Tengah Malam Sendiri

Tengah Malam Sendiri

Tengah Malam Sendiri
Oleh : Fitri Fatimah

Aku  baru saja dari kamar mandi, baru saja mematikan lampu dari semua ruang yang kulewati, sudah bersiap masuk ke selimut ketika tahu-tahu sebuah  bunyi gebrakan mengejutkanku. Biasanya aku tidak pernah terkejut oleh suara seberisik apa pun yang tiba-tiba muncul di tengah malam. Aku tahu rumahku dekat dengan kebun kelapa sehingga bukan hal baru lagi ada musang dan tupai melompati atap rumah. Ayah juga memelihara beberapa pasang loverbird yang kadang di tengah malam masih suka bercinta dan membentur-benturkan badan mereka ke gelodok. Tapi berhubung malam ini aku sedang sendirian, aku tidak bisa berpikir tenang dan menganggap bunyi gebrakan itu paling-paling hanya ulah para hewan.

Jantungku berdentam kencang, lebih kencang dari ketika kebanyakan minum kopi, debarnya bertalu-talu hingga titik dadaku terasa sakit. Aku ingin segera melompat ke balik selimut dan bersembunyi di sana, tapi tubuhku seumpama—kalau ini dunianya Harry Potter, aku pasti sedang dikena mantra pengikat sempurna, petrificus totalus —membeku di udara.

Aku memejamkan mata, memilih tidak melihat apa pun itu. Tapi ketika gelap membungkus, tiba-tiba seluruh panca indraku yang lain jadi teramat peka. Kupingku dapat menangkap bahwa habis bunyi gebrakan itu, tak ada lagi bunyi lain yang muncul. Suasana kembali sunyi, yang bukan membuat tenang tapi malah jadi makin mencekam. Angin berembus membelai kakiku yang masih menggantung di udara, membuatku seketika ingat bahwa, jangan-jangan nanti ada tangan tak kasat mata yang merayap dan menarik kakiku ke kolong ranjang.  Dilintasi bayangan ngeri seperti itu, tubuhku kembali mendapatkan kekuatannya untuk bisa bergerak dan otomatis tunggang-langgang ke sudut ranjang , benar-benar sembunyi di balik selimut.

Aku mulai parno dan segera segala skenario buruk bermunculan di otakku.

Ya ampun ini malam Jumat pula. Jangan-jangan memang hantu. Seumur-umur aku memang belum pernah bertemu dengan makhluk itu, semoga saja sungguh tidak akan pernah. Aku bukan tipe orang penakut tapi bukan juga yang sangat pemberani. Ketika akan pergi ke kamar mandi yang terletak di luar rumah, pada hari biasa, bahkan kalaupun itu tengah malam, aku santai saja pergi sendiri. Tapi kalau ketika hari itu ada tetangga yang meninggal, aku tentu minta ditemani. Lagi pula, hantu itu kan makhluk halus, dia tembus pandang, semacam asap mungkin, seperti di TV. Jadi menurut nalarku, kalaupun hantu bisa menyajikan visual yang menyeramkan: loncat-loncat, dasteran, rambut kribo, berdarah-darah, dan lain-lain, tapi dia tetap tidak akan bisa menyentuhmu, kan. Dia tidak akan bisa menyakitimu, kan. Jadi buat apa takut. Kamu tinggal memejamkan mata, seperti aku ini sekarang.

Setelah sepertinya hampir berhasil menenang-nenangkan diri sendiri, aku lalu dihantam oleh pikiran lain, bagaimana kalau itu bukan makhluk yang tidak bisa menyentuhmu, bagaimana kalau itu bukan makhluk halus, melainkan makhluk padat, seseorang! Seseorang yang malam-malam menyelinap ke rumah orang lain dan bikin kegaduhan, siapa lagi kalau bukan pencuri.

Pencuri, mungkin saja pencuri itu sudah mengintai rumah kami selama berhari-hari dan tahu bahwa hari ini Ayah dan Ibu sedang pergi ziarah ke Wali Lima, dan bahwa hanya tinggal aku sendiri di rumah ini. Keluargaku memang bukan orang kaya, kami tidak punya BMW di garasi, tidak punya sertifikat tanah berhektar-hektar, atau berlian sebesar tatakan cangkir. Aku yakin, sampai pagi pun si pencuri menggeledah rumah ini, dia cuma bakal dapat capek dan pergi dengan tangan kosong. Oia tapi, beberapa pasang loverbird itu, kabarnya satu pasang harganya ada yang melebihi sapi. Tapi janganlah, Ayah akan sangat sedih kalau mendapati burung dengan bulu berwarna-warni mencolok itu hilang dari sangkarnya. Untuk membelinya saja Ayah perlu berulang kali membujuk Ibu supaya mau menjual cincin emas miliknya satu-satunya, Ayah bilang dia berjanji bakal mengganti yang lebih besar. Nanti, setelah lovebird itu bertelur.

Aku harus bagaimana untuk melawan pencuri. Aku tidak punya keahlian dalam seni bela diri. Pengalamanku dengan kekerasan hanya saat aku menggeplak kecoak pakai  bagian bawah sandal. Kugeplak dengan sepenuh hati. Berani-beraninya muncul di dapur, di depan orang makan lagi. Hah, tidak sopan. Apakah sandal bisa mengatasi pencuri?

Ah Ayah, Ibu, kalau tahu bakal semenegangkan ini situasinya, aku tidak bakal mau ditinggal sendiri. Lebih baik ikut kalian saja. Akan kutarik alasan-alasan penolakanku kemarin yang bilang bahwa aku ogah berdesak-desakan di bus, takut mabuk darat dan semacamnya. Ah Ayah, Ibu, entah bunyi gebrak itu ulah hewan atau hantu atau juga pencuri, atau bukan siapa-siapa, semata-mata kupingku berhalusinasi, tapi yang pasti, aku takut. Sungguh. (*)

 

Fitri Fatimah, kelahiran Sumenep, suka membaca dan mencoba menulis.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata