Tenggelam
Oleh : Gloria Pitaloka
Senja merona di perbukitan gundul. Sang surya telah menundukkan wajah, debu bersama daun kering beterbangan ketika geliat angin semakin membesar. Angin menerpa kulitku, kering dan berdebu.
Sudah hampir setahun ini kemarau panjang, ditambah keadaan perbukitan yang gundul menambah parah keadaan. Di ujung sana, Hutan Larangan tampak penuh pergerakan para pembalak liar.
Maharani namaku. Bukan sekali dua, mengingatkan warga agar tidak menebang pohon di hutan. Namun, bukannya mengindahkan mereka malah memfitnah dan menyerangku dengan beragam prasangka. Apalah daya, aku hanya seorang mahasiswi KKN.
“Kak Rani!” teriak seseorang. Sesosok anak lelaki umur dua belas tahun muncul dari balik batu arah jalan menuju lembah.
“Kau di sini, Murji?”
“Aku yang harusnya tanya itu ke Kakak! Aku mencari Kak Rani, sekarang sudah hampir magrib, nanti digondol kelong wewe, lho, anak perawan sendirian di atas bukit,” kata Murji sambil bergidik.
Aku hanya tertawa kecil. “Kakak mau melihat matahari tenggelam di bawah sana.”
“Jangan, Kak. Nanti kita salat Magrib di mana?” tanya Murji heran.
“Kakak sudah mengambil air wudu dan bawa perbekalan. Kamu mau ikut?”
“Ikuuut, Kak!” seru Murji, yang akhirnya membantuku mempersiapkan tempat salat.
Surya semakin tenggelam, desa di lembah nun jauh di sana itu berubah menjadi jingga. Sungguh indah. Bukit mulai menggelap seiring sang surya tenggelam. Sayup-sayup suara azan mengalun dari arah lembah. Aku pun menyiapkan air untuk dijerang di atas api unggun.
Selesai salat Magrib, dari atas puncak bukit ini, terlihat hamparan pemandangan desa di lembah yang semakin indah dan terasa sangat syahdu. Aku khusyuk dan tiba-tiba merasakan getaran yang aneh. Terasa sangat asing, tak seperti biasanya. Aku merasakan sesuatu yang lain akan terjadi.
Semakin malam, kulihat langit tanpa bintang. Mendung tebal bergelayut dan bergulung-gulung. Hatiku mendadak berdebar dan gelisah.
“Murji, kita harus segera pulang dan peringatkan warga desa!” Entah kenapa tiba-tiba aku mengatakan hal ini. Murji yang sedang menuang kopi panas terperenyak.
“Ada apa, Kak?”
“Kakak merasa warga desa dalam bahaya. Ada yang akan terjadi malam ini.”
Tanpa banyak bicara lagi, Murji membereskan peralatan kemping kami. Bergegas, kami turun menelusuri bukit. Sungai terdengar bergemuruh. Kutengok perbukitan Hutan Larangan di kejauhan sana, tampak gundul sisa pembalakan liar, ulah manusia serakah. Rasa khawatir terus menyergap. Sambil berjalan kupikirkan apa yang akan kusampaikan pada masyarakat desa nanti.
Kami tiba di desa jelang isya. Aku langsung menyuruh Murji menghubungi markas KKN kelompokku. Sementara aku menuju pos ronda dan membunyikan kentungan dengan suara titir petanda bahaya.
Mendengar suara kentungan, dalam sekejap warga desa berdatangan.
“Ada apa ini?” tanya kepala desa yang biasa dipanggil Pak Kuwu.
“Pak Kuwu, seluruh warga desa harus mengungsi malam ini. Saya mendengar gemuruh sungai yang berbeda dan jeritan ketakutan,” jelasku sambil menunjuk ke arah bukit.
“Apa kau tidak sedang mengigau?” tanyanya. Aku terperangah mendengarnya.
“Percayalah, saya tidak berbohong. Saya baru saja menuruni bukit itu. Saya lihat, air sungai berbuih dan langit mendung bergulung-gulung tebal. Itu ciri-ciri banjir bandang. Saya juga sudah melihat di Hutan Larangan banyak pohon ditebang!” jelasku.
Suara-suara berdengung menyambut penjelasanku. Sejujurnya, soal sungai aku hanya melihat dalam pandangan batinku saja. Ini adalah firasat. Sudah beberapa kali aku mengalaminya, dan benar terjadi. Warga menggeleng-gelengkan kepala dan sibuk berdebat.
Seorang lelaki paruh baya yang mengenakan ikat hitam dengan pangsi warna senada berteriak dan menunjuk-nunjuk ke arahku. “Dia berbohong! Dia ingin meneror kita dengan cerita bohongnya! Bukankah tempo hari dia sudah melanggar pantangan desa ini untuk tidak menginjakkan kaki di Bukit Larangan?”
Deg!
Aku tahu, dia adalah salah satu kepala pembalakan liar. Saat itu aku melihatnya di hutan, memimpin rombongannya.
“Tidak! Saya berkata benar!”
“Apa kalian percaya pada anak ingusan ini? Sudah kukatakan dia harus dipasung karena melanggar pantangan. Kalaupun ada bencana, pasti dia yang mengundang!” tudingnya.
Dipasung? Aku ingat akan adat tradisi yang dijelaskan kepala desa ini ketika pertama kali datang. Siapa pun warga yang ketahuan mendatangi Hutan Larangan, maka ia harus dikenakan hukuman adat.
Aku tak terima dengan tudingan tersebut. Dengungan warga semakin terdengar. Sempat kulihat wajah Pak Kuwu yang mendadak pucat pasi.
Mereka berdebat dengan sengit. Suasana semakin panas. Pak Kuwu tidak mampu lagi membelaku. Mungkin dia lebih percaya ucapan Kang Kardi, jawara desa ini. Karena memang tempo hari aku melanggar pantangan dengan memasuki Hutan Larangan untuk menyelidiki para pelaku pembalakan liar. Sebelumnya, aku melihat banyak batang kayu dan daun hijau terbawa arus sungai, juga serbuk gergaji mengapung setiap hari. Di desa ini ada pantangan dalam menebang pohon. Penebangan kayu hanya tiga bulan dalam setahun, di bulan-bulan tertentu untuk keperluan pembuatan rumah, dan bulan ini bukan bulan yang diperbolehkan.
Pantangan ini kudapat dari hasil analisisku, seperti dituturkan kepala desa. Hal ini sebenarnya dimaksudkan untuk menjaga kelestarian alam, warisan adat leluhur. Begitu juga dengan mitos Hutan Larangan. Dengan adanya pantangan, maka hutan akan dijaga dengan adat dan budaya.
Namun, entah mengapa sudah setahun ini debit air di sungai menurun dan banyak mata air yang kering. Hal ini menimbulkan spekulasi dari kami, para mahasiswa, untuk menyelidikinya dari sumber utama hulu sungai yaitu Hutan Larangan sebagai sumber mata air. Akan tetapi, banyak kendala menghadang kami. Dimulai dari kecelakaan tunggal yang ganjil, teror hantu, juga surat kaleng. Beberapa mahasiswa yang mulai ciut nyalinya memilih menyerah dan berhenti. Tak sedikit yang memilih pulang.
Kami yang bertahan, fokus bakti pada masyarakat. Mengajar anak-anak dan warga sesuai permintaan Pak Kuwu yang menginginkan kemajuan bagi warganya—sehingga dekan kami untuk pertama kalinya mengagendakan desa ini sebagai salah satu desa wajib pilihan KKN. Di desa terpencil ini, warga masih banyak yang buta huruf dan di bawah garis kemiskinan. Kami juga mengajar baca tulis Al-Qur’an, memberikan pelatihan kerajinan tangan dari bambu dan rotan agar bernilai ekonomis, dan mengedukasi pertanian. Namun, diam-diam aku tetap menyelidiki hal itu sendirian. Terkadang juga ditemani oleh Murji, anak Pak Kuwu yang memiliki hobi bertualang. Tentu tanpa sepengetahuan bapaknya.
Suara riuh berdengung warga antara percaya dan tidak. Aku pun tidak putus asa untuk meyakinkan mereka.
“Sudahlah! Ayo kita adili perempuan ini ke Bukit Pertobatan!” seru Kang Kardi. Tanpa diduga, ia mencekal dan menyeretku. Sakit rasanya.
“Kau harus mendapatkan pelajaran, Perempuan Sundal! Berani-beraninya menipu warga dan melawan Kardi!” Kang Kardi berbisik di telinga. Seringai tipis kulihat di bibirnya, namun sepertinya luput dari perhatian warga. Lelaki ini begitu menjijikkan.
Seketika aku teringat Nyai Darni, wanita gila korban hukuman pasung yang selalu berteriak, “Jangan nodai aku, Kardi Genderuwo!”
Di antara rasa takut, pikiranku melayang. Memikirkan kemungkinan benang merah antara Kang Kardi dengan penyebab Nyai Darni dipasung sehingga menjadi gila. Jangan-jangan ….
Aku bergidik dan langsung menarik tanganku. Sayang, cekalannya begitu kuat sehingga justru membuatku semakin kesakitan.
“Lepaskan! Tolong saya, Pak Kuwu!” teriakku histeris.
“Diam!” seru Kang Kardi seraya menamparku.
Panas dan perih. Aku termangu. Sesuatu yang asin terasa di bibirku. Kang Kardi kembali menyeretku. Sebagian warga hanya menonton, sebagian mulai merangsek ke arahku lalu meraih bajuku, mencoba membuka paksa.
“Tolong! Tolooong, Murji! Pak Kuwu! Siapa pun tolong aku!” Aku meronta-ronta histeris.
“Diaaam!”
Kang Kardi mencabut golok kemudian mengangkatnya tinggi-tinggi. Kupejamkan mata dan berharap semua hanyalah mimpi.
Detik berikutnya, terdengar suara menggelegar dari belakang. Aku membuka mata. Kang Kardi menghentikan ayunan tangannya. Menyusul kemudian, beberapa orang menyeruak kerumunan.
“Kak! Kak Rani, kamu baik-baik saja?” teriak Murji. Tubuh mungilnya menyembul di antara tubuh-tubuh besar warga. Ia kemudian menarik tanganku dan memelukku erat. Dengan gemetar aku membalas pelukannya. Rupanya Murji membawa seluruh kelompok mahasiswa untuk menyelamatkan nyawaku.
“Tenang, bapak, ibu, saya akan jelaskan semua.” Itu suara Kak Judy, ketua kelompok kami.
“Memang di sana akan ada badai, berpotensi banjir bandang, bahkan tanah longsor. Saya sudah memasang alat deteksi pergerakan tanah. Ini, lihatlah rekamannya. Ada pergerakan tanah kuat di bukit dan Hutan Larangan. Kita semua dalam bahaya apabila tidak mengungsi!” jelasnya. Dia segera memperlihatkan monitor yang menampakkan gambar pergerakan tanah. Kak Judy memang mahasiswa Fakultas Geologi yang pernah menjadi ketua BEM, karena itu ia bisa menjelaskan dengan tenang dan gamblang berdasarkan fakta ilmiah.
“Baiklah, kita harus mengungsi segera. Bawalah perbekalan penting secukupnya, jangan terlalu banyak. Bersiaplah naik ke atas bukit!” Pak Kuwu memerintahkan evakuasi. Lalu, titir bersahut-sahutan membelah malam, diselingi teriakan pengungsi ke Bukit Gerbang.
Tidak bisa menunda-nunda, kami—para mahasiswa—bersiap untuk mengungsi dan membantu warga.
Tepat pukul sepuluh malam, setelah berkeliling memberi tahu warga untuk mengungsi dengan alat seadanya seperti kuda dan sepeda, kami memastikan tidak ada warga jompo, orang sakit, atau anak-anak yang tertinggal. Namun, kepanikan warga tetap terjadi.
“Ayo, kita harus bergerak cepat!” teriak Pak Kuwu memimpin rombongan dan keluarganya. Kami berjalan cepat beriringan. Aku membantu memapah wanita hamil yang sedang meringis menahan mulas. Ketika perempuan itu tak lagi kuat berjalan, empat lelaki dewasa menggotongnya menggunakan tandu. Perjalanan mendadak malam ini terasa sangat berat. Jalan desa yang gelap dan terjal terasa sangat sulit dilalui. Kami harus memastikan seluruh rombongan bisa keluar desa dengan selamat. Pakaian, bahan makanan, selimut, obat-obatan, sedikit perhiasan atau uang dibawa, sementara hewan ternak dilepaskan.
Pergerakan rombongan melambat. Hujan deras mulai menyambut diselingi suara petir. Medan memang sangat berat, harus menaiki bukit yang terjal dan jalan setapak yang gelap dengan jurang terjal di kiri-kanan. Penerangan seadanya hanya beberapa obor dan petromaks. Kami mahasiswa dari kota beruntung memiliki senter, sedangkan warga desa yang memiliki senter dan petromaks bisa dihitung dengan jari.
Aku menoleh ke belakang, tampak gumpalan hitam menyeramkan di belakang kami. Hujan semakin deras, membuat jalanan terasa licin. Banyak yang berjatuhan dan terluka. Masih beruntung tidak terguling ke jurang. Gemuruh air sungai di tepi jurang terdengar jelas, sangat mengerikan.
Orang jompo, ibu hamil, dan warga yang sakit beristirahat dulu. Tiba-tiba terdengar suara salah satu ibu hamil merintih dan menangis kesakitan. Kemungkinan dia akan segera melahirkan. Lelah dan takut mulai menghinggapi warga. Bersama kepala desa, kami terus menyemangati warga yang berjalan beriringan seperti semut merayap.
Sebelum tengah malam, rombongan kami tiba di atas bukit. Jauh di bawah sana, warga desa yang tertinggal tampak berlarian panik sambil berteriak histeris.
“Tolooong! Ada air bah! Longsooor!”
Tidak ada yang bisa kami bantu. Kami yang sudah tiba di atas hanya memandang sedih dan berusaha melemparkan kayu atau tali untuk menggapai mereka.
Tepat pukul dua belas malam, terdengar suara air bergemuruh. Dalam kegelapan, terdengar jerit tangis pilu dan teriakan minta tolong.
Di atas bukit yang tinggi, kami menunggu datangnya tim evakuasi. Mendirikan tenda seadanya untuk anak dan orang tua. Wanita hamil ditangani peraji dibantu mahasiswi. Ketakutan dan kebingungan menyergap warga.
Pagi menyapa, awan mendung mulai menghilang. Sang surya menampakkan sinar hangatnya. Perlahan lembah mulai terlihat di bawah sana, sungguh pemandangan mengerikan. Desa yang indah tenggelam dalam air bah bercampur lumpur berwarna kecokelatan. Bukitnya longsor, menyisakan tanah menganga dan puing-puing bangunan yang porak-poranda.
Banyak kayu gelondongan hasil penebangan liar terapung. Beberapa mayat yang terbawa arus terlihat sangat mengerikan. Di antara mayat itu, salah satunya sangat kami kenali, orang yang ngotot ingin menghukumku secara adat desa dan dia … kepala perambah Hutan Larangan.
“Kang Kardi! Itu Kang Kardi!” teriak warga sambil menunjuk mayat yang terapung memeluk kayu.
Innalilahi wainnailaihirojiuun ….
Apa yang berasal dari-Nya akan kembali pada-Nya.
Kami bergumam. Sungguh aku tidak membenci Kang Kardi yang sudah memfitnah dan menyakitiku. Dia manusia biasa dan tak luput dari dosa. Kini, raganya tidak berdaya di bawah sana. Hatiku menjerit, ingin menguburkannya dengan layak. Apa daya kondisi kami di atas bukit tidak lebih baik.
Mungkin nanti salah satu tim KKN akan mencari pertolongan ke kota. Akan datang bantuan Tim SAR. Kami berharap secepatnya mereka datang. Entah sampai kapan bisa bertahan, tanpa perlindungan tanpa makanan. Semoga jalur evakuasi cepat terbuka dengan ikhtiar teman-teman mahasiswa yang mengirim panggilan radio.
Aku termenung. Lagi, Sang Maha Pencipta tunjukkan tanda-tanda kekuasaan-Nya. Beginilah jika manusia tidak lagi menjaga alam. Maka alam pun membalas berkali lipat.
Lalu, hampir seluruh warga menangis bersama. Wajah-wajah lelah dan syok tertampang di depanku. Penyesalan selalu datang belakangan, namun sudah tiada guna. Kini desa kami sudah hilang, tenggelam ditelan air bah.
Sejatinya manusia adalah khalifah fil ardli, artinya pemimpin di muka bumi. Sudah menjadi tugasnya untuk menjaga dan mengendalikan alam.(*)
Subang, 6 Maret 2021
Gloria Pitaloka, 36 tahun, ibu muda tiga anak. Pegiat lingkungan di Paguyuban Granuma Phaterha dan Komunitas Granuma Organik. Suka menulis untuk berbagi pesan kebaikan dan kesadaran lingkungan.
Editor : Inu Yana
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata