Tentang KamuÂ
Oleh: Hassanah
”Kamu bahagia gak?”
Kamu terdiam seketika dengan tatapan kosong saat aku melontarkan pertanyaan tiga kata itu di sela-sela leluconku yang tidak lucu. Wajah lelahmu seakan-akan menyorot pada pinus-pinus yang bergumul dalam barisan dan diselimuti kabut tipis. Setelahnya, kamu berkedip dan terkekeh. Kamu juga sedikit menggeleng, tapi aku tidak yakin bahwa itu adalah jawaban atas pertanyaanku. Namun, aku juga sedikit ragu kamu akan menyangkalnya.
”Sesulit itu, ya, buat jawab pertanyaan kecil begitu?” aku meringis dan tiba-tiba menyalahkan mulutku yang kadang-kadang minta diikat–begitu kata teman sekamarku setiap kali lontaran kata dariku terdengar blak-blakan menurutnya.
Lagi-lagi kamu tidak menjawab dan hanya terkekeh, masih dengan tatapan kosong. Tangan kirimu menggenggam cangkir kopi yang masih mengepul sementara aku mengeratkan jaketku sekali lagi. Orang yang duduk di sebelahku–bukan kamu, juga kelihatan mengusap-usap kedua tangannya. Di depan mereka ada pop mi yang diganjal buah pinus kering. Aromanya sedikit membuatku tergiur. Tapi kamu terang-terangan melarangku untuk membelinya akibat operasi usus buntuku enam bulan lalu.
”Enggak usah dijawab kalau tingkat kesulitannya serupa dengan tes awal Prof. Soebagiyo,” ucapku yang sukses membuat tawamu pecah tiba-tiba.
Ya, pengalaman kita dengan profesor satu itu memang penuh dengan rasa sakit yang kini bisa kita tertawakan dengan puas. Mulai dari tes ulang hingga berkali-kali, sampai diusir dari ruangan karena lupa cuci muka sebelum berangkat, lalu paling parahnya, nama kita jadi terkenal seantero kampus karena beliau mengorasikannya tiap-tiap semester baru dimulai. Kalau kata teman sekamarku, kita itu maskotnya Prof. Soebagiyo.
Dan setelah aku memutar kaset kenangan yang patut ditertawakan itu, kamu masih tidak menanggapi pertanyaanku. Tawamu masih hilang-timbul, mungkin karena potongan ingatanmu tentang bagaimana aku yang sering mendadak sakit perut atau sakit kepala atau sakit yang entah bagian mana yang membuatku merasa sakit dan tidak bisa masuk kelas Prof. Soebagiyo itu juga hilang-timbul di dalam kepalamu. Dan aku juga ingat, kamu selalu membuat alasan sedang mengantarkan aku pergi berobat agar tak masuk kelas.
Ya, pantas saja kami disebut maskot Prof. Soebagiyo.
Semilir angin yang membawa embun tipis turun melewati kaki-kaki bukit membuatku lagi-lagi mengeratkan jaket dengan bulu-bulu di bagian leher. Akan tetapi, sepertinya kamu menikmati semuanya: semilir embun tipis, kopi hitam yang kepulannya mulai berkurang, juga aroma kayu pinus yang basah.
Aku jadi ingat bagaimana kamu menikmati cuaca panas di bulan Juli tiga tahun lalu. Peluh-peluh di tubuhmu tidak mengganggumu sedikit pun. Kamu menatap luasnya hamparan laut yang menyilaukan di bawah ganasnya matahari siang itu. Ketika rombongan kelas kita sibuk menempelkan botol-botol es pada tubuh mereka, kamu hanya sesekali menenggak es kelapa muda di sebelahmu. Kamu duduk di atas selembar kain di atas pasir dengan menopang kedua tanganmu di atas kedua lutut. Sesekali kamu menoleh pada keributan yang ada aku di dalamnya, di bawah jajaran pohon pinus. Entah siapa yang menarik perhatianmu, tapi aku selalu berdebar.
”Bagaimana denganmu?” Tiba-tiba kamu menoleh dan bertanya kepadaku.
”Apanya?” aku gerogi saat matamu menatap tepat mataku. Alis tebalmu yang hampir menyatu itu kembali membuatku mengaguminya. Kulit gelap-manismu sedikit berubah. Kata orang, agak cerahan sedikit.
”Kapan terakhir kali kamu merasa bahagia?”
Pertanyaanmu membuat salah satu kotak ingatanku terbuka. Itu adalah kalimat yang sama persis seperti yang ditanyakan Mommi. Pertanyaan yang entah mengapa membuat perasaanku jadi campur aduk. Aku merasa tersentuh, tapi kelopak mataku selalu menghangat dibuatnya. Selama hidupnya, Mommi menanyaiku tiga kali. Satu: ketika kucing kesayanganku mati sewaktu aku kelas lima SD. Dua: ketika aku gagal memasuki SMP impianku. Tiga: ketika aku mendapat nilai ”C” pada mata kuliah wajib di semester tiga. Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, tiba-tiba kamu bertanya dengan kata-kata yang sama persis.
”Em …,” aku menjeda sambil melihat burung-burung, tupai-tupai, juga ranting-ranting. Nyaris saja air mataku tumpah. Dan setelah memastikannya tidak tumpah, aku kembali menatap matamu yang ternyata masih menatapku, ”Hari ini. Hari ini aku juga bahagia.” Tanpa berpikir lama, aku menjawabmu. Jawaban yang entah mengapa tidak seperti tiga jawabanku sebelumnya.
Lalu, tiba-tiba kamu mengusap kepalaku atau lebih tepatnya mengacak-acak rambutku yang kemudian berhasil membuat tubuhku serasa disengat listrik.(*)
Pekanbaru, 25 Juli 2024
Hassanah, gadis Jawa kelahiran Aceh yang besar di Riau. Pemimpi yang akan terus berusaha mewujudkan mimpi-mimpinya.
Editor: Imas Hanifah N