Tentang Orang-Orang yang Linglung di Suatu Pagi

Tentang Orang-Orang yang Linglung di Suatu Pagi

Tentang Orang-Orang yang Linglung di Suatu Pagi (21+)
Oleh: Karna Jaya Tarigan

Pada satu malam  yang bukan seperti malam-malam biasa … suara langit bergemuruh lebih kencang, seolah memakai sebuah  pengeras suara besar. Badai petir berkilat-kilat dan berkilauan, laksana lidah api yang akan mencambuk-cambuk semua orang tanpa ampun. Sepertinya semua orang akan takut dan lebih memilih berlindung di balik tebalnya dinding rumah. Hujan yang deras akhirnya jatuh dan menambah riuhnya malam, oleh suara yang menampar-nampar atap rumah dan dan rimbun daun-daun.

Tiba-tiba saja petir jatuh tepat di sebuah makam tanpa nama. Hantamannya layaknya satu pukulan godam raksasa yang memorak-porandakan cungkup tanah. Dari balik lubang,  tiba-tiba  menyembul dua tangan yang berlumuran tanah, meraba-raba dan mencari pegangan  kukuh sebagai pijakan. Lalu sesosok mirip perempuan merayap keluar dari lubang, dan duduk mengingat-ingat apa yang pernah terjadi pada dirinya. Matanya kemudian mulai menyala, bersinar penuh amarah. Namun ia berubah tenang kembali, sambil memikirkan cara paling tepat untuk melampiaskan dendamnya. Kemudian ia menarik napas panjang berulang-ulang. Perempuan muda itu berusaha mengumpulkan kekuatannya kembali, setelah bangkit dari masa hibernasi-nya yang sangat panjang. Rambut panjangnya yang menjuntai-juntai liar menyerupai sulur-sulur yang dari sebatang pohon beringin tua. Mengayun-ayun diembus oleh angin malam. Wajahnya memang terlihat kumal dan dekil, penuh daki yang menahun. Seperti sosok seorang perempuan gila berambut gimbal yang sering dijumpai berkeliaran di sekitar pasar tradisional. Meski wajahnya tidak semengerikan wajah kuntilanak yang katanya bisa membuat anjing-anjing liar melolong ketakutan, namun tetap saja sosoknya akan membuat ciut orang biasa yang bernyali sekecil semut.

Kebangkitan perempuan itu akan membuat sebuah cerita baru. Dendam lama yang akan dituntaskan.

***

Keesokan harinya penjaga makam menjadi terkejut. Kuburan tak bernama yang telah ada sejak dua puluh tahun lalu itu, peti jenazahnya telah menghilang tanpa menyisakan sedikit pun sisa-sisa tulang-belulang. Kecuali bekas tanah merah di sana-sini, ia menghilang seperti hantu yang berjalan tanpa jejak di gelap malam.

Bapak tua itu yang biasa disebut kuncen—sebagaimana sebutan penduduk untuk menamakan dirinya yang berprofesi sebagai penjaga makam—berpikir keras. Mengapa makam itu bisa terbelah dan kosong melompong? Apakah Tuhan telah membangunkan penghuninya dan mengangkatnya ke atas langit? Tidak, tidak mungkin! Kuburan  tanpa nama ini hanyalah kuburan seorang wanita biasa yang dikuburkan secara diam-diam. Mayat seorang wanita yang mengalami luka berat pada kemaluan. Sebatang bambu menancap hingga menembus dinding rahimnya. Kematiannya dahulu memang pernah mengundang banyak tanya, benarkah kematiannya bermotif politis hingga harus dikuburkan secara diam-diam. Sebab selain sang kuncen, prosesi pemakaman perempuan itu hanya dihadiri oleh keluarga terdekat dan aparat berwajib saja.

Konon katanya … ia adalah seorang aktivis pejuang wanita. Ada beberapa orang pejabat di pemerintahan yang sungguh tidak menyukai kegiatannya, hingga nyawanya pun harus dihilangkan dengan cara yang sungguh keji dan biadab. “Biar tak ada yang berani mengikuti jejaknya!” Begitu selentingan bisik-bisik yang ia dengar di saat itu. Memang begitulah, dua puluh tahun yang lalu. Saat-saat kebenaran pernah dibungkam dengan kebohongan atau diberangus dengan kekerasan tanpa ampun. Kuncen tua itu tidak tahu, bahwa sebenarnya perempuan itu telah lahir kembali dari rahim yang baru. Ia dibesarkan dalam liang lahat, diberi makan dengan doa-doa yang baik, oleh orang-orang baik pula; orang-orang yang dahulu pernah berempati atas semua penderitaannya. Malam itu ia bermetamorfosis. Menjadi kupukupu penggoda yang sempurna. Entah ada apa dengan maksud Tuhan membangkitkan orang yang telah mati, atau sengaja membangkitkan kenangan-kenangan buruk yang telah dilupakan semua orang.

***

Perempuan dengan rambutnya yang menjuntai-juntai liar itu berjalan nekat menembus malam. Perlahan, wajah dan tubuh yang kotor penuh tanah diseka oleh rinai hujan, memperlihatkan sedikit pendar kecantikannya. Tak ada manusia yang ditemuinya di sepanjang jalan gelap, kecuali dinginnya malam yang mampu membekukan persendian, bahkan orang gila yang telah bertahun-tahun pun, lebih memilih bersembunyi di balik emperan warung-warung yang telah tutup; gubuk kecil di tepi jalan –atau di teras-teras masjid yang pagarnya lupa terkunci. Namun ia berjalan, terus berjalan tanpa sedikit pun keraguan. Mungkin karena Tuhan baru saja mewujudkan satu janji kepadanya: kehidupan sekali lagi. Seperti janji-janji yang telah diucapkan Sang Pemilik Langit kepada orang-orang suci yang telah berputus asa akan satu kaumnya, atau doa-doa orang yang terzalimi yang telah didengarkan. Janji-janji yang selalu ditepati. Dan ini adalah adalah waktu yang tepat: dua puluh tahun setelah kematiannya.

Perempuan itu juga tahu, bahwa waktu dan kesempatan adalah satu simpul yang tidak pernah terikat erat, dan ia bersumpah tidak akan melepaskannya. Seperti dendam yang dibayar lunas. Ia akan menuntaskan dendam dengan caranya.

Sampai langkahnya dihentikan oleh  sebuah mobil double cabin berwarna putih yang berhenti dengan sorot lampu yang benderang menyilaukan. Seorang pemuda keluar dari balik pintu dan menawarkan tumpangan. Mobil itu kemudian melaju kembali, dan keheningan segera menyelimuti jalanan.

***

Suara napas dua orang lelaki yang sedang terengah-engah, menerobos lubang jendela. Suara itu menderu seperti bunyi lokomotif tua yang sedang menarik beban berlebihan. Perempuan tadi—yang rambutnya menjuntai-juntai liar—telah berada di dalam sebuah kamar. Baru saja ia menjelma menjadi seorang bidadari malam setelah dimandikan dua lelaki muda di atas sebuah bathtub. Kedua lelaki belia itu tampak penuh gairah menikmati tubuh perempuan itu. Menyisir setiap lekuk dari tubuhnya.  Inci demi inci. Menjilati permukaan kulitnya yang bening menawan, dan mereka mendengkus tak seperti biasanya. Keduanya bahkan terlihat sama sekali tidak ingin bergantian, seperti dua ekor anjing jantan rakus yang  sedang memperebutkan tulang. Bibir perempuan itu juga mendesah-desah  liar. Menikmati seluruh permainan. Seolah belum pernah menikmati satu sajian yang paling nikmat dari surga. Satu dari dua lelaki muda itu bersandar santai pada dinding sofa. Matanya meredup lemah dan sesekali terbuka, dan  kemudian meredup kembali. Lelaki itu menunggu sesuatu yang ingin dilepaskannya sesegera mungkin, sambil sesekali tangannya membelai-belai rambut sang  gadis. Sedangkan lelaki yang satunya berdiri merunduk, bergerak maju mundur penuh semangat seakan mengendalikan seekor kuda betina liar  Tak lama ketiganya melenguh bersamaan, seperti bunyi klakson mobil yang dipencet berbarengan. Dan setan-setan pun tertawa malam ini. Seolah melihat komedi paling lucu dalam hidupnya.

***

Pagi telah datang. Suara burung yang bercuit-cuit, menyambut datangnya hari baru. Kegelapan belum lama usai, tapi apalah artinya dunia yang menjadi terang benderang, sedangkan kegelapan sesungguhnya telah menunggu dengan gelisah. Kegelapan dengan begitu sabarnya menggoda hati-hati yang kesepian, nafsu-nafsu sedalam lautan; keinginan-keinginan dari alam bawah sadar, dan juga kebencian-kebencian  yang telah menutup mata hati. Bukankah dunia selalu menunjukkan wajahnya yang gelap setiap harinya.

Perempuan serupa bidadari itu telah pergi, entah dengan terbang, berjalan, berlari, merangkak, atau juga dengan cara yang entah. Tak ada yang tahu. Kedua pemuda itu tertidur pulas seakan baru saja usai bergelut dengan seekor ular yang sangat, sangat besar.

***

Beberapa minggu setelahnya, sebuah penyakit baru telah muncul. Bukan tentang sifilis atau raja singa, juga gonnorhea yang biasanya menimpa pada tukang becak, calo terminal, atau laki-laki jorok yang tidak menyukai kondom dan bercinta dengan perempuan sembarangan. Beberapa penyakit di atas adalah penyakit rakyat jelata yang cukup disembuhkan oleh klinik-klinik kesehatan biasa yang bahkan perawatnya bisa sambil tutup mata, menyuntik dengan tepat pada pantat lelaki-lelaki yang sedang sial itu. Penyakit tersebut bukanlah HIV yang mampu dihambat sementara pertumbuhannya dengan menelan beberapa butir pil antiretroviral seumur hidup. Ini bukan penyakit kelamin biasa, bahkan juga tidak bisa dikategorikan sebagai penyakit kelamin. Satu gejala paling awal dari penyakit ini adalah ia mampu membuat lunglai penis-penis yang dulunya mampu melata tegang luar biasa. Penis-penis orang dewasa tersebut mengerut ciut sekecil penis bayi-bayi lelaki yang baru lahir. Dan setelahnya, tak ada lagi kesombongan yang bisa ditunjukkan penderitanya. Penis-penis tersebut hanya berfungsi sebagai aksesoris, sebab ukuran yang mungilnya keterlaluan.

Anehnya, penyakit ini tidak pernah menyerang sembarang orang. Contohnya, beberapa laki-laki yang telah datang ke “tempat-tempat tertentu” dengan perjanjian, adalah mereka yang terlihat mengenakan jas dan berdasi, sosok soleh “jadi-jadian” yang memakai baju putih bersih, atau beberapa orang yang mempunyai wajah tegas dan berwibawa, yang dahulunya tampak pernah memegang kekuasaan. Tempat-tempat tertentu itu adalah  praktik dokter spesialis kulit dan kelamin, psikiater, dukun atau tabib. Mereka yang berprofesi di tempat yang baru saja disebutkan barusan, telah dianggap menjadi “manusia setengah dewa” yang kelak dapat mengobati kegalauan, juga menjanjikan kesembuhan.

Sekumpulan orang itu datang dengan cara mengendap-endap. Sembunyi-sembunyi. Seperti maling yang hendak menggondol televisi milik orang miskin di tengah malam, atau seekor kucing yang telah mengendus bau ikan asin, kemudian menengok ke kanan dan ke kiri, hendak mencuri tanpa ketahuan.

Sekarang mereka mulai dilanda resah, karena penyakit itu kini menimpa teman-teman dan koleganya, bahkan yang mengherankan, juga ikut menyerang keturunan-keturunannya.

Mungkin itu semacam karmapala yang diembuskan Tuhan. Sementara waktu, mereka hanya diam sambil menunggu proses kesembuhan. Tetapi ketika wabah ini mulai menyebar seperti penyakit hepatitis yang menyerang teman-teman lainnya. Ada sebuah teka-teki besar yang terbesit dalam benak mereka. Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah setelah beberapa waktu lalu, orang-orang itu pernah bercinta dengan seorang perempuan misterius dengan cara yang paling menyenangkan dan luar biasa? Ataukah akibat perbuatan-perbuatan buruk di masa yang lalu? Ingin juga mereka bertanya satu sama lain, tetapi jika itu ditanyakan kepada seorang kawan yang paling setia pun, bukankah itu akan membuka aib masing-masing. Tentu tidak! pikir mereka. Meski pada akhirnya mereka juga saling bertanya, setelah membaca satu pesan “curhatan” mengenaskan yang tak sengaja dikirimkan seseorang tanpa nama. Pada akhirnya kesimpulan yang diambil adalah sama: mereka pernah bercinta dengan perempuan yang sama. Itu pun setelah mereka saling membuka kartu masing-masing penuh dengan keraguan.

Didorong atas ketidaksembuhan pada penyakit mereka. Akhirnya mereka ingin mengatakan perihal ini kepada lembaga yang berwenang menangani aspirasi masyarakat. Apalagi mereka merasa pernah menjadi pembela negara dan harus diobati dengan sebaik-baiknya. Orang-orang itu berpikir bila pemerintah juga wajib menanggung biaya pengobatan penyakit tersebut, yang ternyata sama sekali tidak ditanggung oleh asuransi kesehatan negara. Tetapi apa daya, untuk mengatakan yang sebenarnya, bahwa penis-penis mereka yang kini telah menciut adalah satu hal yang paling  memalukan. Sekali lagi. Penis yang menciut! Lelaki mana pula yang akan sanggup mengatakan kekurangannya. Seolah harga dirinya dihilangkan dengan paksa.

Pada akhirnya mereka harus berani mengatakan tentang penyakit misterius itu. Juga atas dasar pemikiran harta-harta mereka yang semakin hari kian menipis. Mereka tentunya tidak ingin diam dan berpangku penis (ini bahasa baru yang digunakan setelah fenomena yang terjadi). Keadilan harus didapatkan. Mereka ingin sebuah pengobatan yang manjur, dan jelas harus ditanggung gratis oleh negara.

***

Halaman parkir gedung megah yang bernama dewan aspirasi rakyat telah dipenuhi oleh kendaraan roda empat. Berbondong-bondong mereka mendatangi tempat itu. Tentunya atas kesepakatan yang telah diambil mereka sebelumnya. Dengan jalan yang tidak tertatih-tatih, tanpa yel-yel yang menggelora yang biasanya diteriakkan pendemo jalanan. Tetapi kedatangan mereka langsung disambut dengan barikade puluhan penjaga keamanan setempat. Seolah-olah mereka hanya dianggap sebagai rakyat jelata yang sedang mengadukan nasib buruknya. Sungguh, kedatangan kaum papa memang tidak selalu diinginkan kecuali saat-saat pemilu menjelang. Tetapi bila mereka orang-orang yang menganggap dirinya telah banyak berbuat untuk negara, diperlakukan dengan tak selayaknya, tentu saja mereka akan murka luar biasa.

Kemudian satu orang di antara mereka yang mempunyai wajah paling tegas dan berwibawa maju ke depan. Ia langsung memegang kendali dan merangkap sebagai juru bicara. Lelaki itu mulai berbicara dengan wajah yang melingar, menebar ancaman seperti yang dahulu biasa ia lakukan. Toh, rasa sugesti seperti itu sering kali ia ciptakan dan selalu berhasil. Barisan penjaga keamanan yang mulanya memasang wajah garang, mulai muncul sedikit keraguan ragu, lalu mereka mundur dan memberikan jalan. Serombongan orang itu berbondong-bondong memasuki pintu Dewan Rakyat yang terhormat. Mencoba mendongakkan kepala meski harga diri mereka telah tercerabut.

Namun … mereka terkejut bukan kepalang ketika memasuki satu ruang luas tanpa pilar. Ada sebuah pemandangan yang sangat tidak biasa, bahkan bisa dikatakan luar biasa. Seorang perempuan yang teramat cantik tampak sedang melayani nafsu bejat beberapa lelaki. Persis perempuan misterius sama yang pernah melayani mereka beberapa waktu lalu. Perempuan cantik itu bahkan menggoyang-goyangkan pinggulnya tanpa lelah dan memainkan jari-jemarinya yang lembut dua arah. Dua hal bersamaan yang seperti itu niscaya tak mampu dilakukan oleh seorang wanita  biasa. Ia melakukannya dengan sangat bersemangat. Kedua lelaki yang sedang dilayaninya mendesah dan berteriak melolong tak karuan. Yang lainnya hanya menatap dengan pandangan nanar dan berdiri dalam satu antrean panjang yang tertib. Sebagaimana pemandangan antrean yang sering dilihat pada gerai waralaba yang menyajikan ayam goreng cepat saji. Antrean itu mengular panjang seperti tubuh ular yang berkelok-kelok. Mereka yang terhormat juga sedang menanti satu kesempatan rekreasi terhebat dalam hidupnya: sensasi paling menggairahkan dari seorang perempuan.

Serombongan orang-orang yang penisnya telah mengerut itu mendadak sembuh. Mereka juga turut melolong seperti anjing jantan belia yang telah memasuki musim kawin. Sesuatu yang mengerut ciut itu tiba-tiba mengacung tegak seperti tongkat pemukul petugas keamanan. Bukannya menyadarkan orang-orang yang sedang tidak waras. Serombongan orang-orang itu malah ikut bergabung dengan antrean. Mereka lupa apa yang telah mereka pikirkan kemarin, dan mendadak lupa juga akan penderitaan mereka kemarin. Mereka hanya ingin kembali ikut serta dalam sebuah permainan seru: anjing menggauli anjing.

***

Pagi telah datang. Suara klakson yang bingar memekakkan kepala mulai terdengar di mana-mana. Perempuan itu telah menghilang. Entah dengan terbang, berjalan, berlari, merangkak. Mungkin dengan cara yang entah. Tak ada yang tahu. Ia sekarang kembali berada di dalam kepompongnya, sebuah makam tempat cerita ini bermula. Hatinya lega. Ia telah menyelesaikan dendamnya dengan caranya sendiri. Mempermalukan orang-orang yang dahulu pernah menyiksanya dengan keji dan biadab. Tak lama kemudian, seorang malaikat yang berwajah suram datang. Perempuan itu hanya tersenyum dan mengangguk lemah. Tenaganya telah tersedot habis. Malaikat itu lalu mengangkat rohnya seperti menarik selarik cahaya. Cahaya itu melesat dalam kecepatan tak terhingga. Hilang, hanya menyisakan makam yang telah kembali seperti semula.

***

Serombongan orang tampak berjalan linglung. Ada yang kebingungan sebab penisnya telah menciut sehabis buang air kecil, ada pula yang kebingungan penisnya baru saja menghilang. Entah apa yang dipikirkan oleh mereka. Mungkin sebagian dari mereka akan diam-diam mengunjungi dokter, dukun atau tabib yang mungkin saja mereka anggap sebagai “manusia setengah dewa”. Atau sebagian yang lain yang merasa putus asa, dan tak yakin akan ada lagi pengobatan yang mampu menyembuhkan penyakit itu. Sepertinya mereka hanya memikirkan sesuatu. Cara kencing yang lebih tepat, seperti seorang perempuan yang sedang pipis sambil berjongkok.

Swiiing ….

Begitu lebih baik, pikir mereka.

Karna Jaya Tarigan, seorang penulis pemula yang bercita-cita ingin mengubah dunia melalui pemikirannya. GongSmash dan Michael Crichton adalah inspirasinya.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply