Tempat Tujuan

Tempat Tujuan

Tempat Tujuan
Oleh: Uzwah Anna

Bintang bertaburan, berkerlap-kerlip. Sang dewi malam yang membulat sempurna tersenyum seraya mengerling. Dia membagi terang pada bumi yang gulita.

Di tengah hutan, sepasang muda-mudi duduk bersebelahan di dekat api unggun, menghalau dingin yang menusuk hingga sumsum.

Aroma daging panggang yang hampir matang menguar. Daging itu adalah daging kelinci hasil perburuan menjelang senja.

“Athar, apa menurutmu kita akan selamat sampai Hungar?” tanya Delice. Gadis jelita tersebut mengeratkan tangan di depan dada. Jelas sekali dia sedang kedinginan.

Mendesah, lelaki yang ditanya tak segera menjawab. Dia lantas berdiri, melepas mantel berbulu yang tengah dikenakan, kemudian menghampiri dan membungkus tubuh Delice menggunakan pakaian hangat itu.

“Bukankah kau juga kedinginan? Kenapa kau berikan mantelmu padaku?” cetus perempuan berambut pirang itu.

“Aku hanya tak mau cacat dalam tugas. Bagaimanapun, saat ini kau tanggung jawabku, Nona. Aku tak ingin kau membeku.” Athar menggosok-gosok dan meniup kedua telapak tangan, menciptakan panas agar tak kaku dibelenggu hawa dingin.

***

Seorang pria paruh baya, sedang duduk di beranda rumah, menikmati secangkir teh hijau hadiah dari kawannya. Sesekali dia embuskan asap dari rokok yang diisap. Pria gagah ini bernama Daniel Otman, seorang saudagar kaya yang bisnisnya telah menggurita. Di kotanya, dia dikenal sebagai tuan kaya raya yang dermawan. Tak sedikit pekerjanya yang direkrut dari keluarga miskin. Tak terhitung pula bocah yatim piatu yang diasuh lantas ketika dewasa menjadi tangan kanannya. Satu di antaranya adalah Athar Cruz.

Seorang pelayan datang menghadap, memberi tahu bahwa ada utusan yang ingin menemuinya secara langsung.

“Bawa dia kemari,” perintanya.

Tak lama, sang utusan bisa langsung bertatap muka dengan orang yang dikehendaki.

“Ada urusan apa kau menemuiku?”

Tak banyak berbasa-basi, utusan tersebut menyerahkan sebuah amplop cokelat, “Silahkan Tuan baca.”

[Aku sudah mengetahui putrimu, Tuan Otman. Dia adalah gadis yang cantik dan cerdik. Sebagai lelaki, tentu saja aku sangat menginginkannya. Maka, izinkan aku untuk memperistri putrimu. Kelak, jika kau dan aku sudah terikat sebagai keluarga, maka kita bisa menyatukan sekaligus mengembangkan bisnis bersama. Kau bisa menghabisi semua lawanmu dan aku akan mengubur seluruh musuhku. Namun, jika kau menolak lamaranku, maka tak hanya bisnismu yang hancur. Kau dan putrimu juga akan segera kukirim ke neraka.]

“Keparat!” Seketika Daniel meremas kertas tersebut. Dia geram bukan main dengan isi surat di tangannya. Pria bermata biru tersebut merasa terhina. Bagaimana bisa cecunguk semacam Andrew Gen berani mengancamnya.

Ayah macam apa yang akan menyerahkan putrinya pada pria hidung belang yang gemar bergonta-ganti wanita. Bagi pria bangsat itu, kaum hawa hanya sebagai koleksi dan alat penikmat di ranjang. Lantas akan ditendang begitu saja ketika habis madunya.

Lagipula, Daniel bukan pria gila, yang akan menukar Delice demi kekayaan semata pada pria yang usianya jauh lebih tua dari dirinya. Meski tak lebih kaya dari Andrew, tapi Tuan Dermawan itu masih cukup memiliki kuasa. Dia bisa mengerahkan banyak orang untuk melawan cecunguk itu, jika dia mau.

“Bilang pada tuanmu, kapan pun dia menginginkan, aku siap meladeninya.” Pesan Daniel pada utusan tersebut, kemudian mengusirnya.

Baginya, ini adalah awal dari perang dingin. Daniel segera memerintahkan seorang pelayan agar memanggil Athar.

“Ada apa, Tuan memanggil saya?” tanya seorang pemuda berbadan tegap, sesaat setelah masuk ke ruangan sang tuan.

“Bawa Delice ke tempat pamannya sekarang juga. Pertaruhkan nyawamu untuk melindunginya.”

Tak banyak bertanya, sebab sebenarnya Athar sudah mengerti pokok permasalahannya. “Baik, Tuan. Saya akan melaksanakan sesuai perintah.”

Lantas dia mengangguk dan berbalik. Namun, sebelum meraih kenop pintu, Daniel berkata, “Athar, kupercayakan putriku padamu.”

***

Sinar ceria matahari menyirami pucuk-pucuk pohon hingga menembus celah dedaunan. Memicingkan mata, Athar berusaha bangun. Dia memalangkan lengan di  mata, silau. Dia menggeliat. Mata yang masih terbuka sebelah menatap ke tempat Delice tidur semalam.

Kosong!

Dia menoleh ke kanan dan kiri, mencari sosok gadis yang dipertaruhkan dengan seluruh jiwa raga. Sambil mengucek mata, Athar masih meyakinkan diri bahwa mungkin saja penglihatannya sedang kabur, sebab baru saja membuka mata. Namun, lewat beberapa detik kemudian, dia benar-benar sadar bahwa Delice memang tak ada.

Tak butuh waktu lama, dia bergegas menuju kuda hitam yang sedang diikat di sebuah pohon, dan langsung menungganginya.

“Apa kau akan meninggalkanku?” Sebuah suara berhasil menghentikan laju kuda yang baru beberapa langkah meninggalkan tempatnya.

Athar menoleh, “Nona, kau selamat?”

“Aku baik-baik saja.”

Melihat sang nona baik-baik saja, pemuda itu lega. Diembuskannya napas panjang. Namun, beberapa saat kemudian tatapan tajam menghunus gadis yang berdiri di sampingnya, “Lain kali, ke mana pun pergi, bilang dulu padaku!” bentak sang pengawal itu. Saking geramnya, dia tak sadar bahwa suaranya telah meninggi.

Delice terkejut. Dia tak mengira bahwa kepergiannya ke sungai akan membuat Athar bereaksi sedemikian rupa, “Kau membentakku?”

Pemuda itu tercekat. Masih di atas kuda, Athar tak menjawab. Dia kembali mengembuskan napas panjang, mencoba menurunkan emosi. Bagaimanapun juga, dia sudah terbiasa melatih pengawal. Baginya bentakan semacam itu sudah biasa. Namun, ini berbeda. Dia tidak sedang di tempat latihan, tak berlatih, juga tidak juga melatih, melainkan sedang menjaga putri tuannya. Pemuda itu merasa bersalah.

“Maaf, Nona. Aku hanya mengkhawatirkan keselamatanmu.”

“Aku mengerti. Tadi aku hanya pergi mandi.”

“Baiklah. Segera kemasi barang-barangmu. Hari ini kita harus cepat bergegas. Biar tak terlalu larut sampai di kota. Mungkin saja kita akan menemukan penginapan di sana.”

***

Siang itu matahari sangat terik. Beberapa kali Delice menyeka peluh yang mengalir dari dahi, pipi, hingga jatuh ke dagu. Baju bagian bawah leher dan punggung sudah kuyup.

“Seberapa jauh lagi kita akan tiba di desa terdekat?” Wajah Delice memerah. Rautnya seperti orang putus asa. Panas membuat tubuh melemah. Apalagi persedian air minum telah tandas, tenggorokan asat.

Seharusnya, sesuai jadwal, saat ini  mereka telah tiba di pedesaan. Hanya saja, tadi ada segerombolan anak buah Andrew. Bukannya tak bisa melawan, tapi Andrew mengkhawatirkan keselamatan Delice. Lagi pula dia kalah jumlah. Percuma saja melawan. Bukannya menang, jutru mati. Bagaimanapun juga dia tak mau mengumpankan diri. Jadi demi keselamatan diri, lebih-lebih sang nona, dia melewati jalan lain, memutar ke arah yang lebih jauh.

***

Pertengahan malam, mereka sampai di kota. Tak banyak kedai yang buka, sebab sudah sangat larut. Sembari menuntun kuda, Athar terus melewati kerumunan beberapa begundal yang sedang berjudi di pinggir jalan. Selain menarik penutup kepalanya, dia juga menarik tudung kepala milik Delice hingga menutupi sebagian wajah. Berusaha bersikap sewajarnya agar tak terlihat mencolok.

Beruntung, masih ada kedai teh yang buka di ujung jalan. Sepasang muda-mudi ini mampir untuk sekadar beristirahat dan mencari penginapan.

Athar dan Delice meneguk teh yang baru saja disodorkan pelayan. Hangat dari cairan tersebut mampu mengurangi rasa lelah akibat perjalanan seharian.

Kota ini cukup jauh dari tempat tinggal mereka. Karena merasa tak ada orang yang mengenal, Delice melepas tudung kepalanya. Lima buah kue talam sebesar bakpao habis dalam sekejap.

Baru kali ini Athar melihat putri sang tuan rakus bukan kepalang. Bahkan dia tak menyangka bahwa tubuh Delice yang mungil, jika dalam keadaan lapar mampu menghabiskan jatah untuk dua orang dewasa. Luar biasa.

“Oi, tak pernah lihat gadis makan, huh?” tanya Delice tanpa melihat pemuda di sampingnya. Dia tahu sedari tadi Athar memperhatikannya. Gadis itu menoleh ke samping, “Tatap piringmu, atau kuhabiskan makananmu?”

Tak banyak berkata, Athar hanya tersenyum. Dalam hati dia berkata, ‘Ternyata berteman dengan seorang perempuan, menyenangkan juga.’

Sepeninggal kedua orang tuanya, Athar sangat jarang bergaul dengan perempuan. Selama menjadi anak asuh Daniel, kegiatan pemuda itu hanya terfokus pada latihan, melatih, dan melaksanakan tugas tuannya. Makanya dia sangat kaku dengan makhluk bernama perempuan.

Seorang pria botak, dengan badan tinggi berotot, menghampiri keduanya. Dia mendekatkan gambar di tangannya ke wajah mereka. Mendengkus, dia berkata, “Ternyata benar kalian orangnya.”

Dengan melambaikan tangan pada teman-temannya, pria itu memanggil gerombolannya agar mendekat. Tak membuang waktu, mereka membungkus kepala keduanya menggunakan kantung berwarna hitam. Athar sempat memberontak, tapi salah satu dari mereka langsung melumpuhkannya dengan menghantamkan tongkat di tengkuk hingga si pemuda pingsan.

***

Athar menyipitkan mata, silau karena cahaya matahari yang menerobos lewat ventilasi, tepat di matanya. Dia mengerang lirih. Merasakan perih pada tengkuk yang dihantam semalam. Pemuda itu ingin duduk, tapi susah, sebab sepasang tangannya diikat.

“Athar, kau sudah siuman?” lirih gadis di sebelahnya.

Mengangguk, lantas dia bertanya, “Kita di mana, Nona?”

“Entahlah, mungkin di gudang.”

Suara derap langkah mendekat. Pintu terbuka. Keduanya langsung memiringkan wajah. Tak siap dengan terang yang begitu tiba-tiba.

“Kau sudah sadar rupanya,” sapa seorang pria paruh baya, wajahnya tak asing. Dia adalah orang yang semalam menangkap mereka.

Mendekat, lantas berjongkok, dari jarak yang tak jauh, dia memperhatikan Delice, “Pantas saja si tua bangka itu tergila-gila pada gadis ini,”

Gadis itu mundur, mendekatkan diri ke dinding, ketakutan.

“Ternyata dia sangat cantik.” Pria itu menyeringai.

“Menjauh darinya, Bangsat! Berani kau menyentuhnya, akan kupatahkan lehermu!” teriak Athar.

“Bernyali juga kau rupanya, Anak Muda. Aku suka semangatmu.” Berdiri, membuka baju, lantas si kepala botak itu meminta anak buahnya melepaskan tali yang mengikat kedua tangan Athar. “Hadapi aku, Anak Muda. Aku ingin menjajal kemampuanmu.”

Tak gentar, Athar langsung menyerang. Namun, serangannya berhasil ditangkis. Ketika menendang, tendangannya juga meleset. Berkali-kali dia berusaha melumpuhkan lawannya, tapi berkali-kali pula, pemuda itu justru jatuh ke lantai. Dia terbatuk mengeluarkan darah.

“Ternyata hanya sebatas itu kemampuanmu, Anak Muda.”

Tak terima dengan ejekan lawannya, Athar segera memukul kembali. Namun, ia tersadar tersadar, bahwa amarahnya hanya akan menguras seluruh kekuatan. Lelaki berambut kelam itu berusaha menekan emosi dan memusatkan energi pada pikiran, tangan, dan kaki. Lantas dengan sekali gerakan pemuda itu mampu memukul balik, menendang dan memukul lagi, berkali-kali, hingga tak ada kesempatan untuk si botak menangkis dan berkelit. Si botak jatuh, berdebat di tanah. Hampir saja badannya yang liat mengenai tubuh mungil Delice.

“Tuan Daniel tak salah menitipkan putrinya padamu, Anak Muda,” ucap pria itu seraya menekan dada yang nyeri akibat tendangan Athar.

“Kau menegenal Ayahku?” tanya Delice penasaran.

“Uhm.”

Lantas pria bernama Rockie itu bercerita, bahwa dulu dia adalah orang miskin yang tinggal di sudut kota. Karena bantuan Daniel, dia bisa bekerja dan menyekolahkan putra-putrinya. Lantas datanglah Andrew. Si tua bangka itu membunuh putranya dan mengambil paksa putrinya. Putrinya meninggal akibat bunuh diri setelah direnggut keperawanannya oleh pria bangsat itu.

Sejak saat itu, Rockie menjadi seperti sekarang. Dia menyusup dalam barisan pengawal Andrew, tujuannya satu: menghabisi nyawa pria yang telah membunuh putra-putrinya. Namun, kesempatan itu belum juga terlaksana. Banyak sekali halangannya.

Ketika dia mendengar tentang kejadian yang menimpa Daniel, seketika itu juga Rockie mengerahkan anak buahnya, mencari Delice dan Athar: untuk melindungi keduanya. Karena dia paham betul kekuatan Andrew.

“Anak buahnya sudah tersebar di mana-mana. Jika semalam aku tak meringkus kalian, mungkin pagi ini mayat kalian sudah menjadi sarapan anjing.”

***

Setelah memberikan rute—yang bisa dibilang—aman, Rockie melepas kepergian Athar dan Delice.

“Semoga kalian beruntung.”

“Terima kasih, Paman.”

Hampir petang, keduanya telah sampai di sungai yang ditunjukkan oleh Rockie, tadi. Athar sengaja tak melewati desa dan kota, sebab di sana banyak sekali mata-mata Andrew.

“Kita lanjutkan perjalanan besok saja, Nona.”

Tak menentang, Delice mengangguk.

***

Keesokan hari, pagi-pagi sekali mereka melewati jembatan yang rapuh. Mereka sengaja berjalan kaki, sementara Athar menuntun kudanya, memilih jalan agar tak terperosok.

Siangnya, mereka sudah sampai di lembah. Istirahat sebentar lantas melakukan perjalanan hingga sore, dan kembali bermalam di tengah hutan. Jika tak ada halangan, besok siang mereka telah sampai di Hungar.

***

Ternyata prediksi sedikit meleset. Bukan siang, tapi justru sore hari keduanya baru sampai di tempat paman Delice. Namun, ada yang aneh. Rumah dari adik bungsu Daniel ini tak seramai biasanya, sepi bagai tak ada kehidupan.

Delice dan Athar masuk lewat pintu depan. Kedatangan mereka langsung disambut oleh dua kepala: milik adik bungsu Daniel dan Rockie, di atas meja.

Ternyata ada salah satu dari anak buah Rockie yang berkhianat. Dia menjual informasi kepada Andrew. Dengan sekejap anak buah keparat itu berhasil melumpuhkanya sekaligus menebas kepala paman Delice.

Athar segera menarik lengan Delice. Keduanya meloncat ke punggung kuda lantas meninggalkan tempat tersebut. Dia merasa bahwa sudah tak ada tempat yang aman di muka bumi ini. Athar mempercepat laju sambil mengarahkan kuda memasuki hutan. Namun sial. Di depan, mereka sudah dihadang oleh sekelompok berandalan suruhan Andrew. Athar menikung ke kiri. Beberapa anak panah membalapnya dari belakang.

Tak ada cara lain. Dia tak bisa terus lari. Bagaimanapun caranya, dia harus menghadapi berandalan tersebut. Athar menarik tali kekang. Kuda berjingkat kemudian menghentikan langkahnya.

Attar kembali menarik tangan Delice. Menyembunyikannya di antara semak-semak, “Nona, jika sampai nanti malam aku tak kembali, maka pergilah. Selamatkan dirimu.”

Delice hanya menangis. Bagaimana bisa dia menerima ucapan perpisahan seperti itu, dari pemuda yang hampir sebulan menemaninya dalam perjalanan.

“Nona berhentilah menangis. Aku tak butuh tangisanmu.” Athar menggenggam tangan gadis itu,” mencoba membangkitkan semangatnya. “Nona, berjanjilah padaku, bahwa kau akan selamat, huh?”

Delice mengangguk lemah. Seketika itu pula Athar melepaskan genggamannya.

Athar menutupi semak-semak tersebut dengan semak lainnya. Sehingga tak akan ada satu orang pun tahu bahwa ada seorang gadis yang bersembunyi di situ.

Cecunguk-cecunguk tersebut datang sebelum Athar pergi. “Hei, keparat. Di mana kau sembunyikan gadis itu?”

“Di suatu tempat yang aman, yang pasti kalian tak akan bisa mengejarnya, meski ke ujung dunia sekali pun,” ucap Athar. Dia sengaja membuat lawannya naik pitam. Dengan emosi yang membuncah, pasti pemuda itu bisa membasmi mereka.

“Mau mati rupanya, huh? Hadapi kami, Bangsat!”

“Jika kau memaksa, aku akan melayani permintaanmu.”

Pertempuran tak terhindarkan. Athar melawan musuh yang jumlahnya tak sebanding, sekitar tiga puluhan orang. Namun, kemampuannya tak bisa dianggap remeh. Buktinya dia mampu melumpuhkan semuanya.

Mati satu tumbuh seribu. Begitulah kata pepatah. Sial, rombongan kedua, ketiga dan seterusnya berdatangan. Masing-masing rombongan berjumlah sekitar dua puluh lima orang. Meski sangat hebat, mustahil bagi Athar untuk mengalahkan semuanya. Kekuatan pemuda tersebut semakin menurun karena kelelahan. Jika tetap pada posisi sekarang, dia bisa mati terbunuh.

Seketika, dia melarikan diri. Namun, belum jauh melangkah, kakinya berhenti saat sebuah anak panah menembus betis kirinya. Sang pengawal itu jatuh tersungkur. Mengerang kesakitan, dia tak berputus asa. Mencabut anak panah tersebut dan kembali berlari.

Seorang pria, dari atas kuda, kembali melesatkan anak panah. Kini sasarannya tepat mengenai punggung sebelah kiri hingga menembus ke dada.

Melihat seorang pemuda kembali tersungkur seperti kelinci buruan, si pria tua menyeringai. Lantas terbahak-bahan bagai menonton acara komedi. Iya, dia adalah si tua bangsat, pemimpin seluruh cecunguk tersebut, Andrew Gen.

Athar berusaha melepaskan anak panah dari punggungnya. Dia terbatuk-batuk, mengeluarkan cairan merah. Selain keringat, darah segar juga membasahi pakaiannya. Anak panah tak kunjung tercabut. Kekuatannya sudah sangat lemah. Jadi dia hanya mematahkan sisa gagang anak panah yang berada di luar tubuhnya.

Andrew menghampiri pemuda sekarat tersebut. “Katakan, di mana kau sembunyikan Delice?”

Athar tak menjawab, dia hanya membalas tatapan lawannya dengan sorot mata nyalang.

“Kau ingin main-main denganku rupanya, huh?” Andrew menatap anak buahnya, memberi kode agar memberi pelajaran pada pemuda malang itu agar bersuara.

Athar dipukul, ditendang, dihajar habis-habisan. Para bajingan itu, sama sekali tak memiliki iba. Semakin meraung kesakitan, semakin bersemangatlah mereka menggempur orang kepercayaan Daniel tersebut.

Di balik semak-semak, Delice hanya mampu menutup mulutnya, agar tak bersuara. Hatinya bagai disayat-sayat menyaksikan sang pengawal diperlakukan seperti binatang.

“Katakan, di mana kau sembunyikan gadis itu, Keparat!” Andrew sudah kehilangan kesabaran. Si kakek tua itu berteriak seraya menendang rahang pemuda tak berdaya di hadapannya.

Athar masih bungkam.

Menarik sebilah pedang dari sungkup di pinggang salah satu anak buahnya, Andrew segera melayangkan ke leher Athar.

“Hentikan!” Delice keluar dari persembunyiannya. Tepat beberapa detik sebelum pedang benar-benar menyentuh jakun pemuda tersebut.

Si tua bangka menoleh lantas tertawa nyaring, “Keluar juga akhirnya kau, Nona Otman. Kemarilah, aku sudah lama menunggumu, Sayang.”

Delice melihat ke arah Athar. Ada serangkum kecewa yang menghiasi wajah pemuda tersebut. “Lepaskan dia,” pintanya, tegas. “Biarkan dia hidup. Maka aku akan menyerahkan diri padamu.”

Tawa Andrew semakin membahana, menyaingi cericit burung di sore hari, “Apa pun permintaanmu, akan kupenuhi, Sayang.” Andrew meletakkan tangannya di pinggang gadis tersebut. Ditariknya kasar agar perempuan yang lebih pantas menjadi cucunya itu, mendekat ke pelukannya.

“Lepaskan dia, dan segera adakan pesta buat nyonya baru kalian,” perintah Andrew pada pengawalnya.

Delice menoleh pada pemuda lemah yang bersandar pada salah satu pohon tersebut. Tatapannya tajam. Tatapan tak biasa. Mungkinkah ada maksud tersembunyi di balik tatapannya saat ini? Apa?

Menunduk, lantas Delice mengeluarkan sebilah pisau dari balik gaunnya, yang dia ikatkan di betis. Pisau tersebut pemberian Athar, “Gunakan ini hanya saat kau butuh,” pesan pemuda itu beberapa hari yang lalu, saat mereka bermalam di tengah hutan.

Tak membuang waktu, dengan gerakan secepat kilat, dia langsung menikam si kakek tua itu tepat di jantungnya. Atensi anak buah Andrew langsung terpusat pada Delice. Mereka langsung membekuk gadis muda itu.

“Perempuan sialan!” Andrew melayangkan telapak tangannya pada pipi mulus Delice. Hingga dia tersungkur. Darah keluar dari sudut bibirnya. “Penggal dia!”

Dua kata tersebut seakan memantik emosi Athar. Pemuda lemah tersebut langsung berdiri, berlari, dan menusukkan pedang pada Andrew.

Kini di tubuh pria tua tersebut telah bersarang sebilah pisau dan sebilah pedang. Tubuhnya terhuyung. Jatuh. Sebelum mengakhiri napasnya, pria tua itu memerintah dengan suara parau, “Habisi mereka.”

Pengawal langsung menendang betis belakang Athar. Dia terhempas di atas lututnya. Posisinya kini bersebelahan dengan putri sang tuan. Mereka saling pandang. Tanpa kata keduanya saling tersenyum. Mata berbinar. Timbul sinar bahagia di raut wajah keduanya. Mungkin mereka puas telah membunuh pria sialan itu.

Segerombolan burung terbang meninggalkan pohon. Angir berdesir. Sebilah pedang tajam berhasil menggores leher keduanya. Dua anak manusia itu mengembuskan napas terakhir dalam waktu bersamaan. Selesai sudah perjalanan yang penuh dengan derita. Meski tak berhasil menyelesaikan tugasnya, tapi Athar Cruz sukses membawa Delice Otman ke tempat tujuan yang lebih indah dari seluruh dunia, di sana, di tempat orang-orang pilihan. (*)

 

Sh, 1 April 2019

Uzwah Anna, Gemar nonton anime dan komedi. Film Indonesia paling berkesan saat ini, selain warkop DKI (tanpa ‘Reborn’), adalah Naga Bonar jadi 2. Lucu dan syarat akan makna.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata