Tentang Kami yang Saling Tidak Tahu Cara Berciuman
Oleh: Fitri Fatimah
Sore itu aku dan dia, kekasihku, tengah jalan-jalan di tepi pantai. Sebelumnya kami sudah menyembunyikan sandal kami di rimbun bunga liar entah bernama apa, kami memutuskan ingin bertelanjang kaki dan merasakan betul-betul bagaimana pasir menyelinap ke sela-sela jari kaki kami. Pasirnya putih bersih, hampir seperti tepung. Jejak kaki kami tercetak jelas di sana.
Lalu tiba-tiba di tapak langkah kesekian dia menarik tanganku, mengisyaratkan supaya berhenti. Dan begitulah bagaimana dia tiba-tiba memiringkan kepalanya dan bergerak mendekati wajahku. Lalu jarak di antara kami hilang, bibir kami saling menempel.
Aku tidak tahu berapa lama kami berciuman tapi sempat terpikir olehku, berapa menit biasanya kalian bisa bertahan di dalam air tanpa bernapas? Biasanya kalau sedang menyelam, berapa lama waktu yang dibutuhkan hingga kalian harus kembali muncul ke permukaan untuk menghirup udara? Rasa-rasanya selama itu juga aku dicium. Aku sampai kehabisan napas. Dan termegap-megap.
Jantung dan isi kepalaku langsung sama kacau.
Dia mengakhiri ciuman. Bibirnya tampak lebih merah dan mengkilap, basah. Lalu tiba-tiba dia berkata, “Ayo kita putus. Bahkan saat menciummu aku tidak merasakan apa-apa.”
Tentu saja aku tercengang. Dia bilang tidak merasakan apa-apa? Lalu yang barusan saat bibirnya bergerak di bibirku dan lidahnya terjulur menyusup, itu apa? Tabrakan dengan tembok? Memangnya rasa bibirku seburuk itu?
Lalu entah mendapat keberanian dari mana aku mengalungkan lenganku di lehernya, menarik kepalanya untuk menunduk, dan menciumnya. Sumpah aku tidak tahu cara berciuman yang baik—ini ciuman pertamaku, ciuman pertama kami—apakah bibirku harus mencaplok-caplok, atau apakah aku juga harus menggunakan gigi? Dengar-dengar antara batas benci dan cinta itu tipis, jadi mungkin begitu pun antara batas nikmat dan sakit. Mungkin tak apa-apa kalau kugigit bibirnya hingga berdarah, supaya dia tidak bisa lagi bilang tidak merasakan apa-apa.
Maka kulakukan seperti itu.
Dia mengaduh dan langsung mendorongku. Punggung tangannya menyeka bibirnya kasar. Seakan yang kulakukan barusan membuat tempat itu kotor. Padahal aku tidak sangat keterlaluan, bibirnya bahkan tidak sampai berdarah. Sobek sih memang iya.
“Apa-apaan kau?!”
Aku tidak menjawab, tapi dari bahasa tubuhku—bersedekap tangan—rasanya sudah cukup untuk menunjukkan bahwa aku pun juga marah. Aku senang kami sedang berada di tepi pantai, jadi kalaupun sebentar lagi kami akan saling berteriak, tak akan ada orang lain yang bisa mendengarnya dengan jelas. Debur ombak akan meredam segala.
Hanya saja tak seperti dugaanku, dia tidak berteriak, dia hanya menatapku seolah kecewa. Hela napasnya penuh dengusan.
Dia kemudian menjelaskan bahwa ucapannya yang barusan itu cuma bercanda. Bahwa karena ini ciuman pertama kami, ciuman pertamanya juga, dia tidak yakin harus bagaimana, dia terlalu kagok, dia takut ciumannya tidak cukup berkesan sebagai sebuah ciuman pertama. Karena katanya ciuman pertama harus tak terlupakan. Dia takut mengecewakanku, makanya dia mengakhirinya dengan candaan.
Wah, sungguh candaan yang … sangat absurd!
Aku geleng-geleng kepala.
“Tapi sepertinya seharusnya aku tidak bercanda, sepertinya seharusnya kita memang putus saja.”
“Hei, hei,” aku gelagapan, “aku minta maaf. Aku minta maaf. Aku janji tak akan menggigitmu lagi.” Aku mencoba menarik tangannya, mengayun-ayunkannya di udara. Menatap tepat ke matanya dengan mataku yang dikerjap-kerjapkan. Biasanya dia akan cepat luluh kalau aku bertingkah sok imut begini. Hanya saja aku tidak menyangka bahwa yang kemudian kudengar adalah ke-muntab-an yang seolah sudah lama tertimbun di dadanya, dan memilih hari ini untuk buncah.
“Pikirmu ini cuma karena kau menggigitku? Ini bukan hanya tentang itu. Kau selalu begitu. Ketika aku melakukan kesalahan, kalau aku membuatmu kesal, kau pasti langsung membalas dendam. Kalau aku tak sempat membalas pesanmu, kau kemudian akan balik mengabaikan pesanku. Kalau aku membatalkan kencan kita karena suatu urusan mendadak, kau juga akan memastikan bahwa pada kencan kita selanjutnya, tepat pada menit-menit terakhir, ketika aku sudah di mobil dan hampir sampai ke tempatmu untuk menjemputmu, kau akan menelepon lalu bilang alasan ini-itu, dan membatalkannya. Sekali dua kali aku masih bisa mengerti. Tapi berkali-kali dan kau masih begitu. Dan alasanmu yang terakhir tentang kau yang sakit perut, aku sampai pergi ke apotek untuk membelikanmu obat, aku sampai di pintu gerbang kosanmu untuk memberikannya, tapi lihat, aku malah menemukanmu sedang menjemur cucian sambil bernyanyi-nyanyi, sama sekali tak ada tanda-tanda kekurangan cairan atau apa. Kau selalu seperti itu, membalas dendam padaku. Padahal kalau kau memang mencintaiku, bukankah seharusnya kau memiliki tenggang rasa? Bukankah katanya cinta tempat penuh toleransi?” Dia menarik napas dalam-dalam, lalu melanjutkan, “Karena itu, kita putus saja.”
Dia melepas tanganku. Lalu berjalan kembali ke arah tadi kami datang. Jejak langkah kami bahkan masih tersisa jelas di sepanjang jalan itu.
Kini dia kembali membuat jejak, hanya saja tanpa aku lagi. (*)
Sumenep, 6 Mei 2019
Fitri Fatimah, kelahiran Sumenep, suka membaca dan mencoba menulis. FB: Fitri Pei.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata