Tentang Cerpen Seorang Teman di Koran
Oleh : Imas Hanifah N.
Rendi ingin tertawa keras ketika ia mendapat sebuah pesan singkat yang mengejutkan dari temannya. Hendra, seorang teman yang mengikrarkan dirinya adalah seorang penulis sejati, meskipun bagi Rendi, mustahil jika temannya itu mampu jadi penulis sungguhan.
[Kamu akan terkejut, sobat! Cerpenku dimuat di koran hari ini. Ini berkatmu. Lihatlah nanti di meja kantormu.]
Rendi berpikir lama, apa Hendra memang merasa beruntung karena selama ini telah diolok-olok olehnya, maka dari itu hari ini, cerpennya bisa dimuat? Rendi bangga pada dirinya sendiri. Lihatlah, katanya dalam hati. Bahkan, sebuah hinaan atau olokan, benar-benar mampu membuat seseorang jadi sukses. Hendra sendiri sering bercerita tentang betapa gigihnya ia mengirim cerpen ke setiap media. Sudah sekitar ratusan, namun tak kunjung dimuat. Lalu hari ini, sepertinya sebuah keajaiban terjadi.
Lelaki dengan setelan rapi itu kini hanya tersenyum di depan cermin. Senyum olokan. Meskipun tak ada siapa-siapa di kamarnya, Rendi merasa ingin selalu tersenyum dan tertawa. Cerpen macam apa yang dibuat oleh Hendra? Sungguh, ia tak sanggup menahan tawanya.
“Sayang? Sudah siap?” suara seorang perempuan membuat Rendi berhenti melakukan hal konyol. Ia segera turun.
“Sarapan apa hari ini? Aku mencium aroma yang sangat lezat.”
Istrinya tersipu malu. Di meja, sudah ada nasi goreng dan telur ceplok. Aromanya benar-benar wangi dan Rendi sudah menebak bagaimana rasanya. Nasi goreng di depannya, pasti memiliki rasa paling aneh sedunia.
“Wah, ini enak sekali.”
Rendi melahap nasi goreng dengan cepat. Ia menikmati saat-saat semacam ini. Saat ia menunggu sesuatu untuk diolok dan ditertawakan. Ia menunggu untuk segera membaca cerpen Hendra.
“Sayang, kamu baik-baik saja? Dari tadi terus tersenyum dan memuji nasi gorengku berlebihan. Boleh lihat ponselmu?”
Rendi hampir tersedak. Ia tidak sedang punya pacar saat ini.
“Sayang, aku tidak menghubungi siapa pun sekarang. Aku hanya fokus padamu.”
Istrinya tetap mengulurkan tangan. Ini tidak akan berhasil hanya dengan satu atau dua kalimat saja.
“Lihat saja sendiri. Aku tidak menghubungi perempuan mana pun.”
Istrinya dengan tatapan menelisik langsung menyambar ponsel yang disodorkan oleh Rendi.
Rendi berupaya menghabiskan nasi goreng. Istrinya mulai menyelidiki ponsel. Dari nama-nama kontak, daftar panggilan terakhir, serta aktivitas Rendi di grup whatsapp. Memang tak ada yang aneh. Akan tetapi, istrinya tetap merasa heran. Meski begitu, ia segera menepis pikiran buruk tersebut dan mengalihkan pembicaraan.
“Oh iya, sayang. Papa minta ditemani nonton wayang nanti sore. Mau, kan?”
Rendi langsung mengacungkan dua jempol. Istrinya kaget bukan main.
“Kamu kenapa hari ini?”
“Apanya yang kenapa?”
“Semangat sekali nonton wayang? Bukannya biasanya, kamu malas?”
“Lho, sayang, wayang itu, budaya Indonesia yang keren. Sudah diakui oleh UNESCO sejak tahun 2003. Makanya, aku sekarang semangat buat nonton. Biar papa juga seneng, kan?”
Istrinya mengerutkan kening. Ini sedikit berlebihan, sampai membicarakan UNESCO segala.
“Kamu suka main mata sama sindennya, ya?”
Rendi langsung diam. Ia menatap istrinya dengan lembut. Jujur saja, hati kecil Rendi memang sedikit malas menemani mertuanya itu. Bukan karena pertunjukkan wayangnya, tapi lebih kepada dengan siapa ia harus pergi. Soal sinden yang cantik dan seksi, memangnya ia tidak boleh sekadar mencuri pandang? Bukankah ia juga lelaki normal?
“Bener, kamu gak ada apa-apa sama sindennya?”
“Enggak sayang, gak ada apa-apa.”
“Bener ya, jangan bohong kamu. Dan jangan sampai lupa. Papa kan suka marah kalau kamu telat datang atau lupa.”
Rendi menghela napas, “Iya. Aku mesti ke kantor sekarang. Nanti telat, dimarahin sama bos.”
Istrinya mengangguk. Rendi segera berangkat. Ia sudah mulai tidak sabar untuk membaca cerpen seorang teman yang selalu menjadi bahan olok-olokannya dulu. Bahkan sebenarnya, sampai sekarang, setiap Hendra bertanya kabar atau sekadar menyapa, Rendi selalu menyelipkan kalimat olokan di setiap percakapan. Kalimat-kalimat seperti, “Kapan kamu jadi penulis sungguhan? Bukannya dulu, tulisanmu seperti ceker ayam?” atau kalimat ini, “Berhentilah jadi penulis. Bertahun-tahun tanpa hasil yang jelas, kamu pasti menderita.”
Ya, semua kalimat itu, bagi Rendi terlalu menyenangkan untuk dilontarkan. Malah, kadang-kadang, ia juga sering berdoa diam-diam. Ia mendoakan semoga selamanya, Hendra tak pernah jadi penulis sukses. Sehingga, ia akan selalu punya seseorang untuk dijadikan olokan.
***
Di perjalanan memang sedikit macet. Rendi mengutuk keadaan tersebut, tapi tetap tersenyum. Ya, apa pun yang terjadi, sekali pun badai datang, Rendi tetap akan tersenyum dan tertawa kalau mengingat perjuangan Hendra sebagai seorang penulis yang menurutnya, sangatlah konyol.
Memasuki kantor, Rendi menyapa hampir semua rekan yang ia temui. Beberapa orang tampak berbisik-bisik saat melihatnya. Rendi merasa tidak aneh dengan hal itu. Tentu saja, sepanjang jalan menuju mejanya, ia tersenyum. Rendi pikir, itu mungkin karena senyumnya yang terlalu menawan. Karena di hari-hari sebelumnya, daripada menampakkan wajah yang ramah, ia lebih suka menampilkan wajah yang serius dan terkesan galak. Itulah imej yang selama ini ia bangun. Namun hari ini, adalah pengecualian.
Sampai di meja, ia menemukan sebuah koran tergeletak. Wah, rupanya, Hendra benar-benar berniat memberi kejutan. Bahkan, di atas koran tersebut, ada sebuah kertas dengan catatan kecil.
“Sobat, terima kasih banyak.”
Rendi mulai merasa heran. Apakah ini tidak terlalu berlebihan?
“Halo, Ren. Pagi yang sedikit buruk, kan?”
Karin menyapa Rendi dengan sebuah pertanyaan yang aneh. Lelaki itu semakin heran.
“Apanya yang buruk? Aku sedang senang sekarang.”
“Senang? Dengan nama dan ceritamu terpampang di koran?”
“Apa?” Rendi kaget.
“Ya, percaya atau tidak, ada seseorang yang datang pagi-pagi sekali ke kantor dan membagikan koran ke semua departemen. Semua kebagian. Kamu tahu, ia menyuruh kami semua membaca cerpen di koran ini.”
Karin menununjuk koran yang tengah dipegang oleh Rendi.
“Lalu? Apa masalahnya? Dan tunggu, kenapa Hendra melakukan hal aneh seperti ini? Apa dia sudah gila?”
Karin mengangkat bahu. “Baca saja dulu. Nama tokoh, karakter dan deskripsinya, sama denganmu.”
Rendi mulai kesal sekarang. Harapannya untuk tertawa dan menciptakan olokan, perlahan terkikis. Berganti dengan rasa penasaran dan was was. Takut apa yang akan dibacanya adalah sesuatu yang membuat harinya jadi buruk.
Benar saja, cerpen itu telah membuat kepalanya hampir meledak. Ada rasa panas yang menjalar di wajahnya. Cerita yang ditulis oleh Hendra dan dimuat pertama kalinya di koran adalah cerita tentang Rendi sendiri. Jadi, selama Hendra sering bercerita mengenai perjuangannya menjadi penulis, Rendi juga sering bercerita tentang kehidupan pribadinya. Tentang betapa malasnya ia jika harus menemani mertuanya pergi ke suatu acara. Tentang betapa ia merasa lebih hebat dan lebih pintar daripada bosnya, tentang semua yang pernah Rendi katakan.
Rendi tentu tak masalah, jika nama tokohnya tidaklah sama dengannya. Namun, cerita yang ditulis Hendra, jelas menggunakan nama yang persis sama. Bahkan, nama panjangnya pun sama. Rendi Wijaya.
Rendi ingin mengumpat dan mengutuk Hendra. Ia ingin segera meluapkan emosinya. Namun ditahan, ketika seseorang menyuruhnya untuk masuk ke ruangan sang bos. Apa bos sudah membaca cerpen Hendra? Hati Rendi bertanya. Sekarang, ia sedang menyusun kata-kata yang baik untuk menjelaskan bahwa cerpen yang ditulis temannya itu, hanyalah karangan semata dan nama tokohnya adalah kebetulan.
2019
Imas Hanifah Nurhasanah. Wanita kelahiran 22 tahun silam ini bercita-cita menjadi penulis sejak kecil. Ia juga menyukai jus alpukat, kucing dan kelinci. Keinginannya menulis berawal dari kebiasaan sang ibu yang terus memberinya buku bacaan ketika masih di Taman Kanak-kanak. Majalah Bobo, Mangle dan bacaan lainnya.
Ia bisa dihubungi via sosial media di facebook: Imas Hanifah N atau IG: @hanifah_bidam.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata