Temaram
Oleh: SA Wina
Tantangan Lokit 8 (mimpi)
Aku diam seribu bahasa ketika dia meluapkan emosinya padaku. Sudah dua puluh menit lamanya dia mengoceh tidak keruan seperti ini. Dan adikku yang sedang berdiri di belakangnya, hanya mampu menjadi penonton setia tanpa pernah berniat meredam amarahnya maupun meninggalkan kami berdua di sini.
“Coba liat anak tetangga yang seumuran kamu itu! Mereka keluar rumah buat kerja! Nggak kayak kamu, nganggur mulu!” telunjuknya mengarah ke jendela, memperlihatkan sesosok pria bujang dengan setelan seragam yang melekat di tubuhnya. “Kamu tau keingingan Mamak setelah kamu selese sekolah? Harapan terbesar Mamak sama kamu? Kamu tau nggak?! Mamak tuh pengen kamu jadi anak yang berguna, yang bisa diandelin, bisa banggain Mamak sama Bapak yang udah nyekolahin kamu sampe bisa lulus SMK. Kamu ngerti nggak sih, Handi?!!” lanjutnya.
“Iya, Mak. Handi ngerti,” jawabku singkat dengan terus menekuri lantai.
Mamak masih melanjutkan omelannya. Masih membicarakan seputar pekerjaan yang masih saja enggan aku cari.
Di sela-sela ocehan Mamak yang tak pernah berujung ini, aku teringat pada kejadian dua belas tahun yang lalu. Saat aku dan Mamak duduk berdua di ruang tengah sambil menumpahkan segala isi hati.
“Mak, tadi di sekolah ada guru baru,” curhatku pada Mamak kala itu.
“Siapa namanya, Nak?” seperti biasa, Mamak bertanya cukup antusias terhadap cerita yang aku hidangkan siang ini.
“Namanya Bu Noni, Mak. Noni Belanda.” Mamak terlihat berusaha menahan tawanya. “Terus, tadi aku ditanyain cita-citaku apa,” lanjutku.
“Kamu jawabnya apa?”
“Aku mau jadi pendongeng, Mak,” ucapku dengan bangganya sambil sedikit membusungkan dada.
“Pendongeng?”
“Iya, pendongeng. Tiap malem Mamak juga gitu, nyeritain sebuah dongeng buat aku. Aku juga pengen jadi pendongeng kayak Mamak, boleh, kan?”
“Iya, boleh. Cita-cita apa aja boleh kok, yang penting bukan cita-cita yang buruk. Cita-cita jadi pencuri, misal. Itu gak boleh, kan gak baik.”
Beberapa tahun kemudian, saat aku duduk di bangku SMP, aku mulai menekuni dunia literasi. Mulai menjadwalkan bacaan-bacaan yang akan aku konsumsi tiap harinya. Dan pada saat itu pula, aku mulai mengenal para penulis-penulis hebat yang karyanya sudah menjadi best seller dan sudah difilmkan.
Membaca tulisan-tulisannya bagaikan mendapat suntikan penambah semangat dalam meraih apa yang aku impikan selama ini. Penulis. Ya, aku ingin jadi penulis yang senantiasa menghidangkan sejumlah cerita untuk masyarakat luas.
Impian yang selalu aku kejar demi membahagiakan orangtuaku dan kenyamanan diriku sendiri. Dan sekarang aku tidak mengerti kenapa Mamak mempermasalahkan hal ini. Padahal dia sendiri yang mengatakan kalau cita-cita itu bisa apa saja, lantas kenapa sekarang dia permasalahkan?
Mamak memang tidak tahu apa yang aku kerjakan selama ini, karena memang tidak aku ceritakan padanya. Tapi apa pantas kalau usahaku ini dianggap remeh olehnya? Dianggap bahwa aku tidak pernah berusaha untuk mencari uang atau lain sebagainya? Ah, pikiran Mamak masih terlalu dangkal menurutku. Masih berpikiran bahwa yang namanya kerja ya keluar rumah dan melakukan sesuatu yang nampak.
***
Suatu waktu Mamak menyodorkan selembar kertas ke hadapanku. Di sana tertulis dengan jelas “Lowongan Pekerjaan”. Aku hanya menghela napas sebentar. Masih seputar pekerjaan rupanya.
“Tuh, ada lowongan kerja di perusahaan deket sini. Coba daftar, gih, siapa tau cocok,” saran Mamak yang lebih terkesan menyuruh daripada memberi sebuah saran.
“Enggak, ah, Mak. Udah sreg sama yang sekarang,” tolakku secara terang-terangan. Dan sudah pasti yang kumaksud adalah pekerjaan menulis cerita yang aku lakoni saat ini.
“Nih, ya, Han. Mamak mau nanya sama kamu. Memangnya dari nulis cerita, kamu udah dapet pemasukan berapa? Bisa menutup semua kebutuhan kamu?” Mamak bertanya dengan cukup tenang tanpa ada nada yang menuntut di sana.
Aku terbungkam lagi dengan tanyanya. Harus aku akui penghasilan yang aku dapatkan memang belum seberapa.
“Tapi, kan, lumayan, Mak. Bisa buat beli rokok sendirilah ibaratnya,”
“Persiapin juga buat ke depannya, Handi. Hidup itu penuh kejutan. Jadi kamu ya harus persiapin buat hal-hal yang nggak terduga kayak gitu, Han. Kamu anak pertama, laki-laki pula, nggak pengin nyenengin adikmu satu-satunya itu?”
“Ya, pengenlah, Mak.”
“Maka dari itu. Boleh-boleh aja sih, kalau kamu mau menekuni dunia kepenulisan itu, tapi nggak bisa dijadiin sebagia penghasilan utama. Karyamu aja belum ada yang masuk ke penerbit, kan? Nah, mendingan cari kerjaan tetap untuk kebutuhan pokok kamu sehari-hari,” jelas Mamak yang cukup membuat aku mengerti bahwa ternyata memang cita-cita tidak perlu terburu-buru dalam mencapainya. Harus ada proses lain yang membuat pengalaman kita semakin banyak. Cita-cita tidak melulu perihal “jadi apa” kita saat lepas dari bangku sekolah, tapi perihal “tujuan apa” yang ingin kita capai suatu waktu nanti.(*)
Tentang Penulis:
Sukra Ageng Winasih. Lahir di kota Dawet Ayu, Banjarnegara. Sekarang sedang menajalani fase paling akhir dari sebuah Sekolah Menengah Kejuruan. Dan semoga ini menjadi fase terindah dari seluruh siklus kehidupan pelajar.
Tantangan Lokit adalah lomba menulis yang diadakan di Grup KCLK
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata