Tentang Orang Gila yang Memimpikan Perdamaian

Tentang Orang Gila yang Memimpikan Perdamaian

Tentang Orang Gila yang Memimpikan Perdamaian
Oleh: Devin Elysia Dhywinanda

Ketika berita permintaan maaf massal, pembersihan nama, serta penganugerahan gelar pada orang itu viral, saya cuma duduk di sudut kafe, mengetuk dinding kaca yang berembun akibat udara dingin. Saya menghitung, sudah berapa tahun berlalu sejak saya dan dia pertama bercakap-cakap, juga sudah berapa lama dia hidup dalam cemoohan serta sebutan “orang gila”. Ini angka yang cukup banyak, setengah hidup saya barangkali, dan saya seketika teringat perkataan seseorang bahwa sesuatu dapat dikategorikan baik atau buruk, benar atau salah, justru bertahun-tahun setelah ia ada.

Ini barangkali tidak adil. Mungkin juga tidak. Toh, apa yang mesti saya sesalkan dari seseorang yang sudah mati? Tidak ada, ‘kan?

Jadi, saya memilih mengenang─kalau versinya, mengingat sejarah. Ah, dia memang memberikan banyak hal pada saya; menerjemahkan untaian kata untuk saya; mengajarkan untuk menggoreskan warna di atas kanvas putih.

Saya pernah bertanya, mengapa memilih saya? Padahal saya bukan seseorang yang pandai berbicara, bukan mereka yang punya kekuatan untuk mengubah sesuatu. Dia menjawab, karena saya seseorang yang pengertian. Saya mengernyitkan dahi waktu itu, sedangkan dia kembali mengomentari huru-hara yang terjadi akibat perbedaan pandangan menentukan wali kota.

Namun, sebelum larut dalam monolognya, dia berkata, “Karena kau mengerti, mau mendengarkanku meski orang lain mengatakan banyak hal buruk, jadi aku memilihmu.”

Saya jadi ingat. Ketika pertama bertemu, saya masih SMP, sedangkan perawakannya sudah pantas untuk menimang satu anak. Saya tidak menghindar, hanya memandangnya aneh karena ia mengenakan pakaian lengan panjang di musim yang terik. Ia sepertinya mengerti arti pandangan saya sebab tiba-tiba ia bercerita alasannya mengenakan pakaian seperti itu: karena hati dan tubuhnya terlalu sering terluka, ia berkata.

Kenapa. Saya tanya, dan ia menjawab bahwa itu dikarenakan masyarakat kerap menolak apa yang dianggap berbeda. Semua yang tidak selaras harus disucikan, atau kalau tidak dihancurkan, dan seketika orang-orang sudah saling serang dengan senjata tajam, pena, bahkan hal abstrak semacam atas nama cinta. Ia memang tidak selalu di sana ketika konflik tersebut terjadi, tapi tubuh dan hatinya terus saja terkoyak, entah kenapa. “Mungkin karena penolakan mirip dengan patah hati, sedangkan hati sendiri adalah permasalahan universal.”

Meski tidak dapat sempurna memahami, saya merasa dekat dengan perkataannya, jadi saya diam saja. Mendengarkan. Tidak peduli kendati desas desus bahwa dia adalah kerabat gila yang kembali setelah minggat saat remaja; aktivis yang diculik lalu dicuci otaknya; seseorang yang tersesat, dicekoki ajaran aneh di negeri lain, lantas membawanya pulang. Kebenaran adalah apa yang kita lihat, alami, dan saya memercayai hal itu.

Namun, ketika orangtua saya menghardik, memaksa saya menjauhinya agar tidak kembali dicap buruk oleh masyarakat─karena kami, sebagaimana perkataannya, berada dalam golongan “yang berbeda” ─saya pun memahami definisi konkrit dari patah hati.

Saya katakan hal itu padanya─tentang ia yang dicap gila serta tekanan masyarakat akibat keluarga saya yang berbeda─dan wajahnya seketika menjadi teduh. “Mereka benar. Aku memang pergi jauh─terlalu jauh, malah─jadi aku bisa mengetahui apa yang tidak mereka ketahui.”

Ia menengadah ketika ia menambahkan, “Setiap orang dapat diibaratkan sebagai kertas putih, sedangkan perjalanan hidup adalah proses bagaimana kertas itu terisi sesuatu. Tidak ada perjalanan yang persis sama, karena itu isi dari tiap kertas pastilah berbeda: merah, hitam, putih, penuh sajak puitis, bahkan umpatan. Pertanyakan, apakah perbedaan macam itu bisa dianggap sesuatu yang salah?”

Ia berhenti sejenak.

“Apakah kertas penuh umpatan punya kedudukan lebih rendah dari kertas bertuliskan ayat kitab suci? Apakah kertas dengan warna abstrak lebih kotor dari yang warnanya putih? Jawabannya tidak pasti, bahkan bisa saja semua benar berdasarkan perspektifnya masing-masing,” Wajah teduhnya seketika menjadi sendu, “dan itulah … yang sukar diterima masyarakat.”

Seketika, saya ingat pandangan mencemooh orang-orang ketika berbelanja barang titipan Ibu; tawa serta bisikan sinis dari teman-teman; seberapa sentimen masyarakat terhadap beberapa tindakan yang dicap “salah” oleh golongan mereka. Saya ingat kekosongan kosmik akibat menjadi minoritas berbeda serta malam yang saya lalui sambil berpikir, apakah hubungan manusia serupa sekat kaku dengan label di sana-sini? Kemudian, saya mengingat tiap harapan serta doa, memahami maksud perasaan familier ketika mendengar perkataannya sebagai sebuah rasa terima kasih, respons atas penghargaan sederhana yang ia berikan, sekaligus penegasan bahwa ia adalah sosok paling manusiawi … dari kebanyakan orang yang saya kenal, dan karena itu saya menghargainya.

Sejak itu, saya mendengarkan banyak hal. Ia tidak selalu berada di kota─saya baru mengetahui bahwa ia juga punya “murid” lain serta aktif mengimplementasikan idealismenya─tetapi begitu bertandang, lakonnya sudah seperti pendongeng andal. Ia berbicara banyak konsep: cara mengasihi, mengumpamakan tiap orang sebagai diri sendiri, bahkan hal indah seperti perdamaian. Orang-orang masih berlakon serupa, tetapi saya berusaha melakukan perkataannya. Saya sendiri tidak yakin telah sempurna menerapkannya, tetapi melihat senyum orang-orang serta bagaimana ia mengucapkan selamat secara tidak langsung, saya merasa bahwa perubahan bisa dimulai dari hal sederhana.

Sampai suatu hari, masyarakat tersulut atas kesalahan─atau “kejahatan”, dalam versi mereka─dari salah seorang keluarga jauh kami. Kerusuhan terjadi, memporak-porandakan tempat saya pulang, mengambil banyak hal berharga. Orang-orang menggerutu, meludah, merampas … melakukan tindakan amoral lain. Cuaca terik, jam dinding menunjuk pukul satu siang, dan saya terbakar oleh amarah, entah pada siapa. Seorang pria berkumis tebal berkata perbuatan ini didasarkan pada “keadilan” —perkataan itu bergaung sepanjang perjalanan menuju rumah sakit dan saya, dengan tidak tahu malunya, masih bertanya, apakah membalaskan kesalahan seorang individu pada mereka yang tidak tahu apa-apa dapat disebut keadilan? Apakah tindakan amoral atas nama keadilan masih dapat disebut kebajikan?

Benarkah … mereka melakukannya atas nama keadilan dan bukan sifat superior antarkomunitas berbeda?

Ia datang esok harinya. Masih memakai pakaian tertutup, tetapi saya tahu hatinya lagi-lagi patah, sama seperti yang saya rasakan.

Saya berusaha tegar, tetapi gagal. Jadi, di awal usia dua puluh tahun itu saya terisak. “Salahkah bila saya berbeda?”

Kendati tidak menjawab, saya dapat memperkirakan tanggapannya, “Tidak … tidak ada yang salah dari menjadi berbeda.”

***

Orang itu berkata bahwa dia tidak punya nama, jenis kelamin, atau tetek-bengek lain yang memberatkan kaki manusia seumpama bola besi. Katanya, dia hanya punya “dia”. Ini tentu saja abnormal─atau tidak, saya juga tidak tahu─dan dia justru menjawab ketidakmengertian saya dengan perkataan, “Nama, identitas, hanya membuat manusia sombong. Mestinya, kita menanggalkan semua kekitaan kita dan mengakui bahwa semua orang, semua makhluk, itu diciptakan sama.”

“Seseorang pernah bertanya padaku, tetapi bagaimana kita bisa hidup kalau tidak mengenal, tidak punya kendali, atas diri sendiri? Kujawab saja, “kita bisa hidup tanpa itu semua,” Wajahnya lagi-lagi menjadi teduh, “tapi kita terlanjur hidup dengan nama, dengan golongan, dengan komunitas, makanya merasa perlu membela diri, melakukan sesuatu demi harga diri kelompok. Kita merasa telah memiliki kita.”

“Padahal, kalau saja mau memperhatikan, setiap orang adalah kopian dari bagian diri kita: anak kecil dari daerah konflik, remaja pemberontak yang sempat dicap ateis, bahkan orang bodoh yang masih juga menyanyi meski albumnya tidak laku di pasaran. Kita adalah mereka. Memahami hal itu akan membuka banyak pemahaman, termasuk fakta betapa miripnya kita dengan mereka … dan secara tidak langsung membuat kita berpikir bahwa mereka, kita, juga pantas untuk dicintai,” Ada kehangatan familier ketika ia melanjutkan, “dan itulah jalan menuju perdamaian universal.”

Itu adalah perkataan pertama yang saya ingat setelah terjadi kerusuhan.

Sulit rasanya untuk memercayai konsep seindah itu setelah apa yang terjadi─tubuh saya sudah luka parah, sedangkan hati saya sepenuhnya patah. Saya masih mengikuti semua berita tentangnya─ia yang menulis buku, membentuk komunitas, memberikan tempat pulang bagi beberapa korban konflik, bahkan mengusulkan kebijakan kontroversional seputar penghapusan sekat antarkelompok─dan merasakan kehangatan familier muncul bersamaan dengan ego yang merongrong berontak.

Saya katakan ini adalah warna akibat perjalanan hidup yang terlewati, tetapi bagian kecil saya masih juga mengingat ucapannya tentang “kekitaan” beberapa tahun lalu. Jadi, pada satu kesempatan, ketika saya sanggup berinteraksi dengan dunia luar, saya bertanya, “Apa yang membuat Anda berusaha keras, bahkan mau saja terluka berkali-kali, padahal faktanya konsep semacam itu sangat sulit diaplikasikan?”

Ia menjawab, masih dengan ketenangan magis, “Segala sesuatu akan menjadi baik pada akhirnya.”

Hari itu, saya duduk di taman, memperhatikan setiap detail aktivitas: seorang ibu dan bayinya, anak perempuan yang berjalan sambil menundukkan kepala, serta orang-orang berbisik dengan pandangan sinis. Saya tidak tahu hendak berbuat apa. Saya sekadar mencari wajah saya, lantas bangkit: memuji betapa cantiknya bayi sang ibu berkulit kuning langsat; meminta si anak perempuan untuk berjalan dengan wajah tegak karena matahari tidak seterik yang ia kira; menyapa kelompok bersuara pelan.

Ada banyak hal bodoh yang saya lakukan selanjutnya. Beberapa merespons negatif, tetapi saya katakan ini: Kita adalah mereka, kita mencintai mereka, kita mengasihani diri kita sendiri. Dan, seketika saya menangis begitu sampai rumah, entah karena apa─tetapi ketika saya berkaca, saya melihat orang itu di sana, dengan luka yang sama parahnya, dan saya pun menghela napas.

Ya … semua akan menjadi baik pada akhirnya.

***

Ketika saya berumur dua puluh limatahun, orang itu ditangkap dengan dakwaan penyebaran paham ekstrem. Saya memperhatikan dedaunan jati yang gugur─padahal itu adalah bulan September, yang mana sangat dekat dengan awal musim penghujan, sehingga saya berpikir, jangan-jangan alam pun mengamini pemikirannya hingga sudi mengacaukan perputaran musim─dan tidak melakukan apa-apa. Dia pernah berkata bahwa segala sesuatu akan menjadi baik pada akhirnya dan saya menghargai hal itu. Jadi, saya tidak menangis dan memilih mengingat apa yang selama ini dia berikan.

Suatu hari, di September yang justru hujan, setelah publik mengakui pemikirannya dan mulai berbenah, saya pun hanya diam. Alih-alih membuat mendatangi media, membuat konferensi pers, mengatakan bahwa saya adalah salah seorang muridnya─karena ada waktu di mana saya pun meragukan idealismenya─saya memilih mengetuk dinding kaca yang berembun. Saya bertanya. Saya berpikir.

Keadaan seperti ini akan berjalan selama beberapa waktu. Mayoritas barangkali setuju hidup harmonis dalam perbedaan, sedangkan sisanya serupa semut yang berkumpul di bawah kaki manusia. Lantas, di kemudian hari, akan muncul paham baru bahwa keharmonisan yang dia maksud adalah ketika dunia diatur sama persis, tidak kurang tidak lebih, bukan dengan membiarkan warna-warna berbeda melebur dalam satu waktu. Akan muncul golongan fanatik yang mencemooh serta memaksa orang-orang dengan pemikiran berbeda untuk manut, tunduk, pada yang mereka percaya. Akan muncul pertentangan. Akan muncul perbedaan.

Kalau sudah begitu, saya akan ingat perbincangan saya dan ia di sore yang sendu, “Apakah kita benar-benar bisa mewujudkan perdamaian?”

Ia diam cukup lama, memainkan jemarinya, lantas menatap langit jingga. “Apakah manusia benar-benar bisa menjadi orang baik?”

Itu seperti kelemahan pemikirannya, atau keraguannya, atau mungkin justru kekuatannya. Saya tidak tahu. Tapi, ketika membayangkan semua hal itu, saya pun memejamkan mata, bermaksud menikmati semua ini.

Toh, kendati tidak ada perdamaian yang absolut, menyeluruh serta utuh, perdamaian tetap saja perdamaian, ‘kan? (*)

 

Devin Elysia Dhywinanda adalah gadis AB hasil hibridisasi dunia Wibu dan Koriya yang lahir di Ponorogo, 10 Agustus 2001.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata