Budi dua tahun yang lalu, kehidupanku tak banyak berubah. Aku masih bekerja seperti biasa di rumah sakit kota dan sesekali menerima panggilan dari rumah ke rumah via aplikasi sebagai dokter keluarga. Anak-anakku—Roy dan Boy—semuanya ikut dan tinggal bersamaku. Jadi, aku masih bisa mencurahkan segala perhatianku pada mereka. Setidaknya sewaktu-waktu aku masih bisa mendekap mereka atau sekadar membelai dan mencium pucuk kepalanya saat mereka hendak berangkat tidur.

Boy saat itu berada di kelas satu ketika aku mengambil buku rapornya sebelum ketuk palu hakim di Pengadilan Agama terdengar pada sidang terakhir siang harinya. Kini Boy berusia sembilan tahun. Sedangkan Roy, jagoan pertamaku yang paling dekat dengan ayahnya ini sekarang berumur dua belas. Akan tetapi, pemikiran dan ucapan anak itu seringkali lebih dewasa dari usia sebenarnya. Tak terasa waktu berjalan begitu cepat dan aku melihat semuanya baik-baik saja.

Aku seorang dokter umum. Setiap hari banyak bertemu pasien. Entah itu lewat tatap muka di ruang praktik atau sekadar chat konsultasi via aplikasi. Satu yang pasti, aku sangat menikmati pekerjaanku ini. Saat aku bekerja, Roy dan Boy tinggal berdua di rumah. Meskipun anak lelaki tetapi mereka cukup mandiri. Jika aku tak sempat menyiapkan lauk di meja makan, sang kakak tak sungkan lagi membuatkan masakan untuk adiknya. Ya meskipun itu hanya ceplok telur atau mie instan goreng kesukaan mereka. Hal ini membuatku merasa beruntung memiliki mereka; anak-anak yang sehat dan cerdas juga terkadang tak canggung memberi perhatian kecil kepada mamanya. 

Namun, beberapa minggu ini aku merasa Roy sering uring-uringan tak jelas. Dia sering mengusili Boy, hingga sang adik marah dan menangis. Pernah suatu ketika aku mendapati Roy pulang sekolah dengan seragam yang sangat kotor karena habis berkelahi di sekolah. Ah, ada apa dengan putraku itu? Roy dulu termasuk anak yang manis. Kini aku melihat perubahannya begitu drastis.

Hingga suatu malam, aku selesai pulang praktik dan baru tiba di rumah jam sebelas. Aku mendapati Roy dan Boy di ruang tengah. Boy terlihat sudah terlelap di samping buku-buku pelajaran yang tergeletak di karpet. Sedangkan Roy, ia masih menghadap layar TV dengan mata yang masih terbuka lebar.  

Melihatnya membuatku tak menyia-nyiakan momen ini, sebab aku memang ingin sekali membahas perubahan mencolok yang terjadi pada diri Roy. Aku harus bicara. Segera kudekati putra sulungku itu bahkan belum sempat membuka jas snelli sejak dari tempat praktik tadi. Aku segera mensejajarkan duduk dengan badan bongsornya di karpet lalu kutatap ia dengan penuh cinta.

“Roy, tumben belum tidur, Nak?” tanyaku sambil membelai rambutnya yang ikal—gen rambut yang diturunkan papanya, tebal dan hitam legam. 

“Aku sengaja nunggu Mama pulang,” jawabnya pelan. Tatapan matanya masih tertuju pada layar televisi yang menayangkan film aksi luar negeri. 

“Ini Mama udah pulang, gimana belajarnya di sekolah tadi?” Aku mencoba untuk membuka percakapan yang akrab dengan Roy. 

“Baik-baik aja, Ma. Aku juga udah bikin PR sama Boy,” jawabnya singkat. 

“Bagus dong, anak-anak Mama memang pinter-pinter! Tadi udah ma—”

“Ma, aku bosan berdua terus di rumah sama Boy! Aku kangen ada Papa!” potong Roy membuatku terperenyak. Aku terkejut sekaligus tak menyangka anakku akan berkata seperti itu. Bukankah selama ini keadaannya baik-baik saja?

Aku memberinya jatah untuk bertemu Mas Budi sebulan dua kali. Aku rasa itu waktu yang sangat cukup bagi mereka untuk melepas rindu. Pikirku, akan tidak baik efeknya jika mereka sering bertemu. Aku takut Mas Budi akan menghasut Roy dan Boy untuk ikut tinggal dengannya dan pergi meninggalkanku. Aku tentu tidak akan lupa saat kami bertengkar hebat malam itu—Mas Budi selingkuh dan aku memergokinya—yang celakanya Boy malah melihat keberingasan papanya saat menghajarku. 

“Ma, aku tau, Papa memang yang salah udah ceraiin Mama. Aku juga bisa ngerti kalo Mama nggak ngebolehin aku sama Boy nemuin Papa sering-sering.” Roy melanjutkan ucapannya. Kali ini suaranya melemah, serak seperti tercekat pada pangkal tenggorokannya, “tapi aku rindu suasananya, Ma! Aku rindu keadaan masih ada Papa di rumah. Kita dulu sering pergi jalan-jalan ke pantai, ke gunung, bahkan aku sama Papa sering ke kali hanya untuk nyari kepiting air. Ma, mungkin bukan sosok papa yang aku inginkan, tapi kenangannya … aku rindu keadaan seperti dulu.”

Curahan hati Roy kali ini benar-benar seperti palu godam yang menghantam keras tepat di jantungku. Ternyata selama ini aku hanya peduli pada hal yang terlihat saja dan mengabaikan apa yang ada dalam hati Roy—mungkin juga Boy. Di hadapan Roy aku masih diam membisu, belum bisa memberi jawaban bijak atas perasaannya. Aku luruh dan hanya mampu berucap lirih, “Roy, maafkan Mama yang egois ini.”

Tgr, Maret 2021 

Nuke Soeprijono, alter ego yang baru belajar menulis. 

Sumber Gambar: pinterest.com

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply