Tentang Anak-anak yang Menelan atau Memuntahkan Huruf dan Angka-Angka dengan Mudahnya

Tentang Anak-anak yang Menelan atau Memuntahkan Huruf dan Angka-Angka dengan Mudahnya

Tentang Anak-anak yang Menelan atau Memuntahkan Huruf dan Angka-Angka dengan Mudahnya
Oleh: Evamuzy

Setiap pagi, aku harus berdiri paling depan di sebuah ruangan berbentuk kubus dengan ukuran ubin 7×7 meter berwarna dinding cerah. Berisi meja-meja belajar kayu berpasangan dengan kursi warna-warni. Ruang yang aku beri nama kelas, yang tiap-tiap sudut dindingnya terdapat huruf dan angka-angka saling tertawa lucu dan berlari-lari ceria tanpa henti. Pernah aku menangkap satu atau dua dari mereka, lalu berkata, “Diamlah kalian sebentar. Duduklah dengan manis atau ceritakan sebuah kisah untuk menghiburku yang setiap pagi hari terjangkit flu ini.” Namun, mereka selalu menggeleng kepala lembut, menolak dengan manis.

“Kami, huruf dan angka-angka hanya akan mendatangi anak-anak untuk membujuk mereka agar mau memakan kami satu per satu. Kami, huruf dan angka-angka, berada di sini bukan untuk menghiburmu. Bukan. Perut dan otakmu sudah teramat lama terjaga, menggiling triliunan huruf dan angka-angka, bahkan memproduksinya sesuka hati sampai otak dan perutmu penuh. Tak ada lagi tempat tersisa. Tidak seperti mereka yang perut dan otaknya masih tersedia ruangan kosong yang luas. Kamilah yang akan mengisi itu.” Makhluk-makhluk kecil yang lucu itu berbicara panjang lebar. Membuatku mendengarkannya sambil senyum-senyum.

“Baiklah,” jawabku mengerti. Melepaskannya kembali.

Mereka tidak hanya memenuhi bentangan dinding cerah kelasku. Mereka juga ada pada tumpukan buku-buku yang kusimpan untuk anak-anak di loker kelas. Bahkan, jumlah mereka di dalam buku itu amat-sangat-lebih-banyak dibandingkan yang ada pada dinding-dinding. Namun, yang aku lihat, mereka selalu tampak diam seperti tumpukan nasi di atas piring saat anak-anak membuka buku dan mendapati mereka berbaris kompak, bergandengan pada lembar-lembar kertasnya. Tak tertawa renyah dan berlari-lari layaknya saat hanya ada aku seorang diri di ruangan itu. Mereka lebih mirip benda mati. Kaku. Meski tetap lucu dan berwarna-warni.

Saat aku tanyakan kenapa mereka begitu, kompak makhluk-makhluk lucu itu menjawab, “Kami ingin memudahkan anak-anak memakan kami. Agar kami lekas masuk perut lalu ke pindah otak mereka. Mengisi ruang yang masih kosong itu.”

Aku mengangguk-angguk setuju. Sangat setuju. Sebab tugasku di ruangan yang dindingnya tak terhindar dari serangan semut hitam ini, memang untuk membantu perut dan otak anak-anak terisi oleh mereka—para huruf dan angka-angka. Saat pertama kali datang, aku telah “berikrar” perihal itu. Perihal mengisi perut dan otak anak-anak.

***

Anak-anak lekas datang saat kokok ayam jantan berhenti terdengar, sebab mulutnya sudah tersumpal telur-telur sendiri. Saat bibir matahari tersenyum sinis, saat aku tengah menyiapkan makanan mereka: huruf dan angka-angka pada wadahnya—lembar-lembar buku. Aku meletakkannya di atas mejaku untuk sementara. Anak-anak berjalan mengisi kursinya masing-masing.

“Selamat pagi,” sapaku pada mereka satu per satu. Sepatu warna-warni sudah terlepas dari kaki dan disimpan mereka pada rak kayu samping pintu. “Sudah siap untuk makan hari ini?” tanyaku melihat wajah-wajah mereka yang ceria.

“Siap! Siap! Kita akan makan apa hari ini? Apakah makanan yang rasanya seperti kemarin? Aku suka, aku suka. Itu manis,” jawab seorang anak yang perut dan otaknya paling banyak terisi oleh huruf dan angka-angka. Namun, anehnya selalu saja ada ruang baru tersedia tanpa melenyapkan “makanan” yang telah kuberikan pada hari-hari sebelumnya. Dia memang selalu antusias setiap sesi makan di kelas, dan akan mengeluh ketika aku berlama-lama “basa-basi” sebelum mengeluarkan makanan mereka.

“Aku juga siap. Aku sudah lapar.” Suara yang lain ikut menimpali sambil memegangi perutnya dengan gaya lucu. Tak lama kemudian terdengar paduan suara dari enam belas anak berbunyi, “Iya, aku juga, aku juga. Aku siap untuk makan hari ini.”

Aku tersenyum sambil mengangguk mantap di hadapan mereka semua. Menuju tumpukan buku di atas mejaku, mengambilnya, lalu membagikan kepada anak-anak satu per satu. Menghidangkan makanan mereka hari ini. “Silakan buka halaman tujuh. Kalian diberikan waktu dua puluh menit untuk menghabiskannya. Selamat menikmati.” Kuberikan suara paling memotivasi.

Aku berkeliling melihat mereka satu per satu. Lalu dibuat heran oleh salah satu dari meraka yang alih-alih mengunyah pelan-pelan makanannya, tetapi justru dengan cepat menelannya bulat-bulat. Saat kulihat bukunya, benar saja, huruf dan angka-angka itu sudah tak lagi ada di sana.

“Kau menelannya lagi?” tanyaku dengan kening terkerut, lalu menarik napas panjang saat dia hanya mengangguk sambil tersenyum manis.

“Apa kau membutuhkan air? Kau bisa tersedak tanpa minum. Biar kuambilkan.”

“Tidak perlu. Mereka sudah masuk ke perutku.” Lagi-lagi dia tersenyum sambil mengelus-elus perutnya. Lucu memang, tetapi tetap saja aku khawatir. Sebab menelan makanannya terlalu cepat, bisa saja membuat perut kecil dan kerongkongan sempitnya sakit. Namun, syukurnya dia terlihat baik. Bahkan sangat baik-baik saja.

Dialah anak pertama yang kuceritakan di atas tadi, yang paling banyak mengisi perut dan otaknya dengan huruf dan angka-angka itu. Maka, kusebut dia si Ahli Menelan.

***

Aku meninggalkan si Ahli Menelan, dan beralih kepada yang lain yang tak jauh berbeda darinya. Namun, kemampuan si Ahli Menelan masih tetap jawara dibanding yang sedang kudekati.

“Aku suka ini. Apa besok aku bisa makan yang rasanya seperti ini lagi?” pinta si anak saat kubelai lembut rambut legamnya. Aku mengangguk.

Beralih kepada yang lain, yang makan dengan pelan. Menguyah tak buru-buru. Kulihat huruf dan angka-angka pada bukunya telah hilang satu per satu. Aku tersenyum kepada mereka, tetapi itu tak berlangsung lama. Rona wajahku berubah panik ketika melihat seorang anak yang lain sedikit menunduk dengan raut muka pucat pasi. Aku bergerak gesit mendatanginya.

“Kau akan mengeluarkannya lagi?” Jelas aku cemas. Ini bukan pertama kali dia melakukannya. Yang aku takutkan, perut dan otaknya tak akan terisi huruf dan angka-angka sama sekali. Dan itu tentu akan membuatku sedih lantaran merasa telah mengingkari ikrarku di masa dulu.

“Sudah aku bilang, perutku sangatlah kecil. Mereka semua tak muat di perutku. Sekarang saja mereka seperti tersangkut di kerongkongan dan hendak—” Belum sempat dia menyelesaikan kalimatnya, keluarlah semua huruf dan angka-angka dari mulut kecil itu. Segera dia mengelap bibir mungilnya dengan tangan kanan.

“Baik. Tenanglah. Minumlah dulu.”

Anak ini sudah berkali-kali memuntahkan huruf dan angka-angka dari mulutnya. Membuatku dengan setengah hati memberinya julukan si Ahli Memuntahkan.

Sementara si Ahli Memuntahkan tengah meneguk air putih yang kuberi, pandanganku beralih pada muntahan huruf dan angka-angka yang berceceran di lantai, di samping kaki si Ahli Memuntahkan. Huruf dan angka-angka itu terlihat teramat payah. Dipandang ibarat orang-orang yang mabuk kendaraan, lalu diturunkan paksa sebab menggangu penumpang lain. Akhirnya tergeletak lemas di trotoar jalan.

“Tolonglah kami,” rintih mereka meminta belas kasihanku.

Merasa iba melihat mereka, segera kupungut satu per satu dari lantai. Namun, setelah muntahan huruf dan angka-angka itu berpindah ke tangan, aku bingung. Akan kuapakan mereka ini? Memaksa si Ahli Memuntahkan menelan mereka lagi? Jelas itu keterlaluan. Tak akan aku lakukan. Membuangnya ke tong sampah? Tempat itu terlalu kotor dan busuk untuk mereka. Tak pantas, tak pantas. Atau, kuberikan saja kepada ayam-ayam. Bukankah hewan berkokok itu biasa mematuk dan memakan apa saja yang tidak kita makan? Ah, aku tersenyum geli membayangkannya. Mana ada ayam memakan huruf dan angka-angka, lalu nantinya isi perut dan otak mereka serupa dengan perut dan otakku juga anak-anak. Tak jadi, tak jadi.

Aha! Aku mendapatkan ide. Masukan saja muntahan huruf dan angka-angka itu ke dalam kaleng biskuit yang kosong, dan menutupnya rapat-rapat. Lalu aku simpan di tempat khusus yang membuat mereka akan tetap hidup. Siapa tahu di usia yang lebih matang, si Ahli Memuntahkan akan mengingat huruf dan angka-angka yang pernah dia keluarkan dari mulutnya. Sejak saat itu, aku rutin melakukannya saat satu atau dua anak-anak memuntahkan makanannya.

***

Dulu, dulu sekali. Aku pernah frustasi menghadapi hal semacam ini. Apalagi jika ruang kubusku lebih didominasi oleh para Ahli Memuntahkan. Jumlahnya banyak. Membuat flu di pagi hari merayakan kemenangan bersama denyutan kuat di kepalaku selepas kelasku sepi. Anak-anak telah pulang digandeng para pemiliknya.

Sambil menatap kepergian mereka satu per satu dari gerbang besi, flu dan denyutan keras di kepala saling berkolaborasi membuat tubuh semakin kepayahan. Aku geram? Iya, kadang-kadang. Sebab ekspektasi tak sesuai hasil lapangan. Huruf dan angka-angka yang seharusnya mengisi perut dan otak manusia-manusia kecil itu bulat-bulat dimuntahkan berceceran dan … menjijikan. Ingin sekali menjerit-jerit, atau menyalahkan saja semut hitam yang berbaris santai di dinding, tak merasa iba atau berkeinginan membantuku yang teramat kesusahan. Padahal aku sangat berharap kepekaan mereka.

Sampai akhirnya aku bertemu seseorang yang seumuranku, datang dari arah belakang, lalu menepuk pundak. Dia seorang pria berkaus biru dengan celana panjang hitam. Aku kaget, tetapi bukan karena wujudnya yang aneh: berkepala lampu besar menyala warna putih cerah. Pijarnya abadi dan ribuan watt lebih terang dari lampu kamarku. Aku melihatnya biasa saja. Bahkan menatap lekat sepasang mata biru di kepala lampunya saat dia mulai mengeluarkan suara.

“Tubuh kecil yang terdiri dari otak, perut, mulut dan organ tubuh lainnya itu lahir dari tubuh besar yang terdiri dari otak, perut, mulut dan organ tubuh lain yang berbeda-beda. Kau tidak bisa menyamaratakan tubuh-tubuh itu. Sungguh, itu tak adil bagi mereka, juga tak adil bagimu. Tugasmu hanya satu, tenang dan mengertilah kepada mereka.” Kalimatnya berhenti, lalu sosoknya hilang tepat saat aku membuka mata karena silau sinar matahari pagi yang mencuri-curi celah di genting kamarku. Ya, aku bertemu si Kepala Lampu itu di mimpiku. Pesannya itu melekat di dasar benak, meski sosoknya tak pernah sekalipun datang lagi.

Sejak saat itu, aku merasa lebih baik, sebab selalu berusaha tenang dan mengerti saat menemani manusia-manusia kecil itu bulat-bulat menelan atau memuntahkan huruf dan angka-angka dengan mudahnya. (*)

 

Evamuzy, gadis dengan kegemaran melihat pesawat terbang. Sampai-sampai dia hafal kapan pesawat-pesawat yang terlihat sangat kecil terbang di atas langit rumahnya.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata